Meski tak punya kebun, PT Ollop mampu rutin mengirimkan pala bermutu ke Belanda. Harga beli ke petani selalu lebih tinggi daripada harga pasaran.
Harap mafhum PT Ollop di Hila, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, memang tak memiliki kebun pala. Oleh karena itu perusahaan yang berdiri pada 2006 itu mengandalkan pasokan biji buah Myristica fragrans dari para pekebun. Setiap bulan Ollop mengirimkan 10-13 ton biji pala dan 5 ton fuli atau kulit pembungkus biji pala dan berwarna merah ketika buah masak ke Belanda.
Perusahaan itu bermitra dengan 400 pekebun di Hila dan 200 petani di Kaitetu-keduanya di Kabupaten Maluku Tengah, satu setengah jam perjalanan bermobil dari Kota Ambon, Provinsi Maluku. Namun, pasokan mereka terbatas. Rata-rata kepemilikan hanya 100 pohon produktif per pekebun. Padahal, menurut Dr Ir Ilyas Marzuki, dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, produktivitas sebuah pohon pala berumur 10 tahun hanya 10 kg kering per tahun atau 1.000 kg per ha.
Produksi meningkat seiring dengan penambahan umur pohon rempah-rempah itu. Akibat pasokan dari pekebun di Hila tak memadai, PT Ollop pun bermitra dengan para pekebun di Banda, Provinsi Maluku. Sentra produksi pala memang terkonsentrasi di Indonesia bagian timur seperti Provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara. Abdul Gani Ollong, pengelola PT Ollop, mengatakan standar mutu pala ekspor yang dikehendaki pembeli adalah biji utuh, tidak pecah, tanpa lubang bekas gerekan serangga, berkadar air maksimal 11%, dan kulit biji mengkilap.
Mutu membaik
PT Ollop membeli biji pala per kilogram Rp2.000-Rp5.000 lebih mahal ketimbang harga di pasaran. Harga beli yang lebih tinggi itu, “Untuk memberdayakan masyarakat,” kata Abdul Gani. Pada Juli 2012, misalnya, PT Ollop membeli pala pekebun Rp120.000 dan fuli Rp150.000 per kg. Itu tiga kali lipat dari harga pada lima tahun lalu. Menurut Abdul Gani semula banyak pekebun menjual biji pala kepada tengkulak.
Namun, karena banyak tengkulak yang menekan harga, “Banyak petani beralih menjual pala kepada Ollop,” kata Gani. Jika kadar air terlampau tinggi, Abdul Gani lalu menjemur pala-pala pasokan para pekebun di bawah terik matahari selama 0,5-1 jam. “Penjemuran terlalu lama menyebabkan biji pala berminyak,” ujar Gani. Penjemuran ulang secara singkat itu untuk menurunkan kadar air.
Ollop memang memiliki alat untuk menentukan kadar air. Namun, biasanya dengan mengadu antarbiji penjemur sudah mafhum kadar air biji pala. “Jika terdengar bunyi tek… tek… nyaring berarti biji kering (berkadar air 11%, red),” kata Abdul Gani. Perusahaan yang mempekerjakan 80 karyawan itu lalu mengelompokkan biji buah anggota famili Myristicaceae menjadi tiga kelas.
Verstehen di Rotterdam, Belanda, yang membeli pala dari PT Ollop, memang menetapkan tiga kelas pala. Kelas A terdiri atas 100 biji, kelas B (150-200 biji), dan C (300 biji) per kg. Rempah-rempah asli Indonesia itu lalu dikemas dengan karung goni berbobot 25 kg. Tujuannya agar tak memberatkan pengangkut baik saat pengiriman di Maluku maupun ketika pala tiba di Pelabuhan Rotterdam. Sementara fuli pala dikemas dengan plastik transparan dalam kotak stirofoam.
Semula importir di negeri Kincir Angin itu hanya meneken kontrak pengiriman biji pala dan fuli selama dua tahun. Namun, pada pengiriman ke-5, Verstehen mengubah kesepakatan itu bukan lagi dua tahun, tetapi menjadi selamanya. Itu karena Ollong mengirim biji pala berkualitas sebagaimana permintaan importir. “Berarti ada kepercayaan importir karena kami mempertahankan mutu sehingga kontinuitas ekspor kami berkesinambungan,” kata Abdul Gani.
