
Itu pula yang menyebabkan orang menyangka trenggiling sebagai reptil. Lidah itu mampu meliuk-liuk, bergerak lincah di lubang semut atau rayap—keduanya pakan favorit trenggiling. Begitu menemukan kedua serangga sosial itu, lidah langsung memerangkap.

Sebab, cairan lengket bagai lem itu memudahkan trenggiling menjebak mangsa. Chairun Nisa’ mengatakan, cairan lengket itu dihasilkan oleh kelenjar mandibularis. Keruan saja trenggiling tak mengunyah karena tak memiliki gigi seperti pada umumnya mamalia. Ia mengirim bahan makanan itu ke lambung yang memiliki tonjolan-tonjolan kasar untuk menggiling makanan. Tonjolan kasar berfungsi seperti gigi untuk melumat makanan sehingga disebut juga gigi pilorus.
Selain itu trenggiling juga acap mengonsumsi batu kecil untuk membantu pencernaannya. Itulah sebagian keunikannya. Keunikan lain yang khas adalah kemampuan menggulung. Sisiknya yang keras melindungi bagian tubuh yang lunak, terutama bagian bawah perut, dada, dan kepalanya yang kerucut itu. Saking keras sisik trenggiling itu sampai-sampai harimau tak mampu membuka gulungan itu.
Peneliti ekologi trenggiling di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Burhanuddin Masy’ud MSi, mengatakan bahwa trenggiling menyukai daerah berkemiringan 30—40 derajat. Menurut doktor alumnus Institut Pertanian Bogor itu mengatakan, begitu menggulung maka mudah baginya untuk menggelinding di daerah miring. Itulah cara trenggiling melindungi diri dari musuh.

Celakanya strategi itu justru mengancam populasi jika “musuhnya” adalah manusia. Para pemburu dengan mudahnya menangkap trenggiling yang menggulung, karena diam dan tanpa perlawanan sama sekali. Mereka lantas memasukkan satwa langka itu ke dalam karung. Kemampuan menggulung diri itu menyebabkan masyarakat asing menyebut trenggiling sebagai pangolin—dari kata pengguling karena kebiasaanya menggulung.
Satwa unik itu berjalan dengan empat kakinya, dua kaki belakang lebih panjang. Namun, ketika berjalan cepat trenggiling justru menggunakan dua kaki belakang dengan bantuan gerakan ekor. Ekor yang kuat itu juga bersifat prehensil atau berfungsi sebagai alat pemegang batang liana ketika memanjat. Meski mampu membuat liang di sekitar pohon, trenggiling juga mampu memanjat. Faedah lain ekor untuk menggendong anaknya.
Riset Novriyanti dari Universitas Jambi, membuktikan bahwa liang trenggiling berada di bawah pohon kulim Scorocarpus borneensis dan ara Ficus retusa. Ia membuat liang hingga sepanjang 5—6 meter. Sementara pada siang hari satwa itu berada di atas pohon kapuk Ceiba pentandra. Selain itu trenggiling menempati pohon-pohon yang batangnya berlubang.

Satwa yang kemampuan melihat dan mendengar lemah itu memiliki senjata lain untuk bertahan. Saat terancam trenggiling yang berpenciuman sangat baik itu bakal menyemprotkan cairan berbau busuk untuk menghalau musuh. Chairun Nisa’ mengatakan, cairan busuk itu dihasilkan kelenjar anal. Dokter hewan yang meriset trenggiling untuk penelitian disertasi itu mengatakan, gara-gara kebiasaan itu masyarakat Sunda menyebut trenggiling sebagai peusing.
Itu merujuk pada aroma cairan yang memang pesing. Sayangnya, cairan beraroma tak sedap itu lagi-lagi tak berarti bila “musuhnya” berupa manusia. Untuk apa para pemburu menangkap trenggiling? Mereka tergiur harga mahal. Dalam sebuah laporan riset, Novriyanti menyebutkan bahwa harga seekor trenggiling di pasar gelap mencapai Rp1,9-juta. Masyarakat Tiongkok mengolah daging trenggiling menjadi sup.
Situs resmi Balai Karantina Kelas II Cilegon, Provinsi Banten, melaporkan pemusnahan 12 ton daging trenggiling dan 95 kilogram sisik trenggiling yang gagal diselundupkan. Bobot seekor trenggiling dewasa rata-rata 2—5 kg. Artinya 12 ton daging itu setara minimal 2.400 ekor. “Satu kilogram daging trenggiling dihargai sekitar satu juta rupiah,” tulis situs itu. Harga tinggi itu menggiurkan para pemburu trenggiling.

Chris R. Shepherd dari Jaringan Pemantau Perdagangan Satwa Liar ketika lokakarya trenggiling pada 2 Juli 2008 mengatakan, Tiongkok pasar terbesar. Celakanya trenggiling itu hasil tangkapan alam. Pada lokakarya itu periset Pusat Penelitian Biologi LIPI, Gono Semiadi, memaparkan penyelundupan trenggiling dalam beragam bentuk, satwa hidup, daging beku, dan sisik terjadi di berbagai wilayah.
Tujuan penyelundupan itu sebagian besar memang ke Tiongkok. Gono memaparkan penyitaan 256 trenggiling di pelabuhan Belawan, Provinsi Sumatera Utara, dan 2.250 ekor di Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, pada 2008. Menurut Gono pemicu punahnya spesies liar seperti trenggiling antara lain hilangnya habitat karena pembalakan liar, perdagangan ilegal, dan kebijakan yang menyebabkan salah kelola hutan.

Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dubelas, Provinsi Jambi mengggunakan sisik trenggiling sebagai penangkar petir dan hujan. Selain itu masyarakat di berbagai negara memanfaatkan trenggiling untuk mengatasi beragam penyakit. Masyarakat Afrika memanfaatkan mamalia itu untuk mengatasi ketidaksuburan dan rematik. Mereka memanfaatkan sisik untuk mengatasi gangguan pencernaan, kanker perut, kanker rahim, gonorhoea, dan stroke.
Belum ada riset ilmiah yang membuktikan keampuhan sisik atau daging trenggiling untuk mengatasi beragam penyakit itu. Sayangnya, status trenggiling hanya Appendix II. Artinya Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) mengizinkan perdagangan trenggiling dengan syarat ketat.

Akibat perburuan itu maka populasi trenggiling Manis javanica kian menyusut. Afroh Manshur pada 2015, misalnya, mengamati trenggiling di habitat aslinya di sebuah taman nasional di Pulau Jawa. Mahasiswa program Konservasi Biodiversitas Tropika Institut Pertanian Bogor itu mengamati perilaku trenggiling dengan pemandu lokal sejak sore hingga dinihari. Hingga 14 hari pengamatan, ia tak sekalipun menjumpai satu-satunya mamalia bersisik itu di alam.
“Saya hampir putus asa,” ujar Afroh mengenang. Ia baru bisa menjumpai satwa pemanjat itu pada hari ke-15. Padahal, di daerah itu merupakan habitat asli trenggiling Manis javanica. Menurut Pengendali Ekosistem Hutan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sumatera Utara, Markus Sianturi, perburuan liar trenggiling makin banyak. Dampaknya kelestarian trenggiling terancam.
“Waktu kecil, trenggiling masih gampang dijumpai bila masuk hutan. Sekarang hampir tidak pernah lagi berjumpa,” ujar alumnus Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara itu kepada wartawan Trubus Syah Angkasa. Trenggiling jawa itu juga hidup di Malaysia, Laos, Thailand, dan Vietnam.

Spesies-spesies lain seperti Manis crassicaudata hidup di India dan Srilanka, M. gigantea (Afrika), dan M. pentadactyla (Myanmar, Nepal, Tiongkok) mengalami nasib serupa. Jenis M. culionensis yang hidup di Pulau Palawan dan Culion, Filipina, menjadi spesies terbaru yang sebelumnya termasuk Manis javanica. Dunia mengenal 8 spesies trenggiling, 7 di antaranya hidup di Asia.
Ahli zoologi asal Perancis, Anselme Gaëtan Desmarest, yang memberi nama genus Manis untuk trenggiling pada 1822 saat usianya 38 tahun. Nama itu berasal dari bahasa Latin, yakni manes, berarti hantu atau roh. Sebutan itu mengacu pada sifat nokturnal atau aktif pada malam hari dari trenggiling sekaligus morfologi mamalia yang tak lazim. Namun, nasib si Manis amat pahit karena menjadi buruan hingga terancam punah. Cukup sudah Manis palaeojavanica yang punah.

Sudah begitu daya reproduksi trenggiling amat rendah. Satwa unik itu bunting selama 5 bulan dan melahirkan rata-rata 1 ekor. Afroh menyebutkan bahwa laju penurunan populasi pada genus Manis dalam 45 tahun terakhir mencapai 9%. Burhanuddin mengatakan, salah satu jalan keluar untuk menyelamatkan trenggiling adalah penangkaran. Ia dan Chairun Nisa’ kini tengah berupaya mengembangbiakkan trenggiling.

Setahun terakhir mereka berupaya menangkarkan dua pasang trenggiling. Penangkaran trenggiling itu sebagai upaya pemanfaatan berkelanjutan trenggiling yang merupakan satwa berkhasiat obat. Rangkaian penelitian kini memasuki tahun kedua itu didahului dengan kajian bioekologi di beberapa wilayah sebaran trenggiling, yakni di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Penangkaran itu terkait dengan aspek adaptasi, kandang, nutrisi, dan perilaku berpasangan. “Target riset penangkaran trenggiling di bawah koordinasi Pusat Studi Biofarmaka IPB adalah sukses mengembangbiakkan dan memanfaatkan secara lestari tanpa mematikan trenggiling,” kata Burhanuddin. Menurut drh Okta Wismandanu yang mengecek kesehatan secara rutin, kedua pasang itu tumbuh sehat. Bahkan, sepasang mulai berjodoh. Empat trenggiling itu menempati empat kandang yang berderet-deret. Bagian bawah kandang berukuran 3 m x 2 m berdinding tembok, bagian atas berupa pagar besi yang memungkinkan kedua trenggiling dari kandang saling mendekat.

Di bagian bawah kandang juga terdapat pintu yang bisa dibuka-tutup. Pagi itu Okta menimbang satu per satu trenggiling berbobot 2—5,5 kg per ekor. Selain itu ia juga mengecek suhu tubuh trenggiling. Jika penangkaran itu sukses, Chairun Nisa’ berharap masyarakat tetap dapat memanfaatkan trenggiling tanpa harus berburu di alam. Bahkan, tanpa harus membunuhnya.

Sebab, penangkar bisa “memanen” sisik yang keras itu dengan memotong sebagian. Sisik yang mengandung keratin itu akan tumbuh kembali usai pemotongan layaknya kuku pada manusia. Namun, hasrat itu membutuhkan penelitian panjang. Sebab, banyak misteri pada si hantu Manis itu. Mantan guru besar Universitas Obihiro, Hokaido, Jepang, Prof Junzo Yamada DVM MSc, PhD, mengatakan bahwa trenggiling merupakan harta karun. Junzolah yang mendorong Chairun Nisa’ untuk meriset trenggiling. Upaya itu untuk mengatasi agar nasib si Manis itu tak selamanya pahit. (Sardi Duryatmo)
