Harga Kakao dunia turun. Polesan kebun dan produksi olahan menjadi juru selamat.
Bangunan berdinding kayu itu tak pernah sepi ketika musim liburan tiba. Puluhan pengunjung memadati pondok berukuran 15 m x 15 m itu. “Pengunjung datang untuk melihat proses pembuatan berbagai olahan seperti cokelat batang, dodol cokelat, atau keripik pisang cokelat,” kata Yuni, pegawai bagian pemasaran Griya Cokelat Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.
Meski baru berdiri pada 2016, Griya Cokelat menjadi salah satu destinasi wisata Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Pengunjung tertarik melihat
proses pencampuran, pengadukan, dan pencetakan berbagai olahan cokelat. Selain ke Griya Cokelat, pengunjung juga diajak ke kebun melihat tanaman kakao, panen, atau pemisahan biji. Ketika musim panen, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Nglanggeran mengarahkan para pelancong mengunjungi kelompok tani untuk menyaksikan proses pemisahan biji atau penjemuran.
Ditertawakan
Sebelum pulang, pelancong membeli berbagai produk cokelat sebagai buah tangan. Dengan cara itu, kakao dari tanaman pekebun Desa Nglanggeran laku di kampung sendiri. Ide mengolah biji kakao produksi masyarakat Nglanggeran tercetus pada 2015. Setahun sebelumnya, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X meresmikan embung (danau mini) Nglanggeran. Semula pelancong yang datang ke Nglanggeran dominan remaja pencinta alam.
Setelah ada embung, pengunjung berasal dari semua kalangan. Rombongan keluarga, anak sekolah, mahasiswa, atau pasangan yang sedang kasmaran datang sekadar untuk bersantai, menikmati pemandangan, dan berfoto bersama, maupun berswafoto. Melihat pesatnya arus pelancong itu, ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kumpul Makaryo, Desa Nglanggeran, Hadi Purwanto, mengajak warga mengolah sendiri biji kakao dari kebun mereka sampai menjadi produk siap konsumsi.
Pur—panggilan Hadi—lantas meminta petunjuk dari Dinas Pertanian Gunung Kidul. Dengan dana tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility, CSR) dari Bank Indonesia, berdirilah Griya Cokelat. Para pekebun kakao Kumpul Makaryo mempelajari pemrosesan kakao ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka), Jember dan daerah lain penghasil kakao yang melakukan pemrosesan sendiri. Griya Cokelat pun sukses menjadi magnet wisatawan.
Desa itu juga menjadi tujuan belajar berbagai kampus atau sekolah kejuruan. Semua itu tercapai dalam kurang dari 3 tahun. Namun, pekebun kakao di Kabupaten Pidiejaya, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Irwan Ibrahim, memerlukan 7 tahun untuk hal sama. Pada 2003, pekebun kakao Pidiejaya panen raya sehingga harga biji Theobroma cacao itu anjlok. Saat itu muncul keinginan Irwan untuk mengolah sendiri kakao menjadi produk siap konsumsi demi meningkatkan nilai jual.
Berbagai aral—termasuk situasi Aceh saat itu—memaksa pria berusia 47 tahun itu memendam keinginannya. Dengan bantuan Dinas Pertanian dan LSM asal Jepang, pada 2010 angan itu terwujud dengan berdirinya kedai sekaligus toko Socolatte. Namun, tantangan belum sepenuhnya sirna. Rekan-rekan Irwan menganggap perbuatan ayah 1 anak itu sia-sia. Mereka mencibir, sebagian bahkan menertawakan. “Selama ini belum pernah ada orang mengolah kakao apalagi menjual cokelat di sini,” katanya.
Sudah begitu, budaya masyarakat Aceh adalah minum kopi, bukan konsumsi cokelat. Irwan bergeming. Ia mengolah hasil panen dari sekitar 1.000 pohon kakao miliknya menjadi berbagai olahan antara lain cokelat batang, pasta, atau bubuk siap seduh. Selain memasang plang besar di depan kedai, Irwan memperkenalkan produknya melalui berbagai pameran. Ketekunannya memerlukan 4 tahun untuk menampakkan hasil. Masyarakat Pidie dan sekitarnya, termasuk Banda Aceh, mulai gemar makan atau minum cokelat.
Lebih mahal
Permintaan meningkat sehingga hasil kebunnya sebanyak 600 kg biji kering per tahun tidak lagi mencukupi. Irwan pun mencari pasokan dari pekebun lain. Saat ini Irwan mempekerjakan 35 pegawai, hampir 6 kali lipat jumlah pegawai pada 2010 yang hanya 6 orang. Setiap bulan ia mengolah 2 ton biji kakao produksi pekebun, yang ia beli lebih tinggi Rp5.000 ketimbang harga pasaran. Pada November 2017, ia membeli dari petani Rp29.000 per kg, sedangkan pembeli lain hanya membeli Rp24.000 per kg.
Syaratnya pekebun menyetorkan biji kualitas prima dan terfermentasi. Ia berani melakukan itu lantaran margin dari harga jual produk olahan cukup besar. Pengolahan biji terfermentasi pun relatif mudah. “Fermentasi melunakkan biji sehingga memangkas konsumsi listrik mesin pelumat,” ungkap Irwan. Selain itu, ia ingin meningkatkkan kesejahteraan pekebun yang mau berusaha menghasilkan produk yang lebih baik. Untuk mendapatkan biji berkualitas, pekebun harus menyortir, selanjutnya memfermentasi selama 5 hari.
