Dari 400 petani jamur yang ada, kini separuhnya saja yang bertahan. Mereka rontok karena biaya produksi jamur melangit akibat kenaikan harga BBM. Namun, beberapa petani tetap bertahan. Berbagai cara hemat mereka coba. Mulai dari mengganti media, bahan bakar, hingga merombak boiler.
Terpaan dampak kenaikan BBM tak hanya melanda para pemilik kendaraan bermotor. Para petani jamur pun kena getahnya. Selain tuntutan kenaikan gaji dari karyawan, yang pasti harga minyak tanah kian melambung. Semula Rp1.100 per liter, meroket menjadi Rp2.500—Rp2.750.
Tak hanya minyak tanah, biaya produksi lain pun kian membengkak. Menurut Nunung, petani jamur di Cisarua, Kabupaten Bandung, total jenderal rata-rata kenaikan biaya per baglog bisa mencapai Rp300. Tak heran jika Nunung kini menjual baglog dengan harga Rp1.400 per buah.
Tingginya biaya produksi juga dikeluhkan Hendro, pengusaha jamur di Parungkuda, Sukabumi. Kali ini ia harus merogoh saku lebih dalam. Biasanya biaya yang dikeluarkan hanya Rp8-juta saja dalam sebulan, kini mencapai Rp10-juta— Rp1 5 – juta . Dengan produksi rata-rata 4 ton per bulan dan harga Rp5.000 per kg, ia hanya menangguk untung Rp5-juta. ”Jika harga kurang dari Rp5.000, saya angkat tangan,” ujar Hendro.
Ancaman gulung tikar petani jamur kian merebak. Sebab, kalau pun tidak rugi, keuntungan petani sangat tipis, hanya 10—20%. ”Semula margin yang diperoleh sekitar 40—60%,” kata Krisna Rubowo, ketua Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia (MAJI) wilayah Bogor.
Adjang Tarjana, salah seorang petani jamur tiram di Desa Kertawangi Kecamatan Cisarua, Bandung terpaksa mengurangi jumlah karyawannya. Semula berjumlah 28 orang, kini hanya tinggal 15 orang saja.
Kiat hemat
Menurut Adi Yuwono, salah seorang ahli jamur asal Bandung, untuk menghadapi kenaikan biaya produksi, mau tidak mau petani harus berhemat. Pendapat itu dibenarkan Nunung. Oleh sebab itu, ia menghemat pembelian bibit dengan mencoba memanfaatkan bibit yang sudah ada. “Kami berhenti membeli bibit baru meski berisiko produktivitas menjadi berkurang,” kata Nunung.
Sementara Adjang, untuk menghemat bahan bakar dengan merombak boilernya. Kini boiler itu menggunakan tungku, bukan kompor minyak tanah bertekanan. Sebagai bahan bakar, ia mencoba memanfaatkan limbah baglog yang sudah rusak. Limbah itu dikeringkan, lalu dimasukkan ke dalam tungku.
Menurut Adi Yuwono, cara itu paling irit. Untuk sekali pengukusan, cukup merogoh kocek Rp6.000. ”Sekadar membeli minyak tanah untuk menyalakan api,” kata Adi. Namun, hasilnya kurang memuaskan. ”Api yang dihasilkan kurang menyembur,” tutur Adjang.
Adjang lalu mencoba memakai briket batu bara. Memang lebih hemat. Dengan memakai batu bara, bisa menghemat Rp70.000. Jika memakai minyak tanah, butuh 100 liter untuk sekali pengukusan 1.500 baglog, atau setara Rp250.000. Dengan batu bara, ia cukup merogoh Rp180.000. Namun, hasil yang diperoleh sama, waktu mengukus jadi lebih lama karena api kurang menyembur. Biasanya 16 jam, kini menjadi 20 jam.
Tak puas sampai di situ, ia mencoba kayu bakar. Api dari kayu bakar cukup besar. Apalagi kalau kayu dari pohon rasamala. Waktu pengukusan pun lebih cepat dibandingkan dengan batu bara. Untuk sekali pengukusan, butuh waktu 18 jam. Memang masih lebih lama daripada menggunakan minyak tanah, tapi jauh lebih hemat. Cukup Rp120.000 untuk sekali kukus. Tak heran jika sekarang Adjang mulai menimbun kayu bakar.
Tingkatkan produkstivitas
Nun di Blitar, Agoes Poernomo, salah satu pengusaha jamur, menghemat biaya dengan merombak boiler dan ruang kukus. Kompor boiler yang semula menyemburkan 2 titik api, kini ia rombak menjadi 6 titik api. Begitu juga ruang kukus. Dindingnya dilapisi sekam yang dicampur kalsium karbonat dan semen putih, lalu ditutupi papan. Penutup dibuat 2 lapis, lantas dibalut aluminium.
”Cara itu untuk menjaga agar panas tidak keluar,” ujar Agoes. Dengan begitu, waktu untuk mencapai suhu optimal 100oC, lebih singkat. Biasanya 9 jam, kini 6 jam dan kompor langsung dimatikan. ”Ruang kukus yang telah dilapis sekam tadi mampu menahan panas hingga 24 jam,” lanjutnya. Konsumsi minyak tanah menjadi irit dari 220 liter per hari menjadi 140 liter.
Dari segi bahan baku, Agoes mengganti serbuk kayu dengan limbah pengolahan rami. Maklum, di sana rami melimpah dan harganya murah Rp1.500/karung; serbuk kayu Rp3.500. ”Hasilnya tidak berbeda, limbah rami masih mengandung 24% nutrisi,” tutur produsen jamur berlabel Payung Manfaat ini.
Cara lain adalah pengurangan dedak untuk pembuatan baglog. Harga dedak di Cisarua mencapai Rp3.500 per karung. Jika mau berhemat, petani Cisarua bisa kurangi komposisi dedak, jangan 20%. ”Bisa dikurangi hingga 10%. Saya sudah coba, hasilnya sama,” kata Adi. Dengan begitu, separuh biaya dedak bisa dihemat. Jika ada bahan lain yang lebih murah, bisa dipakai. Contohnya bonggol jagung, eceng gondok, atau kiyambang kering yang telah diperam 6 hari. Menurut Adi, ketiga bahan itu setara dengan dedak sebagai sumber protein alternatif.
Menanggapi penggantian bahan bakar minyak tanah untuk pengukusan, Ahmad setuju kalau itu dilakukan petani kecil yang menggunakan drum. ”Dengan kapasitas pengukusan hingga 4000 baglog, itu mustahil,” ujar Ahmad. Hal senada juga dilontarkan Hendro dan Nunung. Mereka lebih memilih meningkatkan produktivitas dan efektivitas kerja karyawan.
Ahmad Sulaiman Putra kini menerapkan sistem upah borongan. Jumlah upah per orang dihitung berdasarkan jumlah pekerjaan yang sanggup diselesaikan. Untuk membuat baglog dan sambung bibit, diupah Rp35 per baglog. Dengan begitu, para pekerja berlomba menyelesaikan tugas mereka. Alhasil, target 4.000 baglog per hari, tuntas dalam waktu 4—5 jam. Biasanya, jumlah sebanyak itu diselesaikan sehari penuh atau sekitar 8 jam.
Memang, berbagai cara menekan biaya produksi tergantung skala usaha. Jika kapasitas besar seperti 4.000 baglog, tentu mengganti bahan bakar minyak tanah dengan kayu bakar atau limbah baglog kurang efi sien, terutama waktu. ”Yang penting, petani harus terus kreatif,” tambah Adi. (Imam Wiguna)