Pasar lada kian terbuka. Banya eksportir yang kekurangan pasokan meski harga melambung hingga Rp130.000 per kg. Bagi masyarakat perkotaan, kini tersedia lada perdu yang genjah dan produktif karena populasi lebih padat.
Senyum semringah menghias wajah Nartam usai menjual 50 kg lada pada Agustus 2015. Petani di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, itu mendapat harga Rp153.000 per kg sehingga beromzet Rp7,65-juta. Nartam mengatakan, biaya produksi Rp500.000. Pada akhir Agustus 2016, ia kembali panen lada. Dari total populasi 2.000 tanaman berumur 6 tahun, ia memprediksi volume panen minimal 60 kg.
Harga jual di tingkat petani Rp130.000 per kg. Artinya ia berpeluang menangguk omzet Rp7,8-juta. “Saya sangat senang dengan tambahan penghasilan itu,” kata Nartam. Biaya produksi itu meliputi biaya pemupukan, sementara bibit merupakan sumbangan pemerntah. Itulah sebabnya biaya produksi relatif rendah. Selain itu semua bibit Piper nigrum tumbuh sehingga tak ada pembelian bibit baru untuk penyulaman.
Tren perdu
Di kebun Nartam, lada-lada itu tumbuh tegak setinggi 80 cm. Harap mafhum, pekebun 46 tahun itu menanam lada perdu. Lazimnya tanaman kerabat cabai jawa Piper retrofractum itu menghendaki panjatan berupa tanaman hidup atau mati dan tiang sebagai tempat sulur merambat. Sementara lada perdu tidak memerlukan rambatan karena sosok tanaman tegak berdiri (baca Antara Perdu dan Rambat halaman 16—17).
Di Dawuhan, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Suyitno juga menanam 2.000 lada perdu beragam umur. Pada 2016 ia menuai 100 kg lada yang dijual Rp130.000 per kg. Artinya omzet pria 60 tahun itu Rp13-juta. Nun di Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan, Supratman, membudidayakan 3.000 lada perdu di lahan 6.750 m².
Ia memilih lada perdu karena lebih cepat berbuah dibanding dengan lada panjat. Lada perdu mulai berbuah 8 bulan setelah tanam, sedangkan lada rambat produksi perdana saat berumur 3 tahun.
Supratman bakal panen perdana pada awal 2017. Ia memprediksi tanaman menghasilkan sekitar 50 gram sehingga total panen 150 kg lada. Pria 27 tahun itu berharap harga lada saat panen perdana nanti sama dengan harga lada pada medio 2016, yakni sekitar Rp200.000 per kg. Jika benar demikian Supratman bakal meraup omzet Rp30-juta. Dua tahun terakhir kian banyak masyarakat—termasuk di perkotaan antara lain di Provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan kota-kota di Kalimantan—yang menanam lada perdu.
Sebab, lada perdu cocok untuk aktivitas pertanian perkotaan atau urban farming. Tanaman anggota famili Piperaceae memiliki beberapa kelebihan di antaranya memudahkan panen karena sosok tanaman pendek. Selain itu petani tak membutuhkan ajir untuk rambatan sulur tanaman sehingga biaya investasi lebih rendah. Ketika tanaman berbuah lebat dan matang tampak seronok sehingga cocok sebagai penghias halaman.
Bukan hanya di halaman, bahkan di dak rumah sekalipun kita mampu menanam lada. Lihat saja Muhammad Bagus Nitei Ago di Kota Bandarlampung, Provinsi Lampung, yang sukses menanam lada di dak rumahnya. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung itu mengembangkan 200 lada perdu di dak rumah berbentuk huruf L berukuran 7 m x 5 m. Bagus menanam lada di pot berdiameter 50 cm sejak Februari 2016.
Meski baru berumur 6 bulan, tanaman sudah berbuah. Lada perdu memang genjah atau lekas berbuah. Namun, Bagus membuang bakal buah karena tanaman masih muda. “Rencananya saya akan membuahkan saat tanaman berumur lebih dari setahun,” kata Bagus.
