Sunday, September 8, 2024

Kisah Delapan Dewa di Ladang Berbunga

Rekomendasi
- Advertisement -

“Di Jakarta jenis yang sama paling banter seukuran 8 cm dan warnanya agak pucat,” ucap Silvia Hidayat, kolektor tanaman hias di Pluit, Jakarta Utara. Big bertha hanya satu di antara ribuan tanaman milik Boen Soedijono—yang menghampar luas.

Penampilan euphorbia di nurseri Bloomfield itu sangat prima. Padahal lokasinya di puncak Gunung Bunder, Kabupaten Bogor. Di ketinggian itu lazimnya euphorbia malas berbunga dan rentan terserang penyakit. Namun, di sana semua tanaman memamerkan bunga, rata-rata memiliki 6—10 dompol yang menyembul di antara hijaunya daun. Bunga tampak mencolok karena ukuran mahkota jumbo dan warnanya lebih ngejreng. Pantas jika pengunjung selalu terkesima melihat penampilannya.

Membungakan delapan dewa—sebutan euphorbia—di dataran tinggi tidaklah gampang. Lantaran mahkota berduri menyukai daerah panas untuk berbunga. Belum lagi curah hujan di kaki Gunung Bunder tinggi sehingga kerap jadi sarang Erwinia carotavora penyebab busuk batang. Segudang kendala boleh menghadang, tetapi Boen mampu berkelit.

Greenhouse jepang

Boen memanfaatkan greenhouse untuk melindungi tanaman dari hujan dan angin. Ada 10 greenhouse di lahan seluas 3.500 m2. Tanaman yang baru datang dari Thailand ditempatkan di greenhouse berbentuk sungkup. Enam bambu setinggi 2 m ditancapkan dengan interval tertentu. Setelah itu plastik UV dibentangkan di atasnya membentuk segitiga dan ditarik kuat-kuat hingga menyentuh tanah. Ujungujung greenhouse dibiarkan terbuka untuk keluar-masuk angin.

Sebulan berselang setelah sosoknya prima, tanaman dipindahkan ke greenhouse perawatan yang mirip kandang ayam. Rumah tanam itu terbuat dari kayu dan berdinding kawat. Agar penerimaan sinar matahari optimal, greenhouse dibuat pendek, 2,5 m dan beratap fiber. Rumah kaca yang tinggi justru membuat warna bunga kusam dan ukuran mengecil. Maklum di Gunung Bunder perbedaan suhu siang dan malam amat tajam. Temperatur siang 38—40oC, malam, 17—20oC.

Untuk euphorbia yang menyukai sinar matahari seperti chiang mai, Boen meletakkannya dalam greenhouse yang atapnya bisa dibuka-tutup. Greenhouse itu sangat sederhana hanya berupa tiang-tiang yang diselubungi plastik UV. Saat musim kemarau atap dibuka. Musim hujan ditutup supaya tanaman tidak rusak kena air.

Sedikit pekebun di tanah air yang menggunakan greenhouse seperti itu. Pengalaman melancong ke Jepang jadi panduan penyayang anjing itu merakit greenhouse. “Di Jepang model seperti itu familiar untuk tanaman sukulen. Bedanya greenhouse di sana lebih pendek hanya 2 m dan tertutup rapat. Tidak sekadar hemat, model itu juga lebih efisien dalam penyerapan sinar matahari,“ paparnya. Maklum Jepang beriklim subtropis. Jika diadopsi di Indonesia pemberian nutrisi harus optimal supaya tanaman rajin berbunga.

Rawat intensif

Ayah 2 anak itu memang intensif memupuk. Saat tanaman dikarantina, setiap seminggu sekali dikocorkan zat perangsang akar. Dosis 1 sendok teh/3 liter untuk 200 tanaman. Tujuannya agar tanaman cepat beradaptasi. Penyiraman 2 hari sekali tergantung cuaca. Media porous campuran pasir dan sekam bakar dipilih agar tanaman tidak tergenang.

Tiga bulan kemudian media diganti berupa campuran pasir, sekam bakar, dan pupuk kandang kotoran kambing perbandingan 1:2:2. Pot diganti sesuai ukuran tanaman agar akar leluasa tumbuh.

Untuk merangsang euphorbia berbunga lebat anak kedua dari 4 bersaudara itu memberi campuran Growmore, Hiponex biru, dan Merical Grow. Perbandingannya 1:1:1 dengan frekuensi seminggu sekali selama 3 minggu berturut-turut.

Penyemprotan pestisida menjadi rutinitas. Maklum di Gunung Bunder yang bercuaca dingin tempat nyaman penyakit. Itu sebabnya setiap hari tanaman harus diperiksa. “Sedikit lengah tanaman habis diserang ulat atau kena busuk batang,“ ujarnya. Wajar jika ia betah berlama-lama di greenhouse untuk memeriksa si delapan dewa. (Bertha Hapsari)

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Produksi Ikan Nila Milik Pembudi daya di Sumatra Barat Meningkat dengan Sistem Bioflok

Trubus.id—Pembudi daya di Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatra Barat,  Dwi Fandy mampu menuai 450 kg dari kolam berukuran 40 m2....
- Advertisement -
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img