Trubus.id— Namanya jarang disebut dan terdengar asing: kelumpit dan kelumpang. Keduanya jenis pohon langka. Namanya tak setenar beringin atau sengon. Padahal, faedah pohon-pohon itu amat banyak.
Sekadar contoh, pohon kelumpit (Terminalia microcarpa) yang selalu hijau dan rindang cocok untuk penghijauan. Kayu kelumpit menjadi bahan tasbih, gelang, aneka ukiran, dan peralatan rumah tangga.
Kelumpang atau kepuh (Sterculia foetida) tak kalah bermanfaat antara lain bahan peti kemas, biduk, atau perabot. Budi Wibowo menanam pohon-pohon langka itu di sekitar sungai di Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak 2018.
Hingga kini Budi dan rekan yang tergabung dalam komunitas Resan Gunung Kidul menanam aneka pohon setiap pekan. Lokasi penanaman ragam pohon itu di dekat sumber air seperti telaga atau sungai. Harapannya agar tanaman-tanaman itu menjaga sumber air.
Tujuan lain agar generasi mendatang merasakan lingkungan yang asri khususnya di Kabupaten Gunung Kidul. Jadi, penanaman pohon bukan hanya sebagai penghijauan, tetapi juga sebagai penjaga sumber mata air.
Selain kelumpit dan kelumpang, mereka juga menanam gayam (Inocarpus fagifer) dan beringin (Ficus benjamina). “Banyak tanaman di sekitar telaga yang hilang. Padahal tanaman itu memiliki peran sebagai penjaga sumber mata air,” kata Budi.
Budi dan rekan juga kerap berkeliling mencari bibit tanaman di jalan atau di lahan-lahan terbuka. Mereka mengumpulkan biji atau bibit tanaman yang tumbuh di sekitar pohon induk. Mereka lantas membembibitkan dalam plastik tanam (polibag) yang terkumpul di Rumah Bibit Resan (RBR).
Selain menyediakan bibit tanaman sendiri, Budi dan rekan juga mendatangkan bibit tanaman dari daerah lain seperti Kabupaten Bantul, Provinsi Yogyakarta, Kabupaten Klaten dan Wonogiri (Jawa Tengah), dan Kabupaten Kediri (Jawa Timur).
Bibit-bibit itu merupakan bantuan sukarela dari komunitas lain yang juga bergerak dalam pelestarian lingkungan. Budi hanya menanam bibit setinggi minimal 1 m di sekitar telaga.
Selain mencegah kematian bibit akibat aklimatisasi, bibit lebih mudah dikenali dan tidak terinjak oleh warga yang berjalan di sekitar telaga. “Sebelumnya kami sering menanam bibit 30 cm atau dua jengkal, tetapi bibit rentan terinjak atau dibabat warga yang tidak tahu jika itu tanaman konservasi,” kata pria berumur 48 tahun itu.
Sejak saat itu ia menandai bibit yang baru ditanam dengan kayu. Tujuannya agar orang tahu bibit itu sengaja ditanam sebagai tanaman konservasi. Sebanyak 15.000 tanaman yang terdiri atas 50 jenis telah ditanam di 50 sumber mata air. Lokasinya tersebar di 18 Kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul.