Monday, January 20, 2025

Laba Rp8-juta Sebulan: Peluang Kebunkan Tin

Rekomendasi
- Advertisement -
Berkebun tin dibidik semua kalangan lantaran buahnya enak, lezat, berkhasiat, dan memberi keuntungan besar secara ekonomi.
Berkebun tin dibidik semua kalangan lantaran buahnya enak, lezat, berkhasiat, dan memberi keuntungan besar secara ekonomi.

Bisnis tin memasuki babak baru. Semula para pemain intens pada perbanyakan tanaman, kini mereka memproduksi buah. Laba besar, Rp8-juta per bulan dari lahan 300 m2 menggiurkan.

Priyo Catur Pamungkas mengelilingi kebun seluas 1.000 m2. Mata petani di Provinsi Yogyakarta, itu mengawasi sosok buah tin matang di setiap tanaman. Begitu menemukan buah Ficus carica masak, tangan kanannya menggunting tangkai buah, sedangkan tangan kiri memegang buah yang terlepas dari tangkai. Lazimnya ia memanen 3—4 kg tin setiap pekan pada Agustus dan September 2015.

Di luar bulan itu ia menghasilkan kurang dari 1 kg per pekan. Produksi masih sedikit karena kebun itu sebagai lahan uji coba budidaya tin, bukan untuk kebun produksi. Catur masih menguji coba budidaya tin ala Jepang. Pada November 2015, dari 150 tanaman tin aneka varietas seperti brown turkey, masui dauphine, dan louisiana state university gold ia menuai 10 kg buah. Panen saat itu tergolong banyak. Jadi ia melego buah tin secara daring. Buah itu habis terjual kurang dari sejam setelah foto terunggah di dunia maya.

Buah besar dan manis incaran pekebun.
Buah besar dan manis incaran pekebun.

Permintaan tinggi
Catur menjual Rp250.000 per kg sehingga omzetnya Rp2,5-juta saat itu. Karena permintaan yang kian banyak, ia berencana mengebunkan tin di lokasi lain seluas 1 hektar dengan populasi 1.200 tanaman pada Juni 2017. Menurut Priyo Catur Pamungkas tin berproduksi perdana pada 4—6 bulan pascatanam. Bungsu dari empat bersaudara itu membidik hotel dan pasar swalayan sebagai target pasar.

Petani tin sejak 2014 itu menyimpulkan, konsumen Indonesia menghendaki tin berukuran besar (lebih dari 100 g), bercitarasa manis, serta berpenampilan mulus. Beberapa varietas yang memenuhi kriteria itu antara lain masui dauphine, blue giant, dan louisiana state university gold. Itulah sebabnya ia mengebunkan ketiga varietas di lahan berketinggian kurang dari 100 meter di atas permukaan laut. Catur tertarik mengebunkan tin untuk produksi buah segar karena permintaan terus melonjak.

Selain itu tin potensial sebagai buah olahan menjadi beragam produk seperti selai, wine, dan karamel. “Tin layak dibuahkan karena di Indonesia masih sedikit pelakunya. Ia berpotensi jadi bahan baku industri, dan termasuk buah premium,” ujar pemilik Jogja Ara Garden itu. Petani lain, Handa Sugiharto kini juga mengelola kebun seluas 3.830 m2 berpopulasi lebih dari 2.000 tanaman. Petani di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur, itu ajek memetik 50 buah per pekan.

Wayan Sudiasa, bawa bibit tin dari Lebanon.
Wayan Sudiasa, bawa bibit tin dari Lebanon.

Bobot buah rata-rata 60—70 gram. Handa menjual Rp10.000—Rp15.000 per buah sehingga omzet Handa minimal Rp500.000 per pekan. Kebun di Kota Batu itu sejatinya untuk produksi bibit. Wajar bila volume panen buah relatif kecil. Itulah sebabnya Handa menanam tin di lokasi lain, yakni di Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur, di atas lahan 1.000 m2 pada Oktober 2015. Produksi perdana memang relatif kecil, 1—2 buah per tanaman per pekan.

Laba tin
Seiring bertambahnya umur, produksi pun meningkat. Tanaman berumur 2 tahun mampu menghasilkan 1—2 kg berisi 15—20 buah per kg; produksi tin 3 tahun 4—6 kg buah per tahun. Kini harga jual buah tin di tingkat petani Rp200.000—Rp250.000 per kg, sehingga sangat menguntungkan. Menurut Catur biaya perawatan satu tanaman tanaman hanya Rp100.000 per tahun meliputi pemupukan, pemangkasan, panen, dan tenaga kerja.

Padahal, dalam setahun sebuah tanaman mampu menghasilkan rata-rata 2—4 kg buah pada umur 2—3 tahun. Populasi 300 tanaman di lahan 300 m2 itu mampu memberikan laba bersih minimal Rp8-juta per bulan atau Rp96-juta per tahun (baca: “Laba Tebal Tanam Tin” halaman 16). Pantas tin menjadi incaran para pekebun di negeri serumpun, Indonesia dan Malaysia. Malaysia malah sudah terlebih dahulu mengebunkan secara serius.

