Saturday, June 14, 2025

Kiat Katrol Panen Kopi Robusta

Rekomendasi

Produksi kopi robusta melonjak drastis berkat pemangkasan dan pemupukan.

Produksi kopi robusta Kabupaten Bogor belum optimal karena minim perawatan.

Trubus — Desa Mento, Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, makin meriah dengan merahnya buah kopi robusta di kebun. Maklum, saat itu, Agustus 2018, itu masa panen raya kopi. Sebagai sentra sejak masa kolonial, masyarakat Candiroto mengandalkan kopi robusta sebagai sumber penghasilan. Namun, dahulu pekebun menengok kebun hanya saat panen.

Pemangkasan hanya sekadarnya, penyiangan atau pemupukan pun nihil. Dampaknya, “Produksi rendah, buah pun kurang berkualitas,” kata ketua kelompok tani Akur, Desa Mento, Heru Prayitno. Ketika pekebun menjual, pengepul membanderol sangat murah sehingga pekebun makin enggan merawat. Kondisi itu berubah ketika pada 2005, Dinas Pertanian Temanggung melatih 25 pekebun dalam sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT).

Bersaing

Heru Prayitno (kiri, berkacamata) menerima kunjungan pehobi kopi asal Polandia. (Dok. Heru Prayitno)

Pendidikan SLPHT selama sebulan itu menyadarkan pekebun bahwa dengan perawatan yang baik, kopi memberikan pendapatan lumayan. Heru memetik pelajaran penting dari sekolah lapang, yakni kalau ingin hasil baik, usahanya harus sepadan. Usai pendidikan singkat itu, pekebun langsung menerapkan ilmunya. Mereka memangkas pohon yang kebanyakan berumur lebih dari 30 tahun.

Selanjutnya pemangkasan menjadi kegiatan tahunan. Mereka juga memangkas cabang atau ranting yang sebelumnya berbuah karena tidak produktif. Pemangkasan itu usai panen pada Juli—September. Berikutnya Heru dan rekan-rekan membenamkan pupuk kimia 2 kali setahun. Pada Oktober—pascapemangkasan cabang tua—mereka membenamkan Urea 50 g per tanaman. “Unsur N dalam Urea membantu pertumbuhan tunas baru agar tanaman cepat rimbun,” kata Heru.

Kopi produksi Kelompok Tani Akur, Desa Mento Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. (Dok. Heru Prayitno)

Menjelang pembentukan bunga pada Maret, mereka membenamkan pupuk NPK tinggi fosfor dan kalium 200 g per tanaman. Fosfor merangsang pembungaan, sementara kalium meningkatkan kualitas buah. Tidak hanya pupuk kimia, anggota kelompok tani Akur juga membenamkan pupuk kandang berupa kotoran serta urine kambing terfermentasi. Menurut Heru hampir semua pekebun memelihara kambing atau domba.

Mereka membenamkan pupuk kandang sewaktu-waktu, sepanjang tahun. “Berangkat ke kebun membawa pupuk kandang, pulangnya membawa rumput atau gulma untuk pakan kambing,” kata pria 55 tahun itu. Rumput atau gulma itu hasil menyiangi kebun kopi. Ia memperkirakan, dalam setahun tiap pohon mendapat 1—5 kg pupuk organik padat. Penaung berupa pohon petai atau jengkol, selain memberikan penghasilan tambahan, juga menyediakan unsur nitrogen organik siap serap.

Hasil jerih payah anggota Akur tampak 2 tahun kemudian. Produksi buah yang semula hanya 0,5—0,7 ton melejit menjadi 1—1,2 ton kopi beras per hektare. Tingginya hasil itu juga lantaran persaingan positif yang terjadi di antara mereka. “Lazimnya pekebun malu kalau langsung ditanya produktivitas, tapi raut muka tidak mungkin disembunyikan,” ujar Heru. Kalau hasil bagus, pekebun tampak semringah. Sebaliknya ketika produksi minim, air muka mereka suram.

Matang 80%

Kepala Bidang Perkebunan Distanhorbun Kabupaten Bogor, Ir. Irma Villayanti.

Di tengah persaingan menghasilkan buah terbanyak dan terbaik, alumni sekolah lapang konsisten mengarahkan. Contohnya, saat sebagian pekebun berkeras memanen asalan alih-alih petik merah. Heru menyatakan, rendemen buah asalan menjadi biji lebih rendah ketimbang petik merah. Ia menganjurkan pekebun memetik buah dengan tingkat kulit merah minimal 80%. Menurut Heru buah 80% merah rendemennya hanya 3,8 kg untuk menghasilkan 1 kg biji kopi beras.

