Jumlah itu memang baru seujung kuku bila dibandingkan total populasi leci di kebun berketinggian lebih dari 500 m dpl itu. Di sana, Jonggol, Kabupaten Bogor, ditanam 500 batang jenis bali dan 2.000 batang asal Taiwan sejak 3,5 tahun lalu. Pohon setinggi 2 m itu ditanam rapi dengan jarak tanam 8 m x 8 m dan 9 m x 9 m di lahan berbukit.
Bila di Jonggol kerabat lengkeng itu baru belajar berbuah, nun di Sumedang sebanyak ratusan pohon yang dikelola sebuah perusahaan agribisnis di Jakarta sudah berkali-kali dipanen. Itu kabar yang Trubus terima dari Edy Susanto, penangkar tanaman buah di Cileungsi, Bogor. Informasi sama diperoleh dari Dr Mohammad Reza Tirtawinata, MS. Menurut pakar buah-buahan itu, leci ditanam di antara jeruk frimong. Ketika dikonfi rmasi via telepon, memang benar grup agribisnis di Jakarta itu mengembangkan leci di ketinggian 700—900 m dpl. Laporan panen pun beberapa kali masuk ke kantor pusat. Sayang, sampai tenggat majalah ini tiba permohonan Trubus untuk meliput belum diluluskan.
Yang pasti leci sudah lama tumbuh dan berbuah di Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali. Di daerah berketinggian 350—400 m dpl itu, buah yang dipercaya berasal dari Cina Selatan itu berumur puluhan tahun. Saat Trubus berkunjung pada penghujung Desember 2003, tidak terlihat buah menggelayut di pohon-pohon leci. Populasi pun turun drastis dari 2.700 batang pada 1980-an menjadi 222 pohon pada 2004.
Regenerasi tidak berjalan lantaran tanaman lamban berbuah. “Bibit asal cangkokan baru belajar berbuah pada umur 10 tahun. Kalau dari biji lebih lama lagi,” kata I Ketut Abinawa, warga setempat yang turuntemurun memelihara leci.
Dataran rendah
Pengembangan besar-besaran justru tengah getol dilakukan Provinsi Maluku. Menurut hitungan Basir Watihelu dari Dinas Pertanian Provinsi Maluku, sejak 6 bulan terakhir setidaknya 500 bibit telah keluar dari Desa Naku dan Nakupia. Yang disebut pertama terletak di Kecamatan Sirimau, Pulau Ambon.
Di desa berketinggian 300—500 m dpl leci tumbuh di pekarangan. Konon cikal-bakalnya sudah ada sejak zaman penjajahan Portugis dan Belanda. “Hanya saja waktu itu lacing—sebutan leci di sana—baru dimiliki kaum bangsawan,” kata Basir. Dari pohon induk warisan itulah lantas penanaman leci menyebar ke masyarakat. Menurut Masdar Pawa—staf Subdinas Produksi Pertanian, Dinas Pertanian Provinsi Maluku—di sana setiap halaman rumah diisi 4—5 pohon leci.
Penanaman pun meluas ke Pulau Seram, Saparua, dan Haruku. Di Pulau Seram—tepatnya di Desa Nakupia, Kecamatan Teon Nila Serua, Kabupaten Maluku Tengah, leci tumbuh subur dan berbuah lebat setiap penghujung tahun di daerah berelevasi 50 m dpl. Jaraknya dari tepi pantai hanya 4—5 km. Hawanya panas menyengat. Kondisi itu berkebalikan dengan anggapan umum bahwa leci hanya cocok di dataran tinggi berudara sejuk. Maklum habitat asal quenepe chinos—sebutan di Haiti— daerah subtropis.
Pelacakan Trubus ke berbagai daerah menunjukkan, beberapa hobiis mulai mencoba menanam leci dataran rendah. Sebut saja Mulyono Sutedja di Singkawang, Kalimantan Timur. Pelopor penanaman lengkeng dataran rendah itu menanam 10 pohon asal Th ailand sejak akhir tahun silam. Sebenarnya Mulyono mengimpor 100 bibit setinggi 50 cm. “Yang lain dibeli oleh hobiis di Surabaya, Malang, Palembang, Balikpapan, dan Solo,” katanya. Kini tanaman di kebunnya di Sijangkung yang panas tumbuh subur.
Leci dataran rendah pun ditanam Prakoso Heryono, penangkar tanaman buah, sejak 4 tahun silam di Demak. Bibit diperoleh dari seorang teman yang kerap bolak-balik ke negeri Siam. Bahan tanaman dari negara itu pula yang kini tengah diuji coba di Taman Wisata Mekarsari, Bogor.
Thailand, tepi laut
Bukan tanpa alasan bila para pemain tanaman buah itu memilih bibit asal Th ailand. Negara Gajah Putih itu salah satu produsen leci terbesar selain Cina, Taiwan, India, dan Vietnam. Menurut data Department of Agriculture Extention (DOAE), pada 2000 luas penanaman mencapai 24.000 ha dengan produksi 89.045 ton. Jumlah itu meningkat menjadi 27.000 ha dan 102.032 ton pada 2003.