 Kurang dari sejam sejak mengunggah foto buah tin brown turkey dan masui dauphine di media sosial, 10 kg hasil panen Priyo Catur Pamungkas ludes. Padahal, pekebun di Yogyakarta itu menjual buah hasil panen dengan harga fantastis, Rp250.000 per kg. “Tin layak dikebunkan,” kata Priyo Catur Pamungkas.
Kurang dari sejam sejak mengunggah foto buah tin brown turkey dan masui dauphine di media sosial, 10 kg hasil panen Priyo Catur Pamungkas ludes. Padahal, pekebun di Yogyakarta itu menjual buah hasil panen dengan harga fantastis, Rp250.000 per kg. “Tin layak dikebunkan,” kata Priyo Catur Pamungkas.

Pekebun tin Ipoh, Malaysia, Poh, membudidayakan 500 tanaman beragam varietas di dalam greenhouse seluas 600 m2. Di dalam rumah tanam itu ia membuat belasan bedengan selebar 1 m. Jarak antara bedengan 80 cm. Dari 500 tanaman itu Poh memanen 5—15 kg buah setiap hari sepanjang tahun. Petani sejak 2006 menjual RM75 setara Rp240.000 per kg yang habis di kebun.

Siti Salamah, misalnya, harus antre 14 hari sebelum memperoleh buah pesanannya dari kebun Poh. Poh membiarkan konsumen untuk memetik buah sesuai keinginan. Tujuannya agar mereka bisa memilih tingkat kematangan buah sesuai dengan peruntukannya. Siti Salamah memilih 5 kg buah yang agak keras. Konsumen asal Ipoh itu membeli tin untuk dijual kembali. “Sebelum ke sini saya sudah memberi tahu pelanggan ketersediaan buah tin lewat facebook,” kata Salamah.

Ia menjual RM10—RM15 setara Rp32.000—Rp48.000 per buah (pada 22 Februari 2016 kurs Ringgit mencapai Rp3.200). Harga itu cukup mahal dibandingkan dengan harga tin impor di pasar swalayan Carrefour Kualalumpur, yakni RM10 per buah dan RM25 per 4 buah. Produksi buah itu memang masih terbatas karena tanaman juga terbatas. Itulah sebabnya banyak permintaan konsumen tak terlayani.

Meski harga buah tin sangat tinggi, Rp200.000—Rp240.000/kg tetap habis diburu konsumen.
Meski harga buah tin sangat tinggi, Rp200.000—Rp240.000/kg tetap habis diburu konsumen.

Salamah sejatinya juga memiliki 30 tanaman tin. Karena produksi buah hanya sedikit, sehingga ia kekurangan pasokan. Begitu juga dengan Marzuki Safiee yang mengebunkan 400 tanaman di dalam greenhouse seluas 300 m2. Petani di Kajang, Selangor, Malaysia, itu memetik rata-rata 15 kg buah per hari. Ia menjual dengan harga RM75 atau Rp240.000 per kg. Itu belum cukup untuk memenuhi permintaan konsumen (baca: Marzuki Safiee Incar Tin Hitam halaman 20). Pada Januari—Februari 2016, kembali ia membangun greenhouse baru dengan luasan sama.

Tantangan bisnis tin
Meski demikian bukan berarti menanam tin tanpa kendala. Banyak petani menghadapi beragam aral seperti daya tahan buah yang singkat. Kesegaran buah tin hanya mampu bertahan 3—4 hari. Setelah itu buah pun apkir (baca: “Aral Sepanjang Tanam” halaman 18). Selain itu varietas tin mencapai ribuan. Oleh karena itu calon petani harus jeli memilih varietas. Varietas berperan penting karena menentukan keberhasilan beragribisnis.

Siti Sulamah inden 14 hari untuk dapat buah tin.
Siti Sulamah inden 14 hari untuk dapat buah tin.

Ada beberapa varietas antara lain pastiliere, dan madeleine des deux saisons yang belum bisa berbuah dengan sempurna di Indonesia. Buah tin varietas-varietas itu rontok sebelum matang. Petani di tanahair belum mampu mengatasi masalah itu.

Di sisi pasar, para pekebun harus mampu mengetahui data penjualan dan pembelian. “Dengan demikian pergerakan bisnis bisa terpantan,” tutur ahli strategi bisnis dari Lembaga Manajemen PPM, Ir Makfudin Wirya Atmaja MSM (baca boks: Ahli Strategi Bisnis Bicara Tin)

Menurut petani tin di Jakarta Selatan, Fauzi Effendi, varietas yang layak dikebunkan harus berukuran besar, produktif, berdaging buah lembut, bercitarasa manis, dan berpenampilan mulus. Beberapa varietas yang memenuhi syarat itu dan bibitnya tersedia di tanahair adalah blue giant, brown turkey mutasi-6, super jumbo, dan IBT. Ketika para petani mampu mengatasi beragam hambatan, laba perniagaan tin di depan mata.

