Trubus.id — Data Pusat Promosi Impor Negara Berkembang (Centre for the Promotion of Imports from Developing Countries—CBI-red) menyebutkan, peluang pasar khusus kopi, berkembang pesat. Makin banyak konsumen Eropa yang bersedia membayar harga lebih tinggi untuk kopi berkualitas tinggi.
Industri pun memenuhi permintaan pasar dengan mengadopsi berbagai standar keberlanjutan, sebagian melalui skema sertifikasi, seperti fair trade, organik, dan rainforest Alliance/UTZ. Tentu saja skema itu sangat bervariasi antara satu negara dan negara lainnya. Wajar bila pada 2020–2021, kopi spesial dan kopi bersertifikat organik mengalami pertumbuhan positif.
Menurut laporan konsultan pemasaran besar di India, HTF Market Intelligence, ketika konsumen menjadi lebih sadar tentang gaya hidup dan ingin mengadopsi kebiasaan yang lebih sehat, mereka akan beralih ke produk organik.
Dampaknya, pasar kopi organik global diprediksi tumbuh dari US$8,67 miliar pada 2021 menjadi US$10,28 miliar pada 2022. Pada 2026 diperkirakan pasar kopi organik meningkat menjadi US$14,71 miliar.
Konsumen kopi bersertifikat organik terbesar di Eropa adalah Jerman. Di negara itu, konsumen juga makin menuntut produk yang dikelola secara berkelanjutan.
“Isu keberlanjutan memicu kenaikan volume produk organik,” kata Wakil Kepala Perwakilan Kedutaan Besar untuk Jerman di Berlin, Yul Edison.
Dengan tujuan berkontribusi positif terhadap lingkungan, konsumen Jerman kini selektif memilih kopi organik.
Indonesia berpeluang besar mengisi pasar kopi itu. Menurut Atase Perdagangan dari KBRI Berlin, Bayu Wicaksono, kopi Indonesia sebenarnya memiliki segmen pasar sendiri. Dari nilai impor kopi di Jerman sebesar US$2,7 miliar, Indonesia baru mengisi 1,75%.
Riset World Coffee Portal 2020 mengindikasikan lebih dari 50% konsumen Jerman bersedia membayar lebih demi keberlanjutan sumber-sumber kopi di dunia. Mereka kini sangat peduli terhadap kopi dengan syarat higienis, tingkat residu rendah, memiliki keamanan pangan, dan peduli keberlanjutan. Persyaratan itu melengkapi kebiasaan warga Jerman yang lebih suka menikmati kopi di rumah.
Warga Jerman yang gemar ngopi di rumah mencapai 72%, sisanya baru memilih lokasi perkantoran dan kafe kopi untuk menyeruput secangkir kenikmatan. Saat ini konsumsi kopi di Jerman mencapai 6,5 kg per kapita per tahun.

Angka konsumsi itu lebih tinggi dibanding konsumsi kopi di Indonesia. Berdasarkan Organisasi Kopi Dunia (International Coffee Organization/ICO) tingkat konsumsi Indonesia baru 1,15 kg per kapita per tahun.
Setelah Jerman, importir kopi organik di Eropa lainnya adalah Denmark, Prancis, Swiss, Swedia, dan Italia. Data dari CBI menginformasikan, konsumen dengan kategori usia 16–34 tahun bersedia mengeluarkan lebih banyak uang untuk produk organik. Krisis Covid-19 membuat konsumen semakin sadar akan kualitas produk dan kesehatan.
Pergeseran tren gaya hidup dibenarkan oleh Imelda Liliyanti, pengusaha kopi dari Kabupaten Boyolali, Jawa tengah. Pada awal 2022 negara-negara importir menerapkan aturan terbaru regulasi Komisi Uni Eropa Nomor 2020/1085 yang disahkan pada 23 Juli 2020 merevisi regulasi Nomor 396/2005. Aturan itu mengenai batas maksimal residu atau MRL (Maximum Residue Levels) berupa perhitungan batas deteksi penggunaan pestisida yang makin rendah.
Komisi Eropa bersepakat untuk menurunkan batas kandungan residu dari yang mulanya 0,1 mg/kg produk menjadi 0,05 mg/kg. Tujuannya, mengedepankan pangan Eropa harus aman, bergizi, dan berkualitas tinggi.
Di kebun kopi, penggunaan insektisida berbahan chlorpyrifos dan chlorpyrifos-methyl, masih digunakan untuk mengendalikan hama serangga dan berfungsi mengolah biji-bijian yang disimpan di gudang.
Kopi organik dinilai memiliki berbagai manfaat kesehatan karena bebas dari residu racun. Oleh karena itu, saat dikonsumsi dijamin zat berbahaya tidak masuk ke dalam tubuh.