Kharisma Nur Khakiki mengolah umbi talas yang memberikan omzet Rp8-juta per bulan.
Trubus — Keripik talas dengan rasa asin, itu biasa. Namun, keripik talas dengan rasa rumput laut atau barbeku membangkitkan rasa penasaran. Itu keripik talas produksi Kharisma Nur Khakiki, produsen di Desa Belung, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Keripik talas buatannya tersebar di berbagai daerah di Indonesia seperti Surabaya, Jember, Banyuwangi, dan Blitar—semua di Provinsi Jawa Timur, Jakarta, Pati (Jawa Tengah), Bandung (Jawa Barat).

Setiap bulan Kharisma memproduksi rata-rata 600—700 pak keripik talas berbobot 225 g dengan 3 pilihan rasa yaitu barbeku, rumput laut, dan orisinal. Menurut Kharisma konsumen menggemari keripik talas bercita rasa original. Produksinya mencapi 50% dari total produksi. Harga keripik Rp15.000 per kemasan untuk semua varian rasa. Ia memasarkan penganan itu ke toko oleh-oleh dan langsung kepada konsumen. Semua produknya selalu ludes.
Permintaan besar
Menjelang Idul Fitri, permintaan meningkat menjadi 1.500—2.000 pak per bulan. Kharisma hanya sanggup memenuhi 1.000—1.200 pak. Ia tak sanggup memenuhi lonjakan permintaan keripik karena keterbatasan sarana produksi. Panen raya talas lazimnya berlangsung pada Mei atau menjelang Lebaran. Harap mafhum tanaman anggota famili Araceae itu perlu waktu 8 bulan hingga siap panen.
Kharisma mengatakan, umbi kerabat aglaonema itu hanya mampu bertahan 30 hari sejak panen. Itulah sebabnya ia tak mampu membuat cadangan bahan baku. Ketika bahan baku langka, ia kesulitan untuk memproduksi. Ia memperoleh bahan baku di Malang yang selama ini menjadi sentra talas mbote. Untuk menghasilkan 1 kg keripik, ia menghabiskan 4,4 kg umbi talas sehingga rendemen mencapai 22,5%.
Menurut Kharisma konsumen membeli keripik talas bikinannya sebagai oleh-oleh dan konsumsi rumah tangga. Olahan umbi talas Colocasia esculenta itu mendatangkan laba Rp8-juta per bulan bagi Kharisma. Kharisma menyerap 5 tenaga kerja. Mereka ibu-ibu tetangganya yang semula tak bekerja di luar rumah. Namun, kini mereka memperoleh tambahan pendapatan dengan bekerja sebagai pembersih, perajang, atau penggoreng keripik talas.
Semula pemasaran
Kharisma memulai debutnya pada 2013 ketika memasarkan keripik produksi tetangganya. Ia melihat sendiri perempuan-perempuan tua di desanya berjualan keripik talas. Jika semua laku terjual, mereka paling banter mendapat Rp40.000 per pekan, atau Rp160.000 sebulan. Akhirnya Kharisma iseng menjualkan keripik buatan tetangganya, seorang janda 3 anak.

“Saya coba tawarkan keripik ke teman-teman di kampus. Alhamdulillah mereka suka,” ujar alumnus Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Brawijaya itu. Anak muda itu semakin bersemangat lantaran setiap hari bawaannya selalu ludes terjual. “Ibu itu merasa terbantu karena dia tidak perlu berkeliling desa untuk menjajakan keripiknya. Saya tinggal mengambil keripik, ibu itu sudah terima uangnya,” ujar Kharisma.
Sayang, pada Mei 2015, sang tetangga tak lagi memproduksi keripik talas. Ketiga anaknya mulai bekerja, sehingga ia tidak lagi menanggung kehidupan mereka. Bingung karena telanjur digemari, Kharisma mencoba memproduksi sendiri keripik talas itu. Dari sana ia mempelajari proses produksi keripik talas berkualitas. Semua dimulai dari bahan baku. “Talas terbaik untuk keripik harus tua, berumur sekitar 8 bulan pascatanam,” ujar Kharisma.
Tak hanya proses produksi, pemuda kelahiran 26 Juli 1994 itu juga mempelajari pemasaran. Semula Kharisma mengemas produknya dalam 2 ukuran berbeda, yakni 125 gram dengan harga jual Rp7.000 dan 250 gram (Rp15.000). Tiga bulan pertama usaha itu lancar. Pada bulan ke-4 ia mulai menerima keluhan dari konsumen. Keluhan itu berupa cita rasa keripik yang berubah-ubah dan kadang bobot kurang. Kharisma ingat betul kejadian pada awal 2017. Saat itu ia mengirim 150 bungkus keripik talas ukuran 250 g seharga Rp15.000 ke salah satu toko oleh-oleh di Kotamadya Batu, Jawa Timur.

“Ada satu kemasan yang bobotnya kurang 5 gram sehingga pemilik toko mengeluh,” kata Kharisma. Merasa tertampar, ia menarik semua produk dan akhirnya merugi Rp3.750.000 Pemicunya ia mempekerjakan janda dan buruh tani berusia lanjut yang terkadang kurang cekatan. Pascakejadian itu, ia membubuhkan kata “kurang lebih” di kemasan produk. Selain itu, ia mewanti-wanti pekerja untuk melebihkan bobot kemasan.
“Lebih baik saya memberikan lebih,” ujarnya. Namun, di balik kekurangan pekerjanya, Kharisma menemukan potensi cara memasarkan. Ia menceritakan kepada konsumen bahwa dengan membeli produknya, sang pembeli membantu janda dan buruh tani berusia lanjut yang ia pekerjakan. Strategi itu berhasil, terbukti produksinya berjalan lancar hingga sekarang. Kini ia hanya menjual satu kemasan saja yaitu 225 g Rp15.000.
Tidak disangka-sangka ia meraih juara pertama di program Teras Usaha Mahasiswa, yang merupakan kerjasama antara Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Brawijaya (LPPM UB) dan program tanggung jawab sosial perusahaan Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Atas prestasinya itu Kharisma memperoleh hadiah Rp50-juta. Bagi Kharisma, wirausaha sudah menjadi jalan hidup. Mahasisa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan Universitas Brawijaya itu membuktikan bahwa asalkan giat, wirausaha bisa mendatangkan kesuksesan finansial pada usia muda. (Bondan Setyawan)