Kendala lada
Menanam lada perdu bukan tanpa kendala. Gomos Nainggolan di Jakarta Barat, misalnya, menanam 200 lada perdu pada 2016. Sayang, satu per satu tanaman mati. Hingga pertengahan Agustus 2016, yang tersisa hanya 4 tanaman. Kematian tanaman itu diduga karena Gomos menanam lada tanpa penaung. Aral lain seperti serangan penyakit busuk pangkal batang siap mengadang para pekebun lada (baca: Kendala Berkebun Lada halaman 24—25)
Jika mampu mengatasi beragam kendala itu, pekebun menangguk laba menggiurkan. Rekening tabungan petani lada semakin berkembang. Petani di Deda Sukadanabaru, Kecamatan Margatiga, Lampung Timur, Provinsi Lampung, Supangat, menuai 2 ton lada hitam dari lahan 2 hektare pada panen terakhir Agustus 2015. Saat itu harga raja rempah itu Rp100.000 per kg.
Menurut Supangat yang membudidayakan lada rambat biaya produksi mencapai Rp20-juta per hektare sehingga total biaya produksi Rp40-juta (baca: Hitung Laba Lada halaman 18—19). Laba bersih Supangat Rp160-juta.
Nun di Desa Wawondula, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Rismal Muchtar, meraih omzet Rp960-juta dari perniagaan 8 ton lada. Saat panen harga jual lada di tingkat petani Rp120.000 per kg. Lada itu hasil panen dari 4.000 tanaman berumur 6 tahun. Rismal mengebunkan 4.000 tanaman di lahan 2 hektare pada 2010.
Pada September 2016 ia memprediksi memanen 10 ton lada putih. Jika harga lada tetap Rp120.000 per kg maka ia mendapat omzet Rp1,2-miliar. Biaya produksi Rp25-juta per ton termasuk pupuk, tenaga kerja, dan pengolahan sehingga pria pria berumur 31 tahun itu mengantongi laba Rp950-juta. Rismal tertarik menggeluti lada karena harga sedang bagus. Pada 2010 ketika memulai mengebunkan lada, harga di tingkat petani Rp40.000—70.000 per kg. Bandingkan dengan harga merica pada 2005 di kediaman Rismal yang hanya Rp20.000 per kg.
Sentra
Harga bagus juga terjadi di sentra Bangka. Selama ini pulau seluas 11.910 km² itu menjadi sentra lada. Para pekebun seperti Kasiman, Anwar, dan Heri pun menikmati harga bagus. Kasiman, misalnya, belum lama ini memetik 1 ton lada. Petani di Desa Namang, Kecamatan Namang, Bangka Tengah, menerima harga Rp120.000 per kg sehingga omzetnya Rp120-juta. Kasiman menanam lada rambat secara bertahap sejak 2012.
Setiap tahun ia menanam 500 bibit lada. Hingga 2016 ia empat kali menanam atau total populasi kini 2.000 tanaman di lahan 1 hektare. Adapun Anwar di Merawang, Kabupaten Bangka, mengelola 3 ha lada berpopulasi total 7.500 tanaman. Dari jumlah itu lada produktif baru 3.500 tanaman. Pada Juli 2016, Anwar memetik 1.700 kg lada produktif. Dengan harga jual Rp120.000, Anwar meraup omzet Rp200-juta.
Bahkan harga lada di sentra Bangka pada Juni 2016 mencapai Rp150.000. Harga menjulang saat panen raya di daerah sentra sangat bagus sejak 5 tahun terakhir. Menurut Statistical Officer dari International Pepper Community (IPC), Moh Taufiq WH, harga tinggi itu terjadi karena permintaan yang terus tumbuh dan terbatasnya produksi karena cuaca. Permintaan lada masih ada terus dan belum terpenuhi karena kebutuhannya tinggi.
“Namun kita tidak bisa memastikan jumlah kebutuhan lada,” kata Taufiq. Data dari perusahaan pengolahan dan distribusi bumbu, rempah, dan sayuran yang berpusat di Belanda, Nedspice, menyatakan konsumsi lada dunia pada 2016 sekitar 430.000 ton. Permintaan itu belum terpenuhi karena Nedspice memprediksi total produksi lada dunia hanya 410.000 ton. Artinya ada ceruk pasar sekitar 20.000 ton yang belum terpenuhi.
Apalagi konsumsi lada global cenderung meningkat. Pada 2015 konsumsi lada global mencapai 400.000 ton atau meningkat 7,5% dibandingkan dengan data 2016. “Lada itu unik dan tidak tergantikan. Terutama bagi konsumen di negara maju seperti Amerika Serikat,” kata Information Officer IPC Nur Haryanto. Konsumen di sana memerlukan lada untuk makanan dan pengawet daging.
