“Saya cemas karena kirimannya adalah makhluk hidup. Terlambat beberapa jam saja, risikonya mati,” katanya. Lewat pukul 21.00 akhirnya senyum tersungging ketika Badan Karantina Hewan bandara Soekarno-Hatta mengizinkan 8 serama senilai Rp50-juta dibawa pulang. Ia bergegas membawa ayam terkecil di dunia itu ke rumahnya di Bekasi Regensi I, Jawa Barat.
Sejak mengenal serama pada awal 2004 Johan langsung tergila-gila. Beberapa ayam mungil itu dibelinya dari pedagang di Durensawit, Jakarta Timur. Namun, “Saya kurang puas karena di negeri asalnya, Malaysia, sosok serama jauh lebih kecil hanya 250—300 g,” ungkapnya. Yang ia beli di Jakarta berbobot 500 g. Karyawan di sebuah instansi pemerintahan di Jakarta itu lalu mencoba menghubungi beberapa penangkar di Malaysia. Setelah berkali-kali berkomunikasi lewat pesan singkat, suami Humiyati itu mendapat kepastian pengiriman serama awal Juli 2004.
“Senang bukan main saya mendapatkannya. Sosoknya betul-betul sempurna, bobot kurang dari 300 g, dan warna bulu beragam,” ujar Johan sambil menunjuk kerumunan serama yang tengah mematuk-matuk pakan. Serama yang didatangkan terdiri atas 7 betina dan seekor jantan. Semua dewasa, berumur rata-rata 1 tahun, sehingga pada hari pertama kedatangan pun ada 2 ekor yang bertelur.
Kedatangan serama berkualitas itu tidak saja menyenangkan hati Johan, tapi disambut sukacita para pemain lain. Musababnya, beberapa bulan sebelumnya Badan Karantina Hewan melarang impor unggas untuk mencegah terjangkitnya flu burung. Kalaupun beberapa hobiis dan pedagang sempat mengimpor, kualitasnya tidak sebaik milik Johan. “Mereka tidak mendatangkan dari Pulau Penang, Kelantan, atau Kedah, melainkan dari Johor, bahkan sebagian dari Thailand,” ungkap Rudiasfie Sjofinal alias Rudi Pelung, pelopor pengembangan serama di Indonesia.
Kelimpungan
Antusiasme para penangkar mendatangkan serama dari negeri asalnya, Malaysia, tak lepas dari permintaan pasar yang begitu besar. “Saya betul-betul kelimpungan memenuhi permintaan hobiis,” kata Rudi Pelung. Padahal ayah Abi Rochmadin dan Sabrina Widiasfita itu sudah berusaha mengumpulkan anakan serama dari para hobiis yang dulu membeli darinya.
Saking banyaknya permintaan Rudi Pelung tak sempat meregenerasi indukan karena anakan umur 1 hari pun sudah diincar pembeli. Bahkan, “Telurnya saya lepas Rp250.000/butir karena tidak tega melihat orang merengek-rengek ingin serama,” papar suami Widaningsih itu. Order serama datang tak hanya dari kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Bandung, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta, tapi juga Medan, Makassar, Sumbawa, Lampung, Pontianak, dan Pekanbaru.
Menurut Rudi populasi serama di tanah air masih terbatas, tidak lebih dari 1.000 ekor. Itu pun sudah termasuk anakan dan dewasa. Maklum serama di Indonesia baru mencuat pada Agustus 2003, sehingga jumlah hobiis—lebihlebih peternak—hanya hitungan jari. Ia mengaku sejak Agustus 2003 hingga Juli 2004 baru menjual 200 ekor dari berbagai umur dengan harga bervariasi mulai dari Rp250.000—Rp5-juta per ekor.
Itu setali tiga uang yang dialami Hengky Tanjung. “Penelepon yang minta dikirim serama sehari rata-rata 15 orang. Makanya saya akan mencoba untuk menernakannya lebih intensif,” ucap penggemar derkuku yang sebetulnya mengoleksi serama sekadar hobi. Dari 6 induk betina yang dibeli setahun lalu Hengky sudah menjual 40 anakan umur kurang dari 1 bulan dan beberapa butir telur. Ia mematok harga anakan kualitas A Rp1-juta; B, Rp300-ribu—Rp500-ribu per ekor. Sedangkan telur setiap butirnya dijual Rp300.000 untuk grade A; Rp150.000, grade B; dan Rp50.000, grade C.
