Mulanya Suryo menduga kondisi fisik ikan yang menjadi penyebab. Namun, ternyata kejadian yang sama terulang keesokan harinya. Tidak tanggung-tanggung kali ini 5 akuarium berisi ratusan guppy jenis red blonde yang meregang nyawa. Kontan saja penangkar guppy di Bekasi, Jawa Barat, itu kalang kabut.
Ternyata pemicu kematian ratusan ekor Poecillia resticulata itu kandungan klorin dalam air. Setiap musim hujan, PDAM memang menambahkan klorin dalam jumlah besar. Tujuannya untuk mengendapkan kotoran dan menjernihkan air. Namun, untuk pehobi ikan, hal itu jadi malapetaka. Jika tidak hati-hati, ikan-ikan peliharaan mati karena tak tahan.
Ikan mungil bercorak warna-warni itu menghendaki air jernih dengan kadar oksigen t e r l a r u t t i n g g i , minimal 5 mg/l air. Kandungan klorin terlalu tinggi pengaruhnya sama dengan pencemaran logam berat bagi manusia, berakibat fatal. Penambahan alat-alat penyaring pun kadang tak mempan lagi. ”Saya sudah menambahkan antiklorin dan fi lter, tapi tetap saja,” ujar Suryo mengenang.
Dua sistem
Kejadian di penghujung 2003 itu kini tinggal kenangan. Agar tidak terulang lagi Suryo memutar otak untuk menciptakan alat sirkulasi khusus. Idenya datang setelah bertukar pikiran dengan sesama hobiis guppy dan ahli pengolah air. Dengan modal hanya Rp3-juta dibuatlah alat penyaring klorin sederhana. Walaupun sederhana tapi dampaknya luar biasa.
Alat dibuat mengikuti 2 fungsi pengolahan air, penyaringan dan sirkulasi. Sebelum dialirkan ke akuarium, air disaring dengan alat khusus berupa drum berukuran tinggi 60 cm dan diameter 50 cm. Bagian dalam drum disekat besi menjadi 4 bilik. Antarbilik dihubungkan dengan lubang-lubang kecil di bagian bawah.
Masing-masing bilik diisi busa dan karbon aktif khusus. Busa berfungsi sebagai peyerap kotoran. Sedangkan karbon aktif memberi efek menetralkan klorin. Di bilik keempat dipasang pipa PVC untuk menyalurkan air ke dalam 2 buah bak penampung air. Air dari keran disalurkan menggunakan selang air.
Mekanisme kerjanya sederhana. Air PAM dari keran dialirkan ke bilik pertama. Karena adanya efek bejana berhubungan, air mengalir melalui lubanglubang kecil menuju bilik kedua. Semakin tinggi air di bilik pertama, bilik lainnya terus menyesuaikan diri. Dari bilik keempat, air dialirkan menuju bak penampungan. Sampai di sini selesailah proses penyaringan. Namun air belum bisa langsung digunakan. Masih ada proses sirkulasi yang harus dilakukan agar air benarbenar bebas klorin.
Proses sirkulasi dan aerasi berupa penyaringan secara berulang-ulang. Dengan bantuan sebuah pompa, air diputar melewati fi lter selama 48 jam nonstop. Selang 2 hari air baru siap digunakan. Pertama kali mencoba Suryo hanya mensirkulasi selama 24 jam. Ternyata air yang dihasilkan belum cukup aman bagi guppy-guppynya. Terbukti pertumbuhan lambat dan sukar beranak. Barulah setelah diubah menjadi 2 hari, ikan bisa berkembang biak dengan baik.
Mudah
Perawatan fi lter tidak sulit. Busa dan karbon aktif cukup diganti secara periodik tiap 1—1,5 tahun sekali. “Tergantung kondisi busa dan karbon, rata-rata karbon yang bagus tahan 1 tahun,” ujar ayah 1 putra itu. Karbon aktif sengaja dipilih produksi luar negeri. Pasalnya, produk bertahan lebih lama dan kemampuan menyerap klorin lebih besar. Sebanding dengan harganya yang mencapai Rp1,5-juta per sak berbobot 25 kg.
Alat buatan Suryo terbukti ampuh menangkal serbuan klorin pada guppy. Buktinya alumnus Akademi Grafika Jakarta ini makin kondang sebagai peternak sekaligus penangkar guppy di Indonesia. Ikan hasil tangkarannya berulang-ulang tampil sebagai jawara kontes. Tidak tanggung-tanggung paling tidak 5 piala disabet tiap kali bertanding. (Laksita Wijayanti)