Kelezatan kentang cingkariang memang tak diragukan lagi. Ia kerap menjadi buah tangan warga Minangkabau yang hendak merantau ke tanah seberang. Cingkariang dibawa dalam bentuk umbi mentah dan keripik balado. “Mereka merasa belum pulang kampung, kalau tidak membawa cingkariang,” kata Daswani Munir, pengolah keripik di Bukittinggi.
Lantaran itu permintaan cingkariang tinggi. Di warung Mak Enan di sentra kios organik Aie Angek Kecamatan Sepuluhkoto, Tanahdatar, misalnya. Setiap akhir pekan dan hari libur ia menjual rata-rata 20 kg per hari. Kentang lain hanya 6 kg. Padahal harga cingkariang organik, Rp5.500 per kg. Lebih tinggi Rp1.500—Rp2.000 dibanding kentang lain.
“Pelancong yang datang lebih suka cingkariang,” kata M Ranin Sutan Malenggang, pemilik kios. Di tempat itu—sekitar 7 km ke arah selatan dari Kabupaten Tanahdatar— ada 13 kios serupa yang merasakan laris manisnya cingkariang.
Bersalin rupa
Penampilan cingkariang menarik dibanding kentang lain. Bentuk umbi bulat lonjong dan berukuran mungil. Panjang grade paling besar hanya 5—6 cm, diameter sekitar 3—4 cm. Warna kulit dan daging umbi putih agak krem. Sayang, letak mata tunas agak dalam sehingga sulit dikupas. Lantaran cocok dibuat keripik, ia diduga mempunyai berat jenis di atas 1,067 (standar kelayakan kentang olahan, red). Toh, dibuat sayur dan perkedel pun cingkariang tak kalah nikmat.
Kata cingkariang berasal dari nama daerah di Bukittinggi. Sayang, saat Trubus menelusuri ke sana kentang itu tak ditemukan. Pasalnya, bibit berkualitas kian langka. Ia baru ditemukan di Nagari Balingka, Kecamatan Empatkoto, Kabupaten Agam. Anehnya ia tak lagi disebut kentang cingkariang, tetapi bersalin rupa menjadi kentang hitam batang alahan panjang. Itu diduga karena batang kentang cingkariang berwarna hitam. “Nama itu sebutan lokal saja, di daerah lain tetap cingkariang,” kata Ir Novaril, pendamping Trubus.
Menurut Fauzi Sutan Sari Alam, pekebun pelopor di Balingka, pada masa lampau cingkariang alias hitam batang alahan panjang disebut kentang kerinci. Itu ditengarai karena pekebun di kaki Gunung Kerinci marak mengebunkan sejak puluhan tahun silam. Lambat laun penanaman berkurang seiring penurunan produksi. Konon 30 tahun lalu, produksi kentang cingkariang mencapai 20—30 ton per ha. Sayang sejak 10 tahun terakhir hasil rata-rata pekebun hanya 12—15 ton per ha. “Yang bertahan semakin berkurang,” kata Fauzi.
Dimurnikan
Diduga penurunan produksi itu karena bibit yang dipakai tidak jelas. “Mungkin sudah puluhan generasi,” kata Afrizal, kepala cabang Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Kehutanan Kecamatan Sungaipua, Agam. Menurut Afrizal, pemurnian bibit menjadi keharusan agar pekebun kembali terangsang bertanam kentang cingkariang.
Gayung pun bersambut, saat ini 3 institusi—Universitas Andalas, Padang; Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTH) Sumatera Barat; dan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa), Lembang—melakukan penelitian di tempat terpisah untuk memurnikan.
Walau penelitian belum tuntas, beberapa pekebun masih bertahan mengebunkan kentang cingkariang. Saat Trubus berkunjung ke sana, tercatat ada 21,75 ha di Kecamatan IV Koto untuk musim tanam Juli—Desember 2004. Penanaman tersebar di 6 nagari: Balingka, Kototua, Sungailandia, Kotogadang, Guguak Tabek Sarojo, dan Cingkariang. Walau hasil terbatas, mereka tak kesulitan memasarkan. “Serapan pasar lokal tak terbatas,” kata Fauzi. (Destika Cahyana)