Padahal baru beberapa bulan silam Ir Hendrik Virgilius, MS, pengelola kebun, menuai buah dari pohon berumur 2—3 tahun. “Sekarang ini bagaimana caranya supaya stop jangan berbuah dulu,” tuturnya. Kondisi ini berbeda bagai langit dan bumi dengan lengkeng di Selakaton, Ungaran, Jawa Tengah. Di sana 200 pohon berumur lebih dari 10 tahun tak kunjung berbuah.
Deretan pohon lengkeng setinggi 2—3 m dibanjiri bunga-bunga berwarna putih langsung terlihat begitu memasuki kebun di Sijangkung, Singkawang, Kalimantan Barat, itu. Tajuknya hampir bersinggungan meski pohon ditanam dengan jarak 10 m x 10 m membentuk segitiga samasisi. Keempat sisinya ditopