Trubus.id—Ketersediaan cabai dengan varietas unggul yang toleran dalam segala kondisi seperti lahan kering, curah hujan tinggi, ketahanan hama dan penyakit, serta fenomena la nina berdampak pada produktivitas tanaman famili Solanaceae itu.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan di Badan Riset dan Inovasi Nasional Puji Lestari menuturkan dari varietas-varietas itu harapannya adaptif terhadap lokasi-lokasi spesifik dan menjadi salah satu kunci untuk menjawab permasalahan cabai.
Oleh karena itu pemuliaan cabai perlu mengarah pada genetik yang lebih modern, bukan pemuliaan klasik.
Lebih lanjut ia menuturkan dengan memanfaatkan keanekaragaman genetik cabai lokal, pemuliaan cabai tidak hanya berpotensi meningkatkan produktivitas dan kualitas, tetapi juga menawarkan ketahanan terhadap penyakit dan perubahan iklim.
“Selain itu, fokus pada pemuliaan tanaman yang sesuai dengan kondisi ekologis dan budi daya setempat dapat menghasilkan varietas yang lebih adaptif dan mampu meningkatkan pendapatan petani lokal,” ujar Puji.
Kepala Pusat Riset Hortikultura ORPP BRIN, Dwinita Wikan Utami menuturkan rencana arah riset pada 2025 mesti lebih memfokuskan pada pendekatan teknologi canggih.
Ia menuturkan hal itu juga meliputi pengungkapan potensi sumber daya genetik melalui pendekatan multiomics, seperti proteomics, metabolomics, dan genomics. Selain itu, juga dilakukan upaya untuk meningkatkan akurasi seleksi.
Komoditas strategis
Cabai merupakan salah satu komoditas strategis. Berdasarkan data FAOSTAT (2024) Indonesia merupakan produsen cabai segar terbesar ketiga di dunia dengan produksi 3,02 juta ton, setelah Tiongkok (16,84 juta ton), dan Meksiko (3,1 juta ton).
Sayang prduktivitas cabai di Indonesia , hanya 9,03 ton per hektare. Bandingkan dengan Tiongkok 22,16 ton per ha. Sementara rata-rata dunia 18,3 ton per ha.
“Meskipun produksi nasional cukup untuk konsumsi dalam negeri, dengan surplus 1,814 juta ton pada 2022, kesenjangan produksi antar waktu dan wilayah menyebabkan ketidakstabilan pasokan cabai,” ujar Puji dilansir dari laman BRIN.
Puji menjelaskan pada tahun lalu cabai merah masih menyumbang inflasi dengan kenaikan harga yang cukup tinggi. Penyebabnya cuaca yang tidak menentu dan masalah distribusi.
Hal itu mencerminkan kerentanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim dan tantangan distribusi pangan, yang berdampak pada daya beli masyarakat serta stabilitas ekonomi negara.
Ia menuturkan cabai menjadi bagian dari riset dan inovasi di badan pangan, khususnya di BRIN. Oleh karena itu, cabai perlu dimasukkan dalam kategori komoditas pangan utama dan diprioritaskan sesuai dengan Perpres No. 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pemerintah.