Bandingkan dengan petik asalan, perlu 4,1 kg buah kopi untuk menghasilkan 1 kg biji kopi beras. Padahal agar matang 80%, pekebun hanya perlu menunda panen 2 pekan. Ayah dua anak itu membimbing pekebun yang masih memanen buah asalan dengan menjabarkan perhitungan kasar. Dengan rendemen 3,8, maka panen dari sehektare lahan yang mencapai 4—5 ton buah ceri menghasilkan 1,05—1,31 ton kopi beras.

Namun kalau panen asalan, dengan rendemen 4,1 saja pekebun hanya mendapat 0,97—1,2 ton. Dengan harga jual rata-rata Rp24.000 per kg, “Kerugian pekebun yang panen asalan Rp1,92 juta—Rp2,64 juta,” ujar Heru. Strategi itu efektif memacu pekebun kopi robusta di Mento merombak metode merawat kopi. Maklum, dengan kepemilikan lahan rata-rata 0,25 ha, selisih produksi itu menjadi sangat berarti.

Pekebun kopi di Mento mengolah kopi dengan proses kering. (Dok. Heru Prayitno)

Apalagi sejak kopi menjadi tren 3 tahun terakhir, banyak orang yang hanya membeli sedikit, 50—100 kg biji, tapi meminta kualitas premium dan berani membayar lebih mahal. Anggota Kelompok Tani Akur lantas menyortir berdasarkan tingkat kecacatan dan ukuran biji. Meskipun pekebun membanderol biji premium itu dengan harga Rp40.000 per kg, “Banyak yang mau membeli,” kata Heru.

Fakta itu membuat pekebun di Mento sadar bahwa kopi produksi mereka tergolong berkualitas. Wajar saja, keterbatasan air membuat mereka mengolah dengan cara kering sehingga menghasilkan kopi yang manis meskipun disajikan tanpa gula. Itu didukung dengan topografi Kecamatan Candiroto yang berada di ketinggian 600—1.125 meter di atas permukaan laut. “Di dataran menengah—tinggi, kopi lambat matang tapi rasanya unggul,” kata periset senior di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka), Jember, Dr. Pujianto.

Brigade pangkas

Kesuksesan pekebun kopi robusta di Candiroto itu membuat banyak pihak tertarik belajar. Salah satunya dari Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Menurut anggota staf Bidang Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (Distanhorbun) Kabupaten Bogor, Reza Septian, S.P., mereka mengajak pekebun kopi dari 9 kecamatan produsen kopi di Bogor belajar ke Temanggung.

Maklum, “Pekebun di Kabupaten Bogor belum intensif merawat pohon kopi mereka,” kata alumnus Jurusan Ilmu Tanah Universitas Padjadjaran itu. Pohon kopi tidak pernah dipangkas sehingga tinggi mengelancir. “Buah mengecil tapi cenderung masam meskipun jenis robusta,” kata pegiat kopi di Kecamatan Sukamakmur, Andika Aditisna. Rasa unik itu menjadikan kopi asal Bogor mempunyai peminat, meski produksi dan kualitasnya fluktuatif.

Kopi tua perlu peremajaan.

Distanhorbun tidak membiarkan kondisi itu berlarut-larut. Sejak 2016, lembaga itu aktif mendorong dan mendampingi pekebun kopi. Sebagai pemacu, mereka mengajak pekebun studi banding ke Temanggung. Pada 2017, dinas membentuk Brigade Pangkas yang melibatkan penyuluh, pendamping, dan tenaga pangkas khusus. Jumlah personil Brigade Pangkas bervariasi 13—60 orang. Terbanyak di Kecamatan Sukamakmur (60 orang), sementara di Cigudeg cukup 13 orang.

Maklum, “Dengan pemangkasan yang baik, produksi meningkat 3 kali lipat,” kata kepala Bidang Perkebunan Distanhorbun Kabupaten Bogor, Ir. Irma Villayanti. Pemangkasan menjadikan hasil fotosintesis tidak tersia-sia sekadar menjadi kayu cabang atau ranting nonproduktif. Distanhorbun juga mendorong pekebun untuk meremajakan pohon-pohon tua. Harap mafhum, sebagian besar pohon-pohon itu ditanam pada masa kolonial Belanda.

Distanhorbun bekerja sama dengan Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri), Sukabumi, Jawa Barat. Balittri menyediakan entres klon unggul untuk meremajakan pohon tua (baca “Sambung Dahulu, Panen pun Melambung” hal. 18—19). “Perakaran pohon tua mapan sehingga produksi pascapenyambungan meningkat,” kata Irma. Distanhorbun juga menganjurkan pemupukan dengan pupuk majemuk untuk menggenjot produktivitas. Dengan demikian, pekebun kopi Bogor bisa merasakan kemakmuran seperti rekan-rekan mereka di Temanggung. (Argohartono Arie Raharjo)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Tuna Kaleng dari Bitung Tembus Pasar Amerika dan Belanda

Trubus.id - Komitmen mendorong ekspor produk perikanan terus diperkuat. Bea Cukai Bitung mengawal pelepasan ekspor perdana tuna kaleng milik...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img