Selama ini Chiang Mai dan Chiang Rai—di utara dan berhawa sejuk—yang dikenal sebagai penghasil leci. Padahal lin chi alias lin chee—sebutan di sana—juga dikembangkan di wilayah tengah yang cenderung panas. Itulah yang Trubus saksikan kala mengunjungi Samut Songkhram—70 km barat daya Bangkok—awal April silam.
Di pesisir Teluk Th ailand itu, selepas barisan tambak garam, terlihat deretan leci setinggi sekitar 5m berbuah lebat di kiri-kanan jalan. Penghujung Maret hingga April memang musim panen besar di provinsi yang namanya berarti tembok samudera itu.
Trubus mampir di kebun milik Alun Canbunmee di Subdistrik Wae Om, Distrik Amphawa. Di kebun seluas 8 rai setara 1,2 ha itu terdapat 200 pohon berumur 20 tahun yang tengah berbuah lebat. Sisi kebun yang berbatasan langsung dengan jalan raya ditutup jaring hitam setinggi 2 m. Maklum buah merah yang memenuhi seluruh tajuk tanaman menarik minat para pelintas.
4 tahun
Di siang hari yang terik itu, terlihat seorang pria bermodal keranjang bambu dan tangga setinggi 4 m tengah memanen buah. Di dekat situ, beberapa perempuan menyortir buah hasil panen. Selesai disortir leci ditata dalam keranjang bambu beralaskan daun pisang. Hasil panen itu nanti diambil pengepul yang memasarkan anggota famili Sapindaceae itu ke pasar-pasar lokal di Samut Songkhram hingga ke Bangkok.
Saat Trubus datang, itu hari ke-10 Alun memanen leci. Buah kesukaan Yang Kuei Fei—selir kaisar Hsuan Tsung pada zaman Dinasti Ming di Cina—itu habis dituai di penghujung April. Dari panen selama sekitar 1 bulan pria bersahaja itu mengantongi pendapatan 3.000 baht setara Rp750.000 dari setiap pohon. Itu dengan asumsi harga jual terendah di kebun 35—40 baht atau Rp8.750—Rp10.000 per kg. Padahal di awal dan puncak panen harga yang diterima pekebun bisa mencapai 80 baht (Rp20.000) dan 60 baht (Rp15.000) per kg.
Pemandangan serupa dijumpai di kebun milik Somsak Sakaew, Sangium Sakra, dan Suthira Khuansiri—semua di Distrik Amphawa. Kebun seluas 5 rai (0,8 ha) itu terbuka lebar untuk wisatawan yang ingin mencicipi leci langsung di kebun.
Hampir semua pekebun di Samut Songkhram menanam kom. Varietas unggul itu bersosok pendek dengan tajuk kompak—cocok dengan namanya yang berarti kerdil. Terbukti pohon berumur rata-rata 20 tahun hanya setinggi 4—5 m. Tanaman mulai belajar berbuah pada umur 3—4 tahun dari bibit cangkokan—bandingkan dengan yang di Payangan, Bali, 10 tahun. Saat itu produksi baru beberapa dompol. Memasuki umur 5 tahun sekitar 25 kg. Produksi terus meningkat menjadi 100—300 kg/pohon setelah di atas 10 tahun.
Sebetulnya pekebun punya pilihan lain. Sebut saja sampao kaew yang berwarna buah merah cerah atau chin yang rasanya manis asam seperti leci sirup dalam kaleng. Sayang, sampao kaew lebih sulit dibuahkan. Sementara daging chin tipis.
Rendah dan panas
Kom berasal dari leci di Cina selatan yang adaptif di dataran rendah dan panas. “Saudagar asal Cina yang merapatkan kapalnya di Samut Songkhram membawa buah segar. Bijinya ditanam oleh penduduk setempat. Itulah yang kemudian beradaptasi dengan iklim tropis setempat,” tutur Prof Chalongchai Babtraserth, BSc, PhD, pakar hortikultura dari Kasetsart University. Jadi, bukan hasil adaptasi leci asal sentra dataran tinggi di Th ailand utara. Di dataran tinggi varietas yang banyak ditanam adalah hong huay, o-hia, jakapard, dan kimcheng.
Di Samut Songkhram, kom tumbuh di kebunkebun yang cuma berjarak puluhan kilometer dari tepi pantai. Air laut kerap masuk hingga ke paritparit dalam kebun kala pasang. Elevasinya tidak lebih dari 50 m dpl. Pada April, matahari di Samut Songkhram seperti membakar kulit. Suhu udara hingga 40oC membuat keringat deras menetes.
Lantaran sudah beradaptasi dengan iklim tropis, sifat kom berbeda dengan varietas di dataran tinggi. “Di dataran tinggi leci membutuhkan udara dingin 10—12oC di malam hari selama sekitar 50—100 jam supaya berbunga. Di dataran rendah cukup 15—20oC selama 30—50 jam,” lanjut Prof Chalongchai. Itu yang terjadi di Samut Songkhram pada November—Desember. Di bulan-bulan itu, provinsi penghasil pamelo manis tanpa biji itu mendapat “kiriman” angin dingin dari daratan Cina yang tengah mengalami musim dingin. “Minimal ada 7—10 malam bersuhu sekitar 17oC, bagus untuk leci berbunga,” kata Alun Canbunmee.
