Karena penasaran pakar buah-buahan dari Bogor itu langsung memetik dan membelah. Saat dicicipi, hmm… manis dan harum. Tak ada rasa getir sama sekali. Jeruk kiser yang tumbuh di Nusa Tenggara Timur itu bagaikan gadis desa nan cantik.
Tak hanya Reza yang memuji kiser. Saat si manis itu dikirim Iwan Santoso, pengusaha agribisnis di Kupang, NTT, mengikuti lomba buah unggul 2004, tiga juri sepakat. “Rasanya segar dan manis. Penampilannya juga menarik,” kata Evy Syariefa, juri dari Trubus. Sayang, pada lomba itu tak ada kategori sunkis, sehingga kiser harus melawan jeruk kelompok siem dan keprok.
Rasa manis pada kiser istimewa karena berbeda dengan sunkis yang lazim diimpor dari California, Amerika Serikat. “Sunkis impor lebih asam. Makanya kiser pasti bisa bersaing dengan sunkis luar negeri,” kata Reza. Maklum, lidah orang Indonesia dan Asia lebih menyukai buah berasa manis. Lain halnya dengan orang Eropa, mereka suka buah yang sedikit asam.
Jeruk belah
Ciri khas kiser dan sunkis lain ialah sulit dikupas. Menurut Reza, kiser bukanlah siem dan keprok. “Ia tergolong jeruk manis Valencia,” katanya. Di dunia internasional ia disebut Valencia Late Orange atau VLO yang termasuk dalam kelompok jeruk manis biasa. Selain jeruk manis biasa, ada juga jeruk manis pusar. Salah satu jeruk manis pusar yang populer Washington Navel Orange alias WNO. Cirinya, ujung buah tidak bulat, tapi memiliki pusar.
Karena sulit dikupas, cara mengkonsumsi kiser tak seperti jeruk lain. “Harus dibelah memanjang, lalu dimakan seperti semangka,” kata Iwan Santoso. Boleh juga dibelah melintang. Yang disebut terakhir itu bukan untuk dimakan segar, tapi untuk diperas dan diambil sari jeruknya.
Yang juga istimewa, kulit kiser manis buah kecil—sebutan kiser di Mollo Tengah Utara—sangat tebal. Saking tebalnya, gigitan hama tak mampu menembus kulit. “Lihat, kulitnya sudah rusak oleh serangan hama. Namun, siung buah tetap mulus,” kata Reza.
Langka
Jeruk kiser mulai ditanam di Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pada 1986. Letak daerah itu sekitar 130 km dari Kupang ke arah Timur Laut, atau 15 km dari Soe, ibukota kabupaten. Tak ada yang tahu pasti siapa yang pertama kali menanam. Namun, karena bernama kiser, banyak dugaan ia berasal dari Pulau Kisar, Maluku. Maklum, di beberapa pulau yang termasuk ke dalam wilayah Maluku terdapat jeruk yang mirip sunkis dengan sebutan jeruk kisar (baca: Kisar ‘Sunkis’-nya Maluku Tenggara, Trubus Januari 1996, hal 42—43).
Meski sudah dikenal sejak 19 tahun silam, perkembangan kiser sangat lambat sehingga langka. Musababnya, kultur masyarakat subsisten membuat mereka tak berniat mengembangkan secara komersial. Jumlahnya diperkirakan hanya 90—200 batang tanaman yang tersebar di ladang dan pinggiran hutan.
Karena langka kiser tak sempat dipasarkan keluar Nusa Tenggara Timur. “Di sini saja terserap habis,” kata Iwan. Harganya pun melangit. Pada awal dan akhir musim, 3 butir dipatok Rp5.000. Pada saat puncak musim harga agak melorot menjadi Rp5.000 per 5 butir. Berharaplah ada kesempatan pergi ke Kupang, mampir ke kebun kiser. Dan, rasakanlah kelezatan kiser seperti yang dinikmati oleh Reza Tirtawinata. (Destika Cahyana)