Terpadu berarti meletakkan kegiatan pertanian sebagai bagian yang utuh bersama dengan peternakan, rumah potong hewan, perikanan, perkebunan, dan industri pengolahan hasil pertanian. Bahkan pengelolaan sampah kota. Kian beragam komoditas yang dipadukan, kian besar manfaatnya. Tentu saja jika jenis kegiatan itu masih berkaitan. Jarang yang menyadari bahwa pertanian terpadu menghemat banyak hal.
Buruh
Antara kebun dan ternak, misalnya, saling berhubungan. Bukan kabar burung jika banyak peternakan yang gulung tikar lantaran ketergantungan pada pakan buatan pabrik yang harganya terus melambung hingga tak terjangkau. Biaya pakan lebih mahal ketimbang harga jual. Jika demikian apakah peternak mampu bertahan? Banyak petani banting setir menjadi buruh.
Mengapa mereka meninggalkan ladang? Mengapa mereka berbondong-bondong menjadi buruh? Biaya produksi meningkat lantaran tingginya harga pupuk dan pestisida pabrikan salah satu pemicu. Ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida pabrikan bukan hanya mengatrol biaya produksi. Namun, juga berdampak buruk pada penurunan kesuburan tanah dan kekebalan pada hama.
Pertanian terpadu menyediakan jawaban untuk kedua kasus di atas. Ternak butuh pakan, pertanian butuh pupuk. Klop! Keduanya bisa saling menunjang. Petani dapat memanfaatkan gulma sebagai pakan ternak. Begitu juga limbah hasil pertanian seperti dedak, bekatul, batang jagung, jerami, dan kulit kakao. Dari hewan ternak, petani memperoleh sumber nutrisi tanaman berupa urine, kotoran, dan sisa pakan yang dikomposkan.
Pola mengelola ladang terpadu seperti itu memungkinkan bila asupan bagi ternak dan kebun berbasis sumberdaya lokal. Contoh kecil keterpaduan itu mampu mereduksi keempat jenis krisis yang tak hanya mendera orang kota, tetapi juga masyarakat di pelosok. Memang baru sebatas lokal. Andai saja model pertanian terpadu diterapkan di semua desa atau kota kecil di seluruh dunia. Bukankah ia menjadi jawaban untuk krisis global?
Sampah
Berpikir global bertindak lokal, demikian slogan para pejuang lingkungan. Persis seruan revolusi Mao Tse Tung: desa mengepung kota. Bagaimana usaha kecil itu menjawab keempat krisis? Krisis pangan terjadi bukan karena berkurangnya lahan pertanian pangan akibat ekspansi perkebunan komoditas industri skala besar seperti kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI), pertambangan, industri, serta pemukiman.
Krisis pangan antara lain bermula dari penurunan produksi komoditas penghasil pangan. Produksi anjlok karena kesuburan ladang menurun akibat keliru memupuk. Selain itu ongkos produksi meningkat karena petani tergantung pada pupuk dan pestisida pabrikan. Sebuah kota kecil menghasilkan sampah 130-150 m3 sehari. Kira-kira 75% dari volume itu merupakan sampah organik atau 97,5-112,5 m3.
Dari jumlah itu dapat dihasilkan 50 ton kompos. Itu sehari! Padahal setiap 2-2,5 kg kompos cukup untuk memupuk 10 m2 lahan hortikultura. Artinya, setiap hari tersedia kompos untuk lahan seluas 20-25 hektar. Usaha pengomposan sampah kota memberi sumbangan berarti pada kebutuhan pupuk di kota yang bersangkutan. Itu sekaligus menyelesaikan masalah klise persampahan kota, yakni keterbatasan ruang.
Tentu saja, efek domino pengolahan sampah kota menjadi pupuk sangat panjang. Selain meningkatkan kebersihan, kesehatan, estetika, pengolahan itu juga meningkatkan anggaran belanja daerah. Kompos dari sampah kota memiliki nilai jual sebagai sumber pendapatan asli daerah. Pengolahan sampah kota menjadi kompos memiliki multimanfaat. Tentu saja pengomposan sampah kota menjadi alternatif penyelesaian beberapa jenis krisis global saat ini.
Energi baru
Model pertanian terpadu sangat memungkinkan petani untuk membudidayakan tanaman pangan sekaligus memelihara hewan dengan biaya terjangkau. Pertanian berkaitan dengan energi, terutama bahan bakar minyak. Akibat krisis energi biaya transportasi menjadi mahal. Harga pupuk dan pestisida juga melambung.
Namun, meningkatnya biaya transportasi, tak berpengaruh pada harga kompos yang bahan bakunya dari kandang sendiri atau harga pestisida nabati dari tanaman di dalam kebun. Paduan ternak-kebun memberi peluang baru bagi petani untuk membangkitkan energi baru. Energi itu berbasis limbah pertanian dan peternakan seperti biomassa. Ada kayu bakar, sekam, arang, dan biogas.
Dengan demikian tersedia energi untuk kebutuhan pengolahan hasil pertanian dan peternakan. Dengan memanfaatkan pupuk kandang dan bioenergi, keruan saja bakal memperkecil ongkos produksi. Syaratnya: dikelola dengan konsep sederhana, jelas, dan masuk akal, termasuk dalam hal penggunaan teknologi. Sebagai tambahan, kesadaran konsumen akan produk pertanian organik atau yang sekadar bebas residu pestisida, secara nyata meningkatkan nilai jual produk pertanian organik.
Krisis ekonomi boleh saja menggoyangkan keuangan sebuah negara, tapi tidak menyentuh petani. Lebih-lebih karena dalam hal pangan, petani berdaulat. Pertanian terpadu memberi kontribusi lebih ketika keterpaduan diisi oleh lebih dari dua jenis kegiatan. Persis seperti menyusun teka-teki gambar susun. Masing-masing sektor saling terkait. Jika susunannya tepat, sekali rangkai satu dua krisis teratasi.***
Syam Asinar Radjam ** Pelaku pertanian terpadu di Sukabumi, Jawa Barat