Semua koi yang didatangkan Kiki Sutarki dari dua tempat itu, sukses mendepak saingannya dan meraih 15 piala bergengsi. Di antaranya untuk kategori superior champion dan best in size yang digenggam kohaku terbaiknya.
Sakai Fish Farm ibaratnya tuan rumah penangkar koi di Jepang. Dari tahun ke tahun koi-koi lulusan farm itu sukses meraih overall grand champion di All Japan Nishiki Koi Show, ajang gelar bagus-bagusan koi paling bergengsi di negeri Sakura. Tercatat kohaku koleksi Sakai meraih gelar tertinggi pada Th e-29, 32, 33 All Japan Nishiki Koi Show di 3 kota yang berbeda pada kurun 1995—1997.
Nama Sakai diambil dari nama penangkar koi di Daiwa Town—kota kecil di Hiroshima—Hiroji Sakai. Bagi sebagian besar pencinta koi di tanahair, ia menjadi trademark. “Sakai Fish Farm penangkar koi terbesar di Jepang. Fasilitasnya terlengkap memungkinkan lahir koi-koi bermutu,” ujar Kiki Sutarki, pemilik Samurai Koi di Bandung.
Setiap tahun Sakai menghasilkan 6 juta koi. Tidak lebih dari 2% koi kualitas nomor satu didapatkan dari setiap seleksi. Menginjak umur sebulan koi-koi dipisahkan menurut jenisnya. Selama masa pembesaran, koi terus diseleksi. Ketika mencapai ukuran 20—25 cm seleksi tahap kedua dilakukan untuk dibesarkan hingga berukuran jumbo, di atas 80 cm.
Ikan-ikan terpilih dikirim ke danau alam supaya tumbuh pesat dalam waktu singkat. Golongan tosai—ikan umur 1—12 bulan—dipanen pada kurun Maret—April. Super jumbo, nisai—ikan umur 12—24 bulan—dipanen pada September—Oktober, berukuran 60—80 cm. Secara umum panen koi Sakai berlangsung 3 kali setahun: Maret, Oktober, dan April.
Koi Momotaro
Sakai Fish Farm memang tak sendiri. Nun di Okayama, daerah kecil di Jepang bagian selatan, terdapat Okayama Momotaro Koi Farm. “Dibandingkan Sakai, Momotaro kalah besar. Namun, secara kualitas, mereka bersaing,” ujar Kiki. Buktinya farm milik keluarga Maeda itu sukses mengantongi 2nd Price All Japan Young-koi Show di Tokyo awal April 2005. Bahkan pada ajang 2nd All Indonesia Combined Koi Show di Jakarta Mei 2005, momotaro sanke menggaet 1st price.
Senada dengan Sakai, Momotaro pun menerapkan seleksi ketat pada koi-koi hasil pijahannya. Dengan mud pond seluas 5 ha, untuk mencapai ukuran 40—45 cm dari 20 cm momotaro hanya membutuhkan waktu kurang dari 6 bulan. Panen berlangsung pada September dan Maret. Saat itu agen dari mancanegara berdatangan untuk memboyong koi momotaro. Para hobiis di Amerika Serikat dan Eropa umumnya telah menjadwalkan waktu panen itu sehingga hampir tak pernah absen.
Pasar ekspor
Sama seperti sebagian besar penangkar koi di Jepang, Sakai Fish Farm dan Okayama Momotaro Koi Farm membidik pasar luar negeri. Hampir semua negara: Taiwan, Th ailand, Hongkong, hingga Asia Tenggara mereka rambah. Bahkan pasar Eropa dan Amerika Serikat sudah digarap sejak 1980-an.
Demi memperkokoh distribusi, kedua farm terbesar di Jepang itu membentuk jaringan pemasaran di masing-masing negara. “Di setiap negara ada agennya. Karena itu pembeli yang ingin memiliki koi-koi Sakai dan Momotaro tak perlu jauhjauh ke Jepang,” ujar Kiki Sutarki. Pemilik Samurai Koi, Bandung, itu kini tengah melamar untuk menjadi agen langsung Sakai dan Momotaro untuk wilayah Indonesia.
Tak pelak Samurai Koi Center yang fanatik pada koi-koi Sakai dan Momotaro dikenal sebagai penjual koi berkualitas tinggi. Ketika Trubus bertandang ke showroom-nya di Taman Mutiara Cimahi, Bandung, 800 koi impor yang mendiami kolam seluas 775 m2 tampak prima.
80 TDS
Menurut Kiki meski koi-koi dari Sakai dan Momotaro secara genetis bagus, tapi tetap tak bisa mengabaikan perawatan. Faktor lingkungan dan pakan harus mendapat perhatian. Lingkungan standar agar koi tumbuh bagus adalah yang paling mendekati kondisi di Jepang. “Makanya saya memilih Bandung. Dengan suhu stabil pada kisaran 24°C sangat kondusif untuk tumbuhnya kerabat ikan mas itu,” ujar Kiki. Dengan kondisi itu tak perlu memakai greenhouse berpenghangat sebagaimana di Jepang yang mengalami musim dingin.
Pria kelahiran 12 April 1963 itu juga, melakukan treatment fast moving pada koikoi yang diimpor dari Sakai dan Momotaro. Kolam sedalam 3,5 m menjadi modal baginya untuk membesarkan koi-koi itu lebih cepat dan bertubuh kompak.
“Kualitas air di Jepang rata-rata 80 TDS sedangkan di Indonesia mencapai 230—250 TDS,” ucap ayah 2 putra itu. Dengan kandungan zat padat terlarut dalam air 80 TDS (total dissolve solid) memungkinkan koi-koi terlahir dengan pattern cerah dan kualitas tubuh terjamin.
Oleh karena itulah Kiki menggunakan soft ener, fi lter berisi kation untuk mengikat zat-zat terlarut berbahaya, seperti magnesium dan kalsium. Modal itulah yang mengantarkannya sebagai kolektor medali di kejuaran bergengsi koi. (Hanni Sofi a)