Tanah selebar 3 m penuh dengan jalur air memanjang sepanjang 6 km. Tanpa diperintah, 4 orang di dalam kendaraan mengencangkan sabuk pengaman agar guncangan tak berbahaya. Walau begitu, kepala Trubus tetap benjol karena terantuk kaca jendela samping.
Setelah melewati jalan terjal dan berliku, turun naik bukit selama 1/2 jam perjalanan di atas kendaraan roda 4 pun berakhir. Perjalanan dilanjutkan berjalan kaki menyusuri pematang tambak selama 5—10 menit. Beberapa rumah panggung dari papan menyambut kedatangan kami. Berkali-kali kami harus melewati titian bambu dan papan kecil untuk menyebrangi tambak satu dengan yang lain. Tepat 500 m dari bibir pantai, 4 ha tambak percontohan milik kelompok tani setempat terlihat apik.
“Inilah blok percontohan petambak di sini,” kata Herman, staf budidaya pembesaran udang asal Jepara, menyambut kedatangan Trubus. Saat melihat blok tambak itu, perasaan kagum langsung membuncah. Ketinggian air tambak di atas 100 cm, kontras dengan tambak sekitar yang kurang dari 70 cm. Badan tambak pun dibagi 2, blok budidaya dan blok tandon. Itu memungkinkan suhu dan kadar garam air tambak lebih stabil. Dua belas piring kipas pun tampak berputar untuk memperkaya oksigen terlarut dalam air. Yang juga istimewa, di tepi pantai tampak sabuk hijau
Tak terasa selama 2 jam mengamati aktivitas tambak, matahari telah terbenam. Suasana tambak pun berangsur menjadi remang-remang, lalu berubah menjadi gelap gulita. Maklum, penerangan listrik di Teluk Selangir terbatas karena sumber energi berasal dari diesel milik bersama. Penghematan solar pun dilakukan dengan menjatah nyala listrik seminggu 3 kali. Itupun terbatas pada pukul 18.00—24.00. Malam itu suasana gelap karena bertepatan dengan jadwal pemadaman. Trubus pun memutuskan kembali ke Kota Sangatta. Perjalanan pulang itu mengesankan, kami sempat menjumpai babi-babi liar yang melintas di jalan.
Buah lokal
K e e s o k a n harinya perjalanan dilanjutkan berburu bibit dan buah-buahan lokal. Maklum, sebelum keberangkatan ke Kutai Timur kami dikabari tentang beragam buah lokal seperti durian lokal, manggis kuning, lai, lahong, krantungan, ketapi, klendang, dan kwanyi. Kami pun diajak ke Bumi Pelatihan dan Percontohan Usaha Tani Konservasi (BPPUTK), Sangatta. Di institusi milik swadaya masyarakat itu terdapat 40.000 bibit buah-buahan. Total jenderal di balai seluas 5 ha itu dikoleksi 26 jenis buah.
Menurut Anjar Wantara, koordinator COMDEV PT KPC, buah-buahan lokal itu dikembangkan bukan untuk konsumsi manusia. “Itu tanaman lokal Sangatta, jadi sangat adaptif ditanam di sini. Ia ditujukan untuk reboisasi lahanlahan pascapenambangan,” katanya. Maklum, tanaman buah bercitarasa tinggi umumnya sulit tumbuh di lahan bekas tambang. Nantinya, bibit itu diserahkan kepada para penangkar setempat. Merekalah yang akan memasok bibit bagi reklamasi lahan.
Penasaran dengan nama buah lokal yang aneh-aneh, kami mencoba berburu buah itu di habitat aslinya. Sayang, walau kami keluarmasuk hutan di pinggiran pemukiman tak satupun ditemukan pohon yang berbuah. “Mestinya bulan ini musim buah. Namun, kemarau dan penghujan yang tak beraturan membuat periode musim berbeda,” kata Nugroho Dewanto, staf lapangan PT KPC yang mengantar Trubus. Berdasarkan pengamatan daun dan batang, sebagian besar buah dapat ditemukan di daerah lain dengan nama berbeda. Misal, ketapi ternyata sama dengan kecapi di Pulau Jawa.
