Setelah muatan rapi, ia duduk di samping sopir ikut mengawal. Dengan harga diterima pedagang Rp3.000/kg, kantong Danang menggelembung. Saat kembali ke Magetan, ia memilih duduk di balik kemudi Kijang second yang baru dibelinya.
Itu cerita setahun silam saat Danang memanen 24 ton pamelo dari lahan seluas 1 ha di Desa Kepuhrejo, Kecamatan Takeran, Magetan. “Kebetulan harga jeruk lagi tinggi, sehingga saya bisa mendapat uang banyak,” ujarnya. Panen tahun ini diperkirakan ayah 2 anak itu menuai pendapatan lebih besar. Sebab, selain jumlah panen meningkat, pasar kian membentang.
Trubus melihat, 50—200 buah seukuran bola takraw bergelayutan di setiap batang pamelo ketika berkunjung akhir Mei silam. Sejak 5 tahun lalu 300 Citrus grandis varietas nambangan di lahan seluas 1 ha itu rajin berbuah. Buah dipanen pada Juli dengan harga jual Rp2.000—Rp2.500 per butir. “Dari sana, minimal saya mengantongi Rp60-juta per tahun,” ucap Danang.
Dengan pendapatan sebesar itu, Danang hidup makmur. Maklum biaya perawatan yang dikeluarkan hanya Rp5-juta—Rp6- juta per tahun. Laba bersih Rp44-juta pertahun di antaranya bersalin rupa menjadi rumah bertingkat dua berukuran 14 m x 8 Bebas lalat buah m. Sebuah sedan Honda Accord tampak diparkir di halaman samping menemani Kijang yang dibeli tahun kemarin. Ruang tengah rumah menjadi garasi untuk 4 sepeda motornya.
Betasuka
Di Magetan tak hanya Danang yang mencicipi manisnya jeruk besar. Tercatat 6.000 pekebun kecipratan rezeki perniagaan pamelo.Taraf hidup mereka terangkat karena 6 tahun silam kawasan Bendo, Takeran, Sukomoro, dan Kawedan—lazim disebut Betasuka—dijadikan sentra pengembangan pamelo di Indonesia oleh pemda setempat.
Kabupaten di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah itu memang dikenal sebagai penghasil pamelo, keprok, dan siem sejak era 80-an. Namun, keprok dan siem porak poranda oleh serangan Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD). Pamelo, satu-satunya jenis yang dianggap tahan CVPD , ditinggalkan karena nilai ekonominyarendah. Ia tidak bisa menjadi sandaran hidup masyarakat.
Padahal total luas penanaman mencapai 470 ha yang tersebar di pekarangan rumah penduduk dan kebun-kebun sempit. Puncaknya, pada 1997 pamelo di Betasuka hampir punah akibat serangan lalat buah dan penyakit blendok yang disebabkan Betryodiplodia theobramae. “Akibatnya tak ada yang mau menanam jeruk besar lagi,” ujar Suratman SP, ketua Asosiasi Pamelo Magetan.
Pemerintah daerah Magetan lantas tergerak untuk memulihkan eksistensi jeruk besar. Penyakit blendok diatasi dengan melibatkan Loka Penelitian Tanaman Jeruk dan Hortikultura Subtropik Tlekung. Areal tanaman pun diperluas hingga mencapai 1.500 ha.
Hasilnya, sejak 5 tahun silam setiap musim panen April—Juni, 50 truk konvoi mengangkut pamelo dari kawasan Betasuka menuju Jakarta. “Setiap truk berisi 4.000 pamelo,” ujar Sutrisno, pedagang besar di Takeran yang mengirim 1 truk per hari ke Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur. Ia membeli nambangan—salah satu varietas yang banyak dikembangkan di Magetan—dari pengumpul setempat Rp2.000 per butir. Di Pasar Induk Kramatjati, Sutrisno memborongkan Rp10-juta—Rp12- juta/truk. Dengan menghitung biayatransportasi Rp1-juta—Rp2-juta per truk, ia masih mengantongi keuntungan Rp1-juta—Rp3-juta.
Cikoneng
Manisnya pamelo pun dinikmati para pemain di sentra lain seperti Sumedang, Kudus, Aceh, dan Sulawesi. Sebut Saja H Soom di Desa Cikondang, Kecamatan Ganeas, Sumedang, memetik 10.000 buah dari 100 pohon berumur di atas 10 tahun setiap panen raya Mei—Juni. Dengan harga Rp5.000 per butir ia meraup Rp50- juta per musim sejak 2 tahun silam.
H Soom tidak perlu repot memasarkan karena pengepul mengambil ke kebun. Dari pengepul buah dikirim ke pasar-pasar dan pedagang kaki lima di Sumedang seharga Rp10-ribu—Rp12-ribu per butir. “Jeruk tambang uang bagi kami,” tutur kakek berkacamata itu.
Di Sumedang jeruk besar dikembangkan di Kecamatan Sumedang Utara, Sumedang Selatan, Ganeas, Cisarua, dan Tanjungkerta. “Kini total areal penanaman mencapai 100 ha,” ujar Ir Subarti, dari Dinas Pertanian Sumedang. Kota Tahu itu getol memperluas areal tanam karena berniat mengembalikan kejayaan sebagai penghasil jeruk cikoneng, varietas pamelo andalan. Jeruk besar yang manis dengan serat halus itu nyaris hilang akibat letusan Gunung Galunggung pada 1981.
Di Desa Japan, Kecamatan Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, jeruk besar juga mulai digalakkan. Minimal 1—2 pohon ditanam di pekaranganpekarangan rumah.
Pasokan kurang
Seiring dengan pengembangan penanaman di berbagai daerah, jeruk besar mudah ditemukan di pasar swalayan, toko-toko buah hingga pedagang di pinggir jalan. Menurut Ir I Made Donny Waspada, manajer pemasaran Moena Farm, pemasok buahbuahan di Jakarta. Serapan pasar jeruk besar terus meningkat. Meski ia bermitra dengan pedagang di Magetan sejak 3 tahun silam, Donny tetap kekurangan pasokan.
“Pasar yang saya pasok sanggup menyerap 3.500 butir per hari. Tapi, barangnya sulit didapat, paling hanya 1.000 butir per hari,” keluhnya. Penyebabnya pasar menginginkan pamelo berbobot di atas1,3 kg/buah, sementara yang dihasilkan pekebun rata-rata 1 kg/buah. Pengalaman serupa dialami Mutakim, manajer toko Total Buah Segar, di Jakarta Barat. “Padahal saya butuhnya tidak banyak, hanya 50 buah berbobot 2 kg setiap 2 hari,” ujarnya.
Untuk memenuhi permintaan ia pontang-panting menghubungi pemasok. Pasokan terbesar datang dari Magetan. Selain produksi massal, buah manis, dan harga juga bersaing dengan pamelo dari Malaysia. Sementara dari Cikoneng, baru sebagian populasi berproduksi sehingga belum sanggup memasok pasar di luar Sumedang.
Melihat permintaan yang begitu tinggi, peluang mengembangkan pamelo masih terbentang. Namun, penyakit blendok dan lalat buah yang masih mengintai pekebun perlu diwaspadai. Pekebun pun siap-siap menerima harga lebih rendah. Apalagi sentra penanaman kian bertambah. Namun, di Magetan dengan harga beli Rp1.500 per buah, pekebun masih untung. (Destika Cahyana/Peliput: Evy Syariefa Firstantinovi dan Rahmansyah Dermawan)