Tak aneh jika Ir H Achmad Yusuf di Serpong, Tangerang, pun mencoba melirik bisnis ayam liliput itu. Semula pemilik Farm 45 yang lebih dikenal sebagai pemain perkutut bangkok itu hanya iseng memelihara serama. Namun, setelah melihat peluang pasar terbuka, 6 induk betina dan beberapa jantan dipacu untuk berproduksi. “Kalau mau terima, yang berniat inden serama daftarnya panjang sekali. Tapi karena produksi sedikit terpaksa saya ditolak,” kata Yusuf. Selama ini pengusaha atap sirap itu baru melepas 30—40 serama berbagai umur hanya untuk temantemannya. Peminat dari Ambon, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Makassar disuruh bersabar.
Skala rumahan
Menurut Hengky selain indukan berkualitas, untuk menangkarkan serama tak ada kendala. Si mungil itu bisa diternak skala rumahan. Dengan luasan 1,5 m x 3 m minimal bisa dipelihara 6 induk betina dan 1 jantan. Jika setiap induk menghasilkan 3 ekor per bulan, peternak bisa berpenghasilan Rp5-juta—Rp8-juta/bulan. Rinciannya, dari 18 ekor kualitas B dijual Rp300.000 umur 1 bulan. Biaya pakan dan tenaga kerja tidak lebih dari Rp400.000. Keuntungan akan menggelembung jika yang dihasilkan serama kualitas A berharga Rp1-juta/ ekor.
Itu pula yang ada di Malaysia, serama dihasilkan dari peternakpeternak skala rumahan. Pantauan Trubus ke Kualalumpur, Pulau Penang, dan Kedah—sentra-sentra serama di Malaysia—hanya satu-dua farm yang agak besar, berjumlah 25—50 induk. Selebihnya hobiis yang mempunyai 4— 6 ekor dan memanfaatkan waktu luang menernakan koleksinya.
Albert Tan yang memasok serama ke mancanegara pun masih tergolong skala rumahan. Indukannya hanya sekitar 30 ekor dan dikelola dengan manajemen konvensional. Namun, beberapa bulan terakhir ia melayani order dari Amerika Serikat, Inggris, Afrika Selatan, Kuwait, Filipina, dan Singapura. Tak ketinggalan Thailand, negara tetangga yang berjarak selemparan batu dari Pulau Penang dan Kedah. “Setiap bulan 75—150 ekor kami kirim ke berbagai negara,” kata Albert.
Karena skala kecil, manajer di sebuah perusahaan elektronik itu merasa kesulitan memenuhi permintaan ekspor. Beruntung The Leong Toh, peternak kenamaan di Pulau Penang yang menjadi teman dekatnya sejak 35 tahun lalu intensif mencari indukan-indukan berkualitas. Semua hasil ternakannya berkualitas A dan super A berbobot 250—300 g, layak impor. “Kuncinya, garis keturunan pasangan induk harus diketahui pasti. Jika tidak, munculnya serama berkualitas tinggi faktor kebetulan belaka,” ujar Chooi, sapaan akrab The Leong Toh.
“Suatu ketika kami ingin menjadikan serama sebagai usaha yang mendatangkan uang bagi masyarakat dan negara,” ungkap Dato Haji Ghazali Cha, penggemar berat serama di Kedah. Apalagi untuk memeliharanya tak perlu halaman luas, perawatan pun mudah dan murah. Albert menghitung biaya pakan untuk seekor serama dewasa tidak lebih dari RM1 atau setara Rp2.500 per bulan. Sebab, ia tak perlu pakan istimewa, cukup voer yang mudah ditemukan di pasaran.
Lucu dan unik
Sebagai klangenan, ayam hasil silangan Wee Yean Een, peternak di Kelantan, Malaysia, itu sangat ideal. “Serama berlekuk tubuh cantik, tidak berisik, dan tak boros pakan,” kata Ghazali. Ia pun penghilang stres yang mujarab. Tak heran jika puluhan serama dikoleksi di kediamannya di Kampong Baru, Alor Setar, Kedah.