Panen awal
Leci dataran rendah pun ditanam di Samut Sakhon, Samut Prakhan, dan Ranchaburi. Belakangan di Kanchanaburi—sebelah barat laut Bangkok—berkembang penanaman pantip, varietas komersial lain. Hanya saja Samut Songkhram sentra terluas.
Menurut Prapass Boonyindee, wakil gubernur, luas penanaman leci dataran rendah mencapai 8.800 rai setara 1.408 ha. Tahun ini dituai sekitar 3.000 ton buah. Itulah leci yang membanjiri pasarpasar hingga ke Bangkok. Hampir seluruh panen dari sana dijual dalam bentuk segar. Waktu Trubus bertandang, penguasa nomor 2 di provinsi yang dulu bernama Mueang Mae Klong itu sedang mempersiapkan nota kesepakatan kerjasama dengan Th e Mal dan Tesco Lotus. Dua pasar swalayan terkemuka di Th ailand itu meminta pasokan rutin selama musim panen pada Maret—April.
Musim petik menguntungkan pekebun leci di provinsi seluas 416 km2 itu. Mereka menikmati panen lebih awal ketimbang pekebun di sentra dataran tinggi yang baru menuai buah pada Mei—Juni. Akibatnya, “Pekebun di Samut Songkhram mendapat harga jual lebih baik ketimbang yang di utara,” tutur Montri Wongrakpanich, direktur Division of Fruit and Economic Trees DOAE.
Harga di tingkat pekebun di Samut Songkhram rata-rata 50—60 baht per kg. Sampai ke pasar-pasar di Bangkok menjadi 70—100 baht per kg. Sementara leci asal sentra di utara paling hanya 20—30 baht per kg di tingkat eceran. “Kalau sedang banjir buah malah turun hingga 15 baht,” kata Montri. Maklum, selain musim panen lebih lambat, produksi leci dari utara pun bisa 5 kali lipat daripada di dataran rendah.
Leci kaleng
Menurut Th awisat Dhuangthong, pakar hortikultur dari DOAE, sekitar 30% produksi leci di utara masuk industri pengolahan, terutama untuk dikemas dalam kaleng. Hasil olahan itu lantas diekspor ke Hongkong, Cina, Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Maka bila sesekali Anda berbelanja ke pasar swalayan, perhatikanlah. Mungkin salah satu merek leci dalam kaleng yang ditawarkan berasal dari Th ailand. Meski belum sepopuler lengkeng, leci pun mulai digemari konsumen di Indonesia. Buktinya meski enggan menyebut angka pasti, impor kerabat rambutan itu setiap tahun meningkat di gerai Serpong Buah Segar, Tangerang. Selama ini leci didatangkan dari Th ailand, Taiwan, dan Cina.
Pantas bila Amelia optimis berkebun leci. Pasar di Indonesia sangat besar,” tuturnya. Pekebun dan hobiisyang kini sedang getol menguji coba leci dataran rendah asal Th ailand pun punya asa yang sama. Suatu ketika leci dari kebun mereka hadir di pasar. Syaratnya udara dingin seperti di Samut Songkhram setiap November—Desember bisa dipenuhi. (Evy Syariefa/Peliput: Rosy Nur Apriyanti dan Sardi Duryatmo)
160 Tahun
Sebuah prasasti berbentuk persegi panjang berdiri sedikit tak terawat di keheningan Subdistrik Wae Om, Distrik Amphawa, Provinsi Samut Songkhram. Di atas lempengan batu marmer tertera tulisan bertinta emas dalam bahasa Th ailand tentang sejarah leci di provinsi berjarak 70 km ke arah barat daya Bangkok itu.
“Lin chi sudah ada di sini sejak 160 tahun silam,” tutur Prapass Boonyindee, wakil gubernur Samut Songkhram waktu menerima Trubus di kantornya yang sejuk di kawasan Alun-alun Provinsi di pusat kota Amphawa. Angka itu merujuk tahun kedatangan leci ke Samut Songkhram yang tertera di prasasti.
Konon kerabat lengkeng itu dibawa pertama kali oleh saudagar asal negeri Tirai Bambu pada 2397 tahun Saka dalam bentuk buah segar. Oleh penduduk setempat bijinya lantas ditanam. Sebagian ternyata tumbuh dan beradaptasi dengan iklim tropis di kota pelabuhan tua itu. Salah satunya ialah pohon berdiameter 2 pelukan orang dewasa yang tumbuh di dekat prasasti itu.
Saat ini—pada 2005—bilangan tahun Budha itu mencapai angka 2548. Artinya pohon asal biji itu kini telah berumur 151 tahun. Itulah tanaman warisan yang dijadikan pohon induk pengembangan leci di sana. (Evy Syariefa)