Salak sangatta
Dari balai itu perburuan dilanjutkan ke arah selatan. Setelah melewati jalan sejauh 7 km menyusuri Sungai Sangatta, kami berhenti di sebuah rumah di Dusun Gunung Karet, Desa Sangatta Selatan, Kecamatan Sangatta. Di samping rumah tampak kebun berpagar kayu dan tumpukan dedaunan. Tak ada yang menyangka, di sana terdapat harta karun terpendam. Di balik pagar itu terhampar 300 pohon salak di lahan miring seluas 1/2 ha. Di situlah salak sangatta—salak paling terkenal—di daratan Kalimantan Timur tumbuh dan dirawat seorang nenek bernama Siti Amah.
Rasa manis dan renyah menjadi salah satu keunggulan salak sangatta. Karena itu setiap pameran buah nasional digelar di seluruh Indonesia, Salacca salacca itu selalu hadir mewakili Kalimantan Timur. “Dia setara dengan salak pondoh di Tanah Jawa, tapi rasa khasnya berbeda,” kata Nugroho. Karena penasaran, Trubus mencicipi buah yang sebetulnya berbuah di luar musim. Hmm, manis dan renyah.
Menurut Siti Amah, salak miliknya merupakan s a l a k p er t ama y ang dikembangkan di Sangatta. Pada 1980-an Siti Amah pindah dari Duri, sebuah daerah di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, ke Sangatta. Ia membawa sekeranjang salak enrekang yang memang terkenal di tanah bugis (baca: Rame, Bolong, dan Permen Tiga Andalan Enrekang, Trubus September 2005 hal. 54—55). Biji-biji salak itu ditanam dan diseleksi sehingga menghasilkan salak sangatta.
Kantong semar
Usai menikmati salak kami bergerak ke arah Teluk Sangkima untuk berburu kantong semar. Waktu tempuh ke sana sekitar 1/2 jam perjalanan bermobil ke arah tenggara. Dulu kala Sangkima jauh lebih maju ketimbang Sangatta karena penambangan minyak bumi oleh Pertamina berpusat di sana. “Setelah ditinggal Pertamina seperti kota mati. Rencananya kota ini akan bergairah kembali bila Bandar Udara Sangkima diaktifk an lagi,” kata Nugroho (baca: H Mahyudin MT Sangatta, Kota Sangat Dicinta, hal 48—49)
Yang terlihat di kiri-kanan jalan hanyalah alang-alang, pakis, dan beberapa tanaman perintis. Maklum, daerah itu termasuk bekas hutan terbuka. Hanya 2 pipa minyak yang mirip belalai panjang mendampingi di sebelah kiri jalan. Kira-kira 2,5 km sebelum tepi pantai, tiba-tiba Nugroho berteriak. “Kita berhenti di sini, lihat di sebelah kiri,” katanya. Benar saja di tepi parit jalan tumbuh nephentes yang sedang memamerkan kantongnya yang indah.
Kami terus masuk agak ke dalam melompati parit dan pipa pertamina. Hamparan kantong semar semakin banyak di depan kami. Pengamatan Trubus, terdapat tanaman dengan 3 variasi bentuk kantong ditemukan: berkantong hijau polos, bercak kecokelatan, dan dominan cokelat kemerahan. Tangkai kantong tampak membelit rumput atau pun alangalang yang tumbuh di sekitarnya. Karena penasaran, kami mencoba menggali. Ternyata, periuk monyet itu tumbuh di atas tanah bercadas agak berpasir. Ia tergolong nephentes dataran rendah yang cocok ditanam di kota-kota yang panas.
Matahari mulai condong ke barat, kami pun bersiap meninggalkan Teluk Sangkima. Namun, sebelum pulang Trubus menyempatkan singgah di pantai Sangkima yang indah. Deburan ombak yang tenang mengusir kepenatan perjalanan kami sepanjang hari. (Destika Cahyana)