Mungkin karena itu pula popularitas serama cepat meroket ke seluruh pelosok Malaysia. Buktinya sopir taksi yang mengantar Trubus ke sebuah farm hingga pramuniaga pasar swalayan mengenal serama dengan baik. Puncak kepopuleran serama terjadi pada 2000—2001. Sayang pada saat tren lou han ia agak tenggelam.
Kini sejalan popularitas lou han meredup, minat untuk mengoleksi serama muncul lagi. “Di sini tua-muda, pria dan wanita menyukai serama,” kata Syarifuddin, sopir asal Payakumbuh, Sumatera Barat, yang sudah 15 tahun mengais rezeki di Malaysia. Semua kalangan bisa main serama lantaran harga bervariasi mulai ratusan hingga puluhan ribu ringgit.
Tak berbeda di Indonesia, serama mendapat tempat di hari para penggemar unggas ketika diperkenalkan pada pertengahan 2003. Jangankan pemain ayam, hobiis burung banyak yang tertarik untuk mengoleksinya. ”Rudiasfie dan saya sebetulnya penggemar burung derkuku dan belum pernah main ayam. Tapi melihat keunikan serama, sulit untuk melewatkannya,” ujar Hengky Tanjung.
Tak berlebihan jika V Prananta, pemilik nurseri di Kebonjeruk, Jakarta Barat, segera mengontak sahabatnya di negeri jiran usai melihat gambar serama di prangko keluaran 2000. “Sudah lama saya mengenal serama. Hanya karena harga terlalu tinggi, saat itu niat untuk beli diurungkan,” tutur perempuan yang menginjak usia 66 tahun itu. Serama dinilai Prananta memiliki banyak daya tarik. “Lucu dan unik. Daya tarik ini belum saya temukan di ayam hias lain,” lanjutnya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Penikmat berbagai ayam hias itu memergoki serama dijajakan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, pada sebuah pameran. Dua pasang diambilnya untuk mengisi kandang kosong di loteng. Kokoknya yang tak terlalu keras acap kali terdengar menghangatkan suasana rumah. “Ia cocok dipelihara di mana pun kita berada. Tak terkecuali di apartemen karena suaranya tak mengganggu tetangga,” ujar Prananta.
Ketinggalan zaman
Rudiasfie menyadari kualitas serama di Indonesia jauh dari bagus. “Tapi apa boleh buat, tingkat apresiasi para penggemar serama di tanah air juga masih belum mencapai tahap ideal,” tutur sarjana Arsitektur alumnus Universitas Pancasila. Dengan standar pas-pasan itu banyak orang terkagumkagum. Mereka heran melihat ayam berukuran lebih kecil daripada ayam katai. Apalagi dada membusung dan bobotnya hanya 500 g.
Berdasarkan penilaian Albert Tan dan para juri di Malaysia, serama-serama yang ada di Indonesia sudah lepas (ketinggalan, red) zaman. Ia lebih layak disebut serama kapan, karena kakinya masih panjang. Di Malaysia serama berbobot 500 g tidak dilirik lagi. Itu adalah serama-serama generasi pertama yang keluar pada 1990-an. Yang sekarang dikoleksi umumnya berbobot 250—300 g dengan tinggi 20—22,5 cm. “Kita menargetkan setiap 2 tahun berhasil menurunkan bobot 50 g dan tinggi 2,5 cm. Sehingga pada 2006 akan muncul serama berbobot 200 g dengan tinggi hanya 17,5 cm,” tutur Albert.
Meski demikian di negeri jiran serama-serama berbobot 500 g bukan berarti tidak ada. Para peternak yang kurang memperhatikan kualitas induk masih memungkinkan mendapatkan grade B itu. Serama-serama itulah yang dilarikan ke Indonesia atau Thailand. Pantauan Trubus di Hat Yai, Thailand Selatan, dan pasar Chatuchak, Bangkok, kualitas serama di sana hampir sama dengan di Indonesia.
Thailand juga mengimpor dari Malaysia seperti yang dilakukan Chong Poh Seng. Setiap 2 minggu, pedagang di pasar Chatuchak itu mendatangkan 73 ekor dari Pulau Penang dan sekitarnya. Pria yang bermain serama sejak 1993 itu mengambil ayam-ayam yang berharga 3.000 baht. “Meski demam serama di Thailand sudah lama, hobiis belum berani membeli yang berkualitas,” tuturnya.
“Kami masih coba-coba, jadi tak mau yang mahal,” ujar Baneha Kong In, pengacara di Hat Yai, Thailand. Lajang 44 tahun itu memelihara serama sejak 5 tahun lalu. Dari 2 pasang indukan yang dibelinya kini beranak pinak hingga 50 ekor. “Saya hanya bagikan ke temanteman dekat, belum dikomersialkan,” lanjutnya. Menurutnya serama lambat laun akan sepopuler perkutut. Sebab kontes memperebutkan piala raja pun diselenggarakan rutin sejak 2001.
Di kios Surachai Suwapanichphan di Hat Yai, Provinsi Songkhla, Thailand, dari 37 ekor yang dijajakan, hanya 3 ekor berkualitas A, selebihnya B. Serama kualitas A berbobot 250—300 g; B 350—500 g. “Yang banyak terjual kualitas B mencapai 20 ekor/bulan. Kualitas A jarang yang beli karena harganya tinggi,” kata Surachai. Pria yang sudah 10 tahun berjualan serama itu mematok harga 300—400 baht setara Rp60.000—Rp80.000 per ekor kualitas B; kualitas A 3.000—4.000 baht. Sedangkan yang pernah menang kontes 30.000—50.000 baht per ekor.
Beternak serama peluang yang menjanjikan, pantas kalau Johan Nasution nekat mencemplungkan puluhan juta rupiah hanya untuk mengimpor beberapa induk serama. “Saya yakin dalam waktu 1 tahun modal kembali dari hasil menjual anakan,” tandas ayah 3 putra itu. Di pasaran harga serama kualitas standar umur 2—3 bulan Rp500-ribu—Rp2-juta. Yang kualitas kontes sekitar Rp5-juta saat berumur 3 bulan; dewasa mencapai Rp10-juta. Di Malaysia bahkan ada yang berharga RM35.000 setara Rp87-juta. (Karjono/ Peliput: Sardi Duryatmo & Syah
Angkasa)
Swiss Selangor Rp87-juta
Dialah serama termahal yang pernah ada di Malaysia, RM35.000 setara Rp87-juta. Sosoknya memang sempurna, sehingga ia pun mencatat rekor terbanyak memenangkan kontes, 25 kali. Wajar kalau keturunannya selalu diburu oleh para peternak maupun hobiis. Mereka percaya faktor keturunan sangat penting untuk menghasilkan seramaserama berkualitas.
“Serama-serama berdarah juara harganya 5 kali lipat daripada serama biasa, meski penampilan kurang bagus,” ujar The Leong Toh alias Chooi, peternak di Pulau Penang. Menurut peternak yang sudah menekuni ayam terkecil di jagat itu selama 15 tahun, harga mahal tidak mengada-ada. Chooi membuktikannya sendiri. Di peternakannya ada induk keturunan Sri Penang, peraih 16 kali juara di berbagai kontes di Malaysia. Anak-anak keturunan indukan itu selalu menghasilkan kualitas A dan super A, tidak ada B atau C.
Jadi, kualitas serama bukan ditentukan oleh bobot sewaktu lahir. “Bobot serama ketika menetas sama sekali tak bisa dijadikan patokan untuk memperkirakan bobot dewasa. Apalagi hanya berpedoman pada bobot telur,” ucap Chooi. Pasalnya, sifat setiap ayam berbeda. Ada yang sewaktu baru menetas ukurannya kecil, tapi setelah berumur 1 bulan pertumbuhannya pesat. Atau sebaliknya.
Namun, untuk mengetahui bloodline seekor serama tidak mudah, sebab tidak ada catatan silsilah seperti anjing. Jalan keluarnya dengan memperhatikan ciri khusus ayam yang menjadi favorit. Misal pada mata, sisik kaki, warna bulu, atau bentuk jengger. “Ciri khusus itu tak pernah hilang, sehingga bisa menjadi bukti keabsahan keturunan ayam atau peternakan tertentu,” tutur Johan Nasution. Hobiis serama di Cibitung, Bekasi, itu mencontohkan, serama-serama dari farm milik Chooi punya ciri khusus berbolamata kuning gelap atau golden black. (Karjono)