Jika lada tidak ada, mereka tidak punya penggantinya. Sementara masyarakat Indonesia masih bisa mengganti lada dengan komoditas lain seperti cabai. Piperin—senyawa aktif dalam lada—juga berfaedah untuk kesehatan yang sudah terbukti melalui serangkaian uji ilmiah. Produk olahan lada siap pakai untuk keperluan industri dan rumah tangga pun bermunculan. PT Supa Surya Niaga di Sidoarjo, Jawa Timur, salah satu perusahaan pengolah lada sejak 1999.
Ceruk pasar
Semula PT Supa Surya Niaga menyediakan lada untuk industri dalam skala besar. Sejak 2013 perusahaan yang mengantongi ISO 22000:2005 itu menjual produk lada siap pakai aneka rupa untuk rumah tangga. Pemilik PT Supa Surya Niaga, Supa Kris, menuturkan saat ini ia mengekspor sekitar 300 ton lada per tahun. Negara tujuan ekspor antara lain Singapura, Taiwan, dan negara-negara di Timur Tengah.
“Jumlah itu belum memenuhi semua permintaan konsumen yang mencapai 1.000 ton per tahun,” kata Supa. Terdapat 700 ton permintaan yang belum terpasok. Eksportir-eksportir lain mengalami nasib serupa, sulit memenuhi tingginya permintaan. PT Aman Jaya Perdana, misalnya, rutin mengekspor 8.000—15.000 ton lada per tahun. Rismal yang tengah menjadi eksportir lada sejak 2015 mengatakan kebutuhan lada di Amerika Serikat mencapai 90.000 ton per tahun dan belum terpenuhi.
Sejatinya permintaan tinggi lada tidak hanya di pasar ekspor. Permintaan buah tanaman kerabat sirih merah Piper crocatum itu pun besar di dalam negeri. Mulyadi dari PT Ganesha Abaditama—perusahaan pemasok lada—menuturkan kebutuhan lada nasional belum terpasok sepenuhnya. Permintaan lada nasional tiap tahun meningkat 20%. Pada 2015 ia memasok 12 ton lada per bulan, sedangkan pada Agustus 2016 mencapai 15 ton per bulan.
Pasokan itu belum memenuhi permintaan yang datang. “Pasokan lada 20 ton per bulan pun pasti terjual,” kata pria kelahiran Solok, Sumatera Barat, itu. Artinya ceruk pasar lada nasional pun sangat besar. Mulyadi menyarankan masyarakat yang memiliki lahan agar menanam lada karena menguntungkan.
Ketua Asosiasi Pekebun Lada Purbalingga, Yogi Dwi Sungkowo, menuturkan peluang bertanam lada tetap bagus. Sebab pemanfaatan tanaman yang diidentifikasi ahli botani asal Swedia, Carl Linnaeus, itu tidak melulu sebagai bumbu dapur. “Kini lada juga digunakan sebagai salah satu bahan membuat parfum dan kosmetik,” kata pria berumur 32 tahun itu.
Selain menguntungkan pekebun, harga lada yang bagus pun mengerek permintaan bibit. Beberapa pembibit mengatakan permintaan bibit cenderung meningkat. Pembibit di Bogor, Jawa Barat, Rana Wijaya, mengatakan bahwa permintaan lada cenderung meningkat. Saban bulan ia menjual 200—300 bibit lada perdu berumur 3 bulan seharga Rp10.000 per batang. Sementara permintaan bibit lada rambat mencapai puluhan ribu per bulan.
Nun di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Nasrul Majid, melego 8.000 bibit lada setiap bulan. Nasrul menjual bibit minimal Rp5.000 per batang dengan mayoritas konsumen di Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Anwar di Desa Kimak, Kecamatan Merawang, Bangka Belitung pun ketiban rezeki. Ia menjual 3.000 bibit seharga Rp8000—Rp11.000 ke seluruh wilayah Indonesia setiap bulan.
Harga lada yang menjulang bak lokomotif yang menarik beragam gerbong, yakni penjualan bibit dan gairah masyarakat untuk berkebun. Apalagi berdasarkan data IPC pada 3—4 tahun ke depan harga diprediksi tetap bertengger di atas karena tingginya permintaan. Itu yang membuat bisnis lada akan tetap hangat seperti kandungan zat piperin dalam biji berjuluk raja rempah itu. (Riefza Vebriansyah/Peliput: Andari Titisari, Muhamad Fajar Ramadhan, dan Sardi Duryatmo)