Harga jual jeruk dekopon di tingkat pekebun Rp30.000—Rp60.000 per kg, termahal di tanahair. Harga mahal itu menjanjikan laba berlimpah.
Menjelang puasa tahun ini, rekening Syahid kian gendut. Ia memperoleh omzet Rp35-juta hasil penjualan 700 kg buah jeruk dekopon. Sejatinya petani di Desa Tugumukti, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat, itu panen 800 kg. Namun, hanya 700 kg yang lolos seleksi untuk memasok pasar swalayan yang menghendaki bobot minimal 330 gram per buah, warna kuning cerah, dan bebas hama atau penyakit.
Adapun 100 kg lainnya—berbobot 250 gram per buah—laku Rp35.000 per kg. Tambahan omzet Syahid mencapai Rp3,5-juta. Itu hasil panen perdana jeruk dekopon di lahan 1 ha berpopulasi 400 tanaman. Di kebun Syahid masih banyak buah sekepalan tangan orang dewasa yang masih hijau dan bersemburat kuning. Beberapa di antaranya ada juga yang masih pentil dan berbunga. Itu artinya panen jeruk dekopon di kebun Syahid akan terus berlanjut.
Eksklusif
Syahid membudidayakan jeruk dekopon pada 2012. Tanaman anggota famili Rutaceae itu panen perdana saat berumur 3 tahun. Pada produksi perdana jeruk dekopon berumur 3 tahun mampu menghasilkan 25 kg per pohon. Dengan populasi 400 tanaman per ha, Syahid berpeluang untuk memetik 10 ton. Sementara Syahid baru menuai 800 kg sehingga ia masih “menyimpan” 9-ton jeruk dekopon.
Jika harga jual masih Rp50.000 per kg, omzet Syahid bakal kian fantastis. Harga jual jeruk dekopon saat ini memang luar biasa, Rp30.000—Rp60.000 per kg di tingkat petani. Itulah harga jual jeruk tertinggi sekarang. Bandingkan dengan harga jual jeruk eksklusif lain, seperti frimong yang kini sohor dengan jerlem alias jeruk lembang, hanya Rp15.000 per kg. Menurut Syahid harga jual tinggi karena sosoknya unik dengan tonjolan di tangkai buah. Apalagi citarasanya khas, perpaduan manis menyegarkan dengan tingkat kemanisan 14o briks.
Selain itu dekopon pendatang baru di tanahair sehingga masih terbatas yang mengebunkannya. Beberapa petani seperti Syahid mengenal dekopon pada 2012. Semula ayah 4 anak itu sekadar coba-coba menanam jeruk dekopon. “Pada waktu itu ada yang memperkenalkan jeruk asal Jepang. Katanya di Indonesia belum ada yang mengebunkan,” kata Syahid. Ketika mulai menanam, ia juga tidak memiliki gambaran pasar.
Syahid lalu menanam jeruk asal Negeri Sakura itu menumpangsarikan dengan brokoli. Menurut Syahid perawatan jeruk dekopon tergolong mudah. Sebagai sumber nutrisi, ia hanya memberikan pupuk NPK mutiara berdosis 250 g per pohon dan pupuk kandang kotoran kambing 30 kg per pohon. Syahid memberikan pupuk itu hanya 6 bulan sekali.
“Saya jarang memberi pupuk untuk jeruk karena sudah mendapat nutrisi dari pupuk untuk brokoli,” kata petani berusia 56 tahun itu. Syahid akan meningkatkan frekuensi pemberian pupuk bila di lahan itu sudah tidak bisa ditanami brokoli. “Kalau pohon semakin besar tajuk antarpohon akan saling bertemu. Ketika itulah brokoli tidak bisa ditanam lagi karena pertumbuhannya tidak optimal akibat tidak mendapat sinar matahari cukup,” kata pria yang juga pekebun aneka jenis sayuran itu.
Budidaya intensif
Nun di Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, H Ino Suwarno, lebih dahulu merasakan manisnya berkebun jeruk dekopon. Dari 70 pohon berumur 4 tahun, ia sudah 2 kali panen raya. Saat panen perdana pada 2014 Ino memetik total 2 ton jeruk dekopon. Pada musim 2015, sampai dengan Mei, Ino baru panen 2,5 ton. “Panen kemungkinan terus berlanjut,” ujarnya.