Bahkan, pada saat tertentu importir minta frekuensi pengiriman menjadi dua kali sebulan dengan volume sama, yakni 10-13 ton per pengiriman atau 20-26 ton per bulan. Sayang, PT Ollop enggan membuka harga jual ke importir di Rotterdam. Ketika wartawan Trubus tiba di PT Ollop, puluhan perempuan tengah menyortir biji komoditas perkebunan itu. Mereka mengenakan penutup kepala dan masker. Menurut Abdul Gani, itu untuk menjaga higienitas biji pala antara lain mencegah masuknya rambut dalam kemasan ekspor.
Buka kebun
Berdasarkan data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian dalam Pedoman Teknis Perluasan Tanaman Pala Tahun 2012, Indonesia eksportir terbesar pala di dunia. Pala Indonesia memasok 60-75% kebutuhan pala dunia. Volume ekspor biji pala Indonesia selama 2005-2009 berfluktuatif. Volume ekspor biji pala pada 2006 mencapai 16.702 ton senilai US$47.775.000. Pada 2008 menjadi 12.942 ton senilai US$50.187.000. Di negara tujuan ekspor pala antara lain diolah untuk diambil oleoresinnya.
Verstehen memanfaatkan notemuskaatboom alias pala sebagai bumbu beragam penganan, obat, dan bahan baku parfum. Para herbalis di tanahair memanfaatkan moluccas nutmeg sebagai herbal penenang, mengatasi stres, insomnia, dan pereda nyeri. Namun, sebetulnya tak mudah bagi Ollong untuk memperoleh pasokan pala bermutu-yang kaya minyak asiri, hingga 16%-dari para pekebun mitra.
Sebab, kerap kali mereka panen dini akibat terdesak kebutuhan. Buah pala siap panen pada umur 7-8 bulan sejak bunga mekar. Buah akan terbelah dan tampak fuli yang memerah dari celah itu pertanda siap panen. Panen dini saat fuli berwarna krem, belum merah, hanya menghasilkan biji bermutu rendah, antara lain mudah pecah. Pada tahun pertama berdiri, pasokan biji pala rusak-pecah dan berlubang-relatif tinggi, yakni mencapai 40%.
Dengan penyuluhan panen dan pascapanen, tingkat kerusakan biji mengandung senyawa aktif miristisin, safrol, dan eugenol itu turun menjadi 20%. Satu-satunya eksportir pala di Provinsi Maluku itu terus melakukan penyuluhan agar tingkat kerusakan biji makin turun. PT Ollop bukan hanya menyuluh cara panen, tetapi juga teknik budidaya komoditas ekspor itu. Pada April 2012, misalnya, Ollop memberikan 50 bibit pala gratis kepada setiap peserta penyuluhan.
Itu wajar saja karena kontinuitas ekspor amat bergantung kepada pekebun mitra. Saat ini 60% pasokan pala berasal dari para pekebun di Banda, sedangkan sisanya 40% dari para pekebun di Hila. Selain itu PT Ollop juga merencanakan membuka lahan 14.000 ha di Hative, Kota Ambon. Menurut Abdul Gani jenis tanah dan iklim di Hative sesuai untuk budidaya pala. Ollop-singkatan dari nama pasangan suami istri H Sofyan Ollong-Oppier. Sofyan Ollong adalah pendiri perusahaan yang kini berumur enam tahun itu.
Sofyan membuka pasar pala di Rotterdam secara tak sengaja. Ketika masih tinggal di kota pelabuhan itu, Sofyan yang pensiunan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda kedatangan importir Belanda yang mencari pasokan pala. Jadilah Sofyan pulang ke kampung halaman dan rutin mengirim berton-ton pala ke Rotterdam. Keberlangsungan ekspor terjaga karena Sofyan hanya mengirimkan biji berkualitas. (Sardi Duryatmo)
Keterangan foto :
- Biji pala berselaput fuli merah. Bobot buah rata-rata 60 g, biji (6,7 g), dan fuli (2 g)
- Kemasan pala dalam goni berbobot 25 kg siap ekspor ke Rotterdam, Belanda via Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya
- Fuli kualitas ekspor berwarna merah terang
- Buah pala segar siap panen pada umur 7-8 bulan sejak bunga mekar
- Abdul Gani Ollong menerapkan sortir biji pala secara ketat