Hartawan Soesanto, tin adaptif diburu.
Hartawan Soesanto, tin adaptif diburu.

Khulub Satria Hadi yang selama ini membibitkan tin, kini mulai membidik produksi buah juga. Petani di Kabupaten Sleman, Provinsi Yogyakarta, itu memperoleh tawaran untuk memasok kafe di Yogyakarta. Tin menjadi bahan baku berbagai macam penganan. Kafe itu menginginkan buah berukuran kecil sebagai bahan topping kue dan es krim. “Saya tertarik pada tin karena buahnya sangat baik bagi kesehatan dan layak untuk kuliner,” kata pria 28 tahun itu.

Menurut Khulub penggemar tin terus meningkat. Setelah mempunyai satu varietas, mereka pun ingin menambah jenis lain. Oleh karena itu permintaan bibit terus berdatangan. Kian banyaknya pehobi atau pekebun, menyebabkan harga pun pun terus terdongkrak. Semula harga bibit green jordan setinggi 40 cm hanya Rp25.000 melonjak menjadi Rp35.000—45.000. Varietas itu sohor sebagai tin sejuta umat. Bagi pekebun atau pehobi pemula, green jordan menjadi pilihan.

Sebab, harga bibit relatif murah dan ketersediaan juga melimpah. Harga bibit varietas panache pada 2010 hanya Rp250.000 kini melonjak Rp400.000—Rp700.000. Para penangkar telah mencecap manisnya berniaga bibit tin karena permintaan terus membubung. Konsumen datang dari berbagai kota di Indonesia. Itu cermin betapa bergairahnya para pekebun menanam tanaman anggota famili Moraceae.

Kebun buah tin Mr Poh, adaptasi budidaya tin ala Jepang.
Kebun buah tin Mr Poh, adaptasi budidaya tin ala Jepang.

Peluang tin
Menurut pekebun di Kota Batu, Jawa Timur, Hartawan Soesanto tin memang layak dikebunkan. Sebab, tanaman introduksi itu sangat adaptif di negara tropis seperti Indonesia. Itu karena ragam varietas yang tinggi. Ada tin yang adaptif di dataran rendah seperti blue giant, louisiana state university gold, dan texas ever bearing. Selain itu tersedia tin yang cocok untuk dataran tinggi, yakni bellone, red libya, dan long yellow.

Adapun green jordan dan negronne terbukti adaptif untuk semua ketinggian tempat di Indonesia. Pada umumnya tin juga genjah atau cepat panen. Petani yang menanam bibit setinggi 30—40 cm hasil perbanyakan cangkok, maka 6—8 bulan kemudian panen perdana. Artinya tanpa perangsangan pun tin berbuah lebat dan susul-menyusul. Kelebihan lain tin ia bersosok “ramping” karena pemangkasan. Harap mafhum, petani mesti disiplin memangkas untuk merangsang pembuahan.

Tin adaptif di Indonesia sehingga dapat dipanen sepanjang tahun.
Tin adaptif di Indonesia sehingga dapat dipanen sepanjang tahun.

Dampaknya penampilan tanaman pun ramping sehingga petani bisa menanamnya di lahan relatif sempit. Petani-petani di Indonesia menanam tin di lahan 500—1.000 m2. Faktor lain, citarasa tin sesuai lidah masyarakat Indonesia. Selain buah, para petani juga berpeluang menjual daun yang mengandung beragam senyawa aktif. Khulub rutin menjual 2—3 kg daun per bulan. Harganya Rp500.000 per kilogram kering.

Khulub Satria, panen tin dari halaman sempit.
Khulub Satria, panen tin dari halaman sempit.

Menurut bungsu dari 2 bersaudara itu, segmen buah dan daun tin belum tergarap maksimal. Sebenarnya daun itu adalah limbah, karena petani membuang saat turun cangkok atau akan mencangkok tanaman anggota famili beringin-beringinan itu. Industri rumahan memanfaatkan daun tin sebagai herbal yang berkhasiat.

Sampai kapan tren tin akan bertahan? Penangkar buah di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, Eko Tri Sulistyo, menuturkan tin menjanjikan sebab berbuah tanpa kenal musim dan bercita rasa lezat. “Masyarakat di perkotaan juga dapat mencecap kelezatan tin tanpa butuh lahan luas sebab bisa dijadikan tabulampot,” ujarnya. Ia mengakui tren berkebun tin suatu saat pasti meredup. Namun, kondisi itu tidak akan parah sebab buahnya bernilai jual tinggi. (Syah Angkasa/Peliput: Riefza Vebriansyah)

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Mengintip Durian Montong dari Sulawesi Tengah, Begini Keunggulannya

Trubus.id–Provinsi Sulawesi Tengah, salah satu sentra penghasil durian. Mayoritas jenis durian yang dibudidayakan adalah montong.  Kualitas durian montong asal Sulawesi...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img