Dengan harga jual Rp60.000 per kg, Ino memetik laba berlimpah. Padahal, Ino membudidayakan dekopon secara intensif. Ia membudidayakan tanaman kerabat kemuning itu di dalam rumah tanam seluas 1.750 m2. Rumah tanam berkerangka bambu itu sebelumnya tempat budidaya paprika. Dengan jarak tanam 5 m x 5 m, rumah tanam itu mampu menampung 70 pohon dekopon.
Ino juga menerapkan teknik fertigasi untuk pemupukan (baca: Hasilkan Dekopon Bermutu halaman 26—27). Dengan teknik budidaya itu, Ino hanya mengeluarkan biaya produksi Rp7.000 per kg. Pekebun lain yang menangguk laba dekopon adalah Dahlan. Pada 2014 ia panen perdana 480—560 kg dari 300 pohon dekopon. Pria 73 tahun itu menjual jeruk secara borongan kepada pengepul, Rp30.000 per kg.
Harga jual dekopon di kebun Dahlan memang lebih murah. Meski begitu Dahlan masih meraup untung. Harap mafhum, ia tidak terlalu intensif merawat jeruk asal Negeri Matahari Terbit itu. Sebagai sumber nutrisi, ia hanya memberikan NPK berimbang dengan dosis 200 g per pohon setiap bulan. Ia terpaksa merawat ala kadarnya. “Saat ini sulit mencari tenaga kerja untuk memupuk, menyiangi gulma, dan menyemprot hama,” ujarnya.
Bermula dari 5 bibit
Banyak pekebun kini melirik potensi dekopon. Kisah jeruk asal Jepang itu bermula pada 2005 ketika Rahmat memperoleh bibit dekopon dari seorang kolega asal Jepang yang bekerja di The Organization for Industrial, Spiritual, and Cultural Advancement (OISCA). Ia membawa 5 bibit dekopon setinggi 50 cm ke kediamannya. Pria 52 tahun itu lalu memperbanyak kelima bibit itu dengan okulasi menggunakan batang bawah jeruk lokal. Setahun berselang Rahmat berhasil memperbanyak hingga 1.000 bibit.
Menurut peneliti jeruk di Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropis (Balitjestro), Ir Arry Supriyanto MS, jeruk dekopon tergolong jeruk jenis baru di Indonesia. Arry menduga dekopon adalah jeruk hasil persilangan dari ponkam Citrus reticulata dan jeruk manis Citrus sinensis. Ciri khas ponkam terlihat dari bentuk buahnya.
Sementara darah jeruk manis menitis pada daun dekopon. Praktikus pertanian di Sukabumi, Jawa Barat, Syamsul Asinar Radjam, pernah berkunjung ke Jepang mengatakan bahwa dekopon hasil silangan jeruk kiyomi dan ponkam.
Hingga kini jumlah pekebun jeruk dekopon kebanyakan tersebar di Kabupaten Bandung Barat. Menurut pekebun jeruk di Kecamatan Parongpong, Asep Casmiri, itu karena pemerintah Kabupaten Bandung Barat pernah mencanangkan kawasan kecamatan dengan enam desa itu sebagai sentra jeruk. Program itu ingin mengembalikan sejarah Parongpong yang pernah menjadi sentra jeruk garut pada era 1960-an. Pada 2012 Asep dan para petani lain memperoleh bantuan dari pemerintah Kabupaten Bandung Barat untuk penanaman 2.000 bibit jeruk—terdiri atas frimong dan dekopon.
Pasti laku
Dari program itu hanya beberapa pekebun yang bertahan untuk menanam hingga memetik hasilnya. Di antara pekebun yang menanam dekopon, hanya Dahlan, Ino, dan Asep yang sukses mengebunkan dekopon di Kecamatan Parongpong. Menurut Rahmat, hingga April 2015 ia sudah menjual sekitar 5.000 bibit. Selain di Kecamatan Parongpong, bibit dekopon sudah tersebar ke daerah lain seperti Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. “Bibit juga sudah tersebar hingga ke Purbalingga dan Bali,” tutur Rahmat.
Mereka yang sukses mengebunkan jeruk bukan berarti tanpa hambatan. Beragam aral mengintai saat pekebun bertanam jeruk. Penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) masih menjadi momok (baca boks: “Sisi Buruk Tanam Jeruk”, halaman 16). Jika beragam aral terlampaui, bagaimana prospek pasar dekopon? Seluruh pekebun dekopon sebetulnya belum mempertimbangkan pasar ketika menanam.