Itu berarti ada jeda hampir sepekan sebelum mereka menerima uang. Jika menjual langsung setelah panen, pekebun bisa segera mengantongi uang. Selisih Rp5.000 per kg menjadi daya tarik kuat. Jika pekebun memanen 50—100 kg setiap pekan selama 3 bulan musim panen raya, mereka mendapat Rp1,45 juta—Rp2,9 juta per pekan. Kalau menjual kepada pengepul atau tengkulak, “gaji” mingguan pekebun hanya Rp1,2 juta—Rp2,4 juta.
Hal sama pun berlaku ketika panen sela pada Februari—April. Tidak heran pekebun antusias menyetor hasil panen mereka. Irwan memang mengutamakan kualitas. Untuk menghasilkan cita rasa prima, ia menambahkan lemak cokelat—cocoa butter—hasil pengolahan biji sebagai salah satu bahan penyusun produknya. Pengolah lain menggunakan lemak nabati dari sumber lain untuk menekan harga, sementara lemak cokelat hasil pemrosesan biji kakao mereka jual terpisah.
Untuk mengakali pengurangan rasa, pengolah menambahkan perisa sintetis. Tidak dengan Irwan. Hasilnya terbukti, pembeli tidak pernah kapok untuk datang kembali setelah kunjungan pertama. Lokasi kedainya di tepi jalan
penghubung Medan—Banda Aceh membuat Socolatte semakin dikenal. Kalau semula hanya tempat singgah, kini kedai itu menjadi tujuan. Orang tidak hanya datang untuk membeli, banyak yang ingin belajar atau melihat
proses pengolahan biji kakao yang pahit getir menjadi produk cokelat lezat.
“Tidak ada orang tidak suka cokelat. Tua muda laki perempuan semua suka,” ungkap Arief Zamroni, ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI). Jika ada pengolahan cokelat yang dekat tempat mereka, masyarakat akan tertarik datang. Pendiri Kampung Coklat di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur, Khalid Mustofa, membuktikan hal itu. Selain makam proklamator, Ir. Soekarno, Kabupaten Blitar minim aset. Lokasinya bukan di lintasan utama, tidak ada pula universitas besar yang membuat kota itu menjadi tujuan belajar.
Khalid sukses mendatangkan pengunjung ke Blitar dengan membuat agrowisata Kampung Coklat (baca Hulu Hilir Cokelat, Trubus Maret 2016). Kini jangkauan bisnis Kampung Coklat melebar ke sektor meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE). Di sana tersedia hotel sekaligus ruang pertemuan dan arena permainan. Menurut Khalid Kampung Coklat bukan hanya untuk pelesir, bisa juga membicarakan bisnis atau meningkatkan kepiawaian karyawan melalui permainan mancakrida atau outbond. Tentu saja kakao dan cokelat tetap pemikat utama.
Merek andalan
Berbeda dengan Griya Cokelat Nglanggeran atau kedai Socolatte yang banyak dibantu oleh Dinas Pertanian setempat, Kampung Coklat minim uluran tangan pemerintah. Arief Zamroni mencatat, saat ini ada 17 provinsi yang membuat agrowisata berbasis kakao dan olahan cokelat. “Provinsi di Indonesia ada 34, itu artinya separuh negara ini menjadikan cokelat sebagai modal agrowisata,” kata Arief. Hal itu tidak mengejutkan, mengingat tanah air ini menduduki posisi ke-3 dunia produsen kakao dunia.
Jika potensi itu tergarap optimal, sejatinya Indonesia berpeluang menggeser Pantaigading dan Ghana serta menjadi produsen utama dunia. Apalagi dunia mengakui kualitas kakao Indonesia. Bahkan Callebaut, produsen cokelat kelas dunia di Belgia, membuat merek Java, yang menjadi salah satu andalan mereka. Laman maya Callebaut menyebutkan Java terbuat dari kakao criollo asal Pulau Jawa. Sayang, tidak semua kakao Indonesia berkualitas setara Java.
Menurut pegiat kakao dan berbagai komoditas perkebunan dari Gamal Institute, Jakarta, Ir. Hendra Sipayung, disparitas kualitas kakao tanah air sangat lebar. “Ada kelas premium, menengah, dan rendah,” kata Hendra. Itu tidak lepas dari minimnya perhatian pemerintah kepada segmen pasar. Ia menyoroti anjuran fermentasi di tingkat pekebun yang ramai disuarakan sejak 2008. Hingga kini masih banyak pekebun yang menjual biji basah nonfermentasi.
Musababnya, “Perbedaan harganya sedikit sehingga tidak signifikan bagi pekebun,” ungkap Hendra. Keruan saja kebanyakan pekebun ogah memproses selama hampir sepekan, belum ditambah kerepotan memfermentasi tanpa hasil sepadan. Apalagi setengah tahun terakhir, harga kakao dunia merosot mengakibatkan penurunan harga Rp2.000—Rp3.000 di tingkat pekebun. Pemrosesan produk akhir menjadi salah satu solusi yang menguntungkan. (Argohartono Arie Raharjo)