Konsumsi lemak melarutkan sumbatan lemak di jantung.

Kemandirian finansial menjadi permulaan Gembong Riyadi Nurrasa menjelajahi dunia kuliner. Berbagai olahan lezat ia nikmati tanpa ragu. Apalagi setelah menikah dan menetap di Bali, makanan enak menjadi menu harian. Bobot tubuhnya melambung hingga lebih dari 81 kg. Timbunan lemak tubuh mencuat di beberapa bagian tubuh seperti perut, pinggang, pantat, dan pangkal paha.
Pada April 2016, Gembong beraktivitas seperti biasa. Tiba-tiba, dadanya terasa sakit dan napas menjadi sesak. Pandangannya berkunang-kunang, buram, dan akhirnya gelap. Setengah jam kemudian ia siuman dikelilingi rekan kerja. Mengira dirinya sekadar kelelahan, Gembong tidak memeriksakan diri ke dokter. Tiga bulan berselang, serangan itu terulang di rumah. Bedanya ia sadar dan mampu merespons.
Hampir operasi
Sang istri kemudian membawa Gembong ke rumah sakit. Ia kaget setelah tahu bahwa ayah 3 anak itu terkena serangan jantung. “Sumbatan pembuluh darah jantung 80%,” katanya. Dokter menjelaskan bahwa sumbatan menyebabkan jantung Gembong kekurangan oksigen. Organ pemompa darah itu bekerja keras sehingga membesar dan mendesak ke sekitarnya menyebabkan rasa sakit di organ lain yang terdesak.
Pemeriksaan laboratorium klinik menampilkan data yang suram. Asam urat, kolesterol, tekanan darah, dan kadar gula darah berada di tingkat mengkhawatirkan. Pembuluh yang nyaris buntu itu memerlukan penanganan khusus. Dokter menyarankan pemasangan balon (kateter) dalam nadi jantung Gembong.
Gembong memilih mengonsumsi obat yang diresepkan dokter, terdiri dari antara lain pengencer darah, antipembentukan plak, dan penurun kolesterol. Ia juga mengatur pola makan dengan menghindari makanan berkolesterol tinggi.
Nyatanya pria 51 tahun itu keliru. Setelah 6—7 pekan konsumsi obat, ia kembali terkena serangan jantung dan menjalani perawatan. Hampir saja ia menyerah dan menuruti saran dokter untuk menjalani pemasangan kateter jantung.
Gembong berdiskusi dengan seorang teman lama. Sang teman menyarankan 2 opsi untuk memperbaiki kesehatannya.
“Pilihannya makan karbohidrat tanpa lemak atau sebaliknya, makan lemak tanpa karbohidrat,” tuturnya. Ia memilih yang kedua dengan meninggalkan semua makanan berkarbohidrat, termasuk gula, susu, atau buah yang manis.
Syaratnya dibarengi puasa minimal 16 jam setiap hari. Esoknya, selewat tengah hari, ia mengonsumsi lemak hewani, air kaldu, minyak kelapa murni (VCO), dan telur.Semua asupan makanan ia hentikan setelah 20.00—12.00 pada keesokan hari. Selama itu ia hanya minum air putih, kopi, atau teh tanpa gula. Ia baru makan selewat pukul 12.00. Tiga hari menjalani pola itu, ia tidak merasakan sesak napas atau jantung berdebar kencang.
“Kepala terasa ringan dan pandangan terang. Tidak ada sensasi pusing ketika berpaling atau menggerakkan kepala dengan cepat,” kata pria kelahiran 1967 itu. Gembong kembali menolak saran dokter untuk memasang kateter di jantungnya. Oleh karena itu, iamenandatangani pernyataan memilih berhenti menjalani perawatan dan pulang.
Batasi protein
Tepat pada 8 Agustus 2016, Gembong berhenti mengonsumsi obat. Setiap hari ia berpuasa minimal 16 jam, bahkan setiap bulan 2—3 kali ia berpuasa 48—72 jam. Tubuhnya menjadi bugar dan mampu rutin berolahraga berupa jogging,skipping, atau angkat beban. Bobotnya susut menjadi 61 kg. Sampai sekarang ia tidak pernah lagi mengonsumsi obat dokter. Gangguan kesehatan ringan seperti mag atau ambeien yang kerap menyambangi pun hengkang.

Setiap hari ia berpuasa, mengasup makanan tinggi lemak, dan minum air kaldu—pola diet bernama ketofastosis.Menurut dokter penganjur herbal dan pegiat kelapa di Malang, dr. Zainal Gani, puasa terbukti membuat tubuh lebih bugar.
“Saat lapar, tubuh membentuk human growth hormone (HGH) yang mempercepat proses regenerasi sel. Apalagi kalau dibarengi olahraga, kinerja HGH lebih efektif,” kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang itu.
Dokter penganjur diet ketogenik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dr. Piprim Yanuarso SpA(K), menyatakan bahwa asupan karbohidrat minimal membuat tubuh membongkar lemak. Untuk itu ia mengingatkan pelaku ketogenik dan ketofastosis untuk membatasi asupan protein.
“Hati bisa mengolah protein menjadi gula sehingga gula darah tetap tinggi. Idealnya pelaku ketogenik mempunyai kadar gula darah rendah dan angka keton tinggi,” kata Piprim. Kadar gula darah pelaku ketogenik bisa mencapai 80 mg/dl—tingkat kritis bagi orang yang mengasup karbohidrat. Angka keton darah penganut ketogenik maksimal 8—berbeda dengan penderita diabetes tipe 1 yang angka keton darahnya lebih dari 20. Penjelasan kedua dokter itu menjelaskan pengalaman Gembong menetralkan sumbatan lemak dengan asupan lemak. (Argohartono Arie Raharjo)
Menampik Ketogenik
Hingga kini kalangan medis masih terbelah, sebagian setuju dan banyak pula yang menolak diet ketofatosis. Dokter Spesialis Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Bunda Kota Depok, Jawa Barat, dr. Nafrialdi, Ph.D., SpPD, SpFK, kontra diet keto. Menurut Nafrialdi pola makan diet ketogenik rendahasupan karbohidrat, hanya 5%. Sebaliknya asupan lemak tinggi hingga 50—75%. Pembagian asupan karbohidrat idealnya 60%, protein 1%, dan lemak 25% dari total kebutuhan kalori.
Jika jumlah ideal, tubuh bisa menerima dan memanfaatkan zat gizi yang masuk ke dalam tubuh. Nafrialdi mengatakan, diet rendah karbohidrat memicu stres. Karena kerja otak memerlukan asupan karbohidrat. Dokter spesialis gizi klinis di Rumah Sakit Atmajaya, Jakarta, dr. Nanny Djaja, Sp.GK. berpendapat serupa. Nanny mengatakan, ketogenik diet tanpa karbohidrat sehingga energi sehari-hari berasal dari lemak dan protein makanan.
Menurut Nany diet ketogenik merupakan diet yang tidak seimbang. Oleh karena itu, ia tidak menganjurkan penyandang obesitas menjalani diet itu. Sebab, karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi tubuh. Dampak bla karbohidrat sebagai sumber energi tidak tersedia, maka sel-sel otak akan menggunakan zat keton sebagai sumber energi alternatif. (Tiffani Dias Anggraeni)