Ketika mulai panen ternyata respons pasar mengejutkan. “Saat ini berapa pun hasil panen laku terjual meski dengan harga jual tinggi,” ujar Ino. Kini jeruk dekopon produksi tanahair baru mengisi pasar swalayan yang menjual produk-produk asal Jepang di Jakarta Selatan. Maklum, pasokan jeruk dekopon masih sedikit dan belum banyak yang mengenalnya. “Saat ini baru ekspatriat asal Jepang yang menjadi konsumennya,” kata Irwan.
Meski begitu Ino optimis kelak masyarakat akan menyukai dekopon. Dari segi penampilan dekopon tidak kalah dengan jeruk impor yakni berwarna kuning sedikit jingga merata. Daging buah dekopon terasa juicy tanpa rasa pahit tersisa di lidah usai mencecapnya. Yang istimewa dekopon tanpa biji dan kulit ari septa tipis sehingga porsi buah yang dikonsumsi banyak. Dari segi rasa, dekopon berasa manis, kombinasi dengan sedikit masam sehingga terasa menyegarkan.
Menurut peneliti Pusat Kajian Tanaman Hortikultura Tropika (PKHT) Institut Pertanian Bogor (IPB), Sobir PhD, rasa manis sedikit masam memang lebih cocok untuk ekspatriat. Meski begitu tingkat kemanisan dekopon dapat ditingkatkan dengan memperbaiki komposisi nutrisi. Cara lain dengan mengebunkan dekopon di dataran rendah.
Selama ini para pekebun mengebunkan dekopon di dataran tinggi. Rahmat pernah menanam dekopon di Subang, Jawa Barat, yang berketinggian 600 m di atas permukaan laut. “Citarasanya lebih manis dan legit sehingga cocok untuk pasar lokal,” katanya. Menurut Arry jika dekopon ditanam di dataran yang lebih rendah, maka warna jingga tidak muncul. “Warna daging buah juga kurang cerah dan berkulit tipis,” katanya.
Dominan siam
Apakah harga dekopon yang mahal akan laku di pasaran? Menurut Zoilus Sitepu dari Hypermart, Jakarta, pekebun tak perlu khawatir menjual buah-buahan berharga mahal. Ia mengatakan saat ini segmentasi konsumen di pasar swalayan sudah mulai terbentuk, yakni kelas menengah ke bawah dan menengah ke atas. “Kini buah semahal apa pun ada pasarnya,” ujar Zoilus.
Menurut Sobir tingginya harga dekopon hanya sementara. Itu karena saat ini jumlah produksi masih sedikit. “Jika produksi semakin banyak, tentu saja harganya lebih terjangkau,” kata doktor bidang Genetika Molekuler alumnus Universitas Okayama, Jepang, itu. Ia mengatakan harga akan terkoreksi jika jumlah pekebun bertambah sehingga pasokan dekopon meningkat.
Kehadiran dekopon menjadi kabar gembira bagi dunia buah tanahair. Dekopon diharapkan mampu bersaing dengan jeruk impor. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah impor jeruk segar pada 2014 mencapai 22.654 ton dengan nilai mencapai US$32,7-juta atau Rp360-miliar (kurs US$1 = Rp11.000). Jumlah itu sebetulnya hanya 1,3% dari total produksi jeruk tanahair yang mencapai 1,8-juta ton per tahun.
Produksi jeruk nasional sebetulnya dua kali lebih tinggi daripada jumlah kebutuhan jeruk nasional. Berdasarkan data Sensus Ekonomi Nasional (Susenas), BPS, jumlah konsumsi jeruk pada 2014 mencapai 2,71 kg per kapita per tahun. Jika jumlah penduduk Indonesia mencapai 250-juta jiwa, maka total kebutuhan jeruk nasional hanya 677.500 ton per tahun. Sayangnya kebutuhan jeruk itu sebagian besar dipenuhi oleh jeruk siam.
“Saat ini jeruk siam menguasai 80% pasar jeruk Indonesia,” kata Ir Agus Sugiyatno MP, peneliti Balitjestro. Itulah sebabnya pada saat panen raya, harga jeruk siam terjun bebas menjadi hanya Rp3.000—Rp4.000 per kg karena sudah kelebihan pasokan. Berpuluh-puluh tahun lamanya konsumen jeruk tanahair mencicipi siam yang berkulit hijau, berbiji banyak, rasanya masam, dan sedikit pahit ketika disantap.
Keprok ekslusif
Pantas jeruk impor yang sebagian besar berjenis ponkam dengan kulit jingga merata laris di pasaran karena berasa manis menyegarkan. Untuk mengimbangi jeruk impor di pasaran, maka pada 2009 Kementerian Pertanian mencanangkan program “keprokisasi”, yakni mendorong penanam keprok untuk menggantikan siam. Jenis keprok digadang-gadang mampu menandingi jeruk impor karena kulit buah berwarna jingga, seperti jeruk impor.
Menurut Agus jenis keprok yang dikembangkan disesuaikan dengan kondisi daerah sentra. Untuk sentra di dataran tinggi Agus menyarankan penanaman keprok batu 55. Tanaman anggota famili Rutaceae itu sebagian besar sudah ditanam di kawasan Kota Batu dan Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Pekebun di Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Sugianto, mengebunkan 800 pohon keprok batu 55 di lahan 7.500 m2 sejak 2008.
Selama ini ia 3 kali panen. Pada 2013 Sugianto panen perdana sebanyak 17 ton dan pada 2014, 30 ton. Pada 2015 Sugianto memanen 21 ton. “Itu baru sampai Mei. Perkiraan sampai akhir 2015 mencapai 40 ton,” ujarnya. Sugianto menjual hasil panen ke para pengepul yang datang ke kebun dengan harga Rp12.000 per kg. Agus menuturkan hingga 2013 luas tanam keprok batu 55 di Kota Batu mencapai 200 hektar dan di Kabupaten Malang 365 hektar.
Pada kurun 2010—2014 jumlah bibit keprok batu 55 yang sudah tersebar di pekebun mencapai 414.425 bibit. Bibit itu tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jambi, Sulawesi Selatan, Papua, dan Aceh. Jumlah itu setara 825 hektar. Rata-rata produktivitas jeruk di Indonesia 35 ton per hektar. Jadi, produksi jeruk batu 55 diperkirakan sebesar 29.325,276 ton.
Jeruk introduksi
Jika dibandingkan total produksi jeruk Indonesia sebesar 1.654.732 ton per tahun, maka produksi jeruk batu 55 hanya menyumbang 1,7% dari produksi jeruk nasional. Untuk sentra di dataran rendah, Agus menyarankan untuk menanam keprok tejakula dan madura yang berasa manis dan produktif.
Beberapa pekebun memilih menanam jenis jeruk introduksi. Salah satunya adalah Oto Sugiharto di Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur. Ia mengebunkan 3.000 jeruk conmune di antara 8.000 pohon jeruk keprok batu 55 di lahan 20 ha. Conmune adalah jeruk introduksi dari Eropa. Pada saat matang warna kulit conmune jingga merata. Rasa daging buah manis segar dan sangat juicy.
Pada 2014 Oto memanen 70 ton conmune dan 200 ton batu 55. Ia menjual hasil panen ke pengepul yang datang langsung ke kebun. Harga jual conmune ia samakan dengan keprok batu 55, yaitu Rp8.000—Rp9.000 per kg. Di Kabupaten Bandung Barat, frimong menjadi ikon baru. Kini frimong bahkan berjuluk jeruk lembang karena marak dikebunkan di sana. Salah satunya Barokah dan Dedi Mulyana, yang mengebunkan masing-masing 1.500 pohon dan 2.400 pohon frimong. Harga jual jeruk asal Australia itu stabil di angka Rp10.000—Rp12.000 per kg.
Menurut Rahmat Hartono SP MP, anggota staf pengajar ekonomi pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, langkah pekebun lokal menanam jeruk introduksi dapat dipahami. “Dengan brand jeruk impor yang sudah menancap di konsumen, mereka berharap tak kesulitan memasarkan hasil panen jeruk introduksi. Namun, mereka akan sukses menembus pasar bila kualitas rasa dan penampilan setara dengan jeruk impor,” tutur Rahmat. Dengan begitu maka konsumen pun tak perlu berpaling ke jeruk impor. (Imam Wiguna/Peliput: Andari Titisari dan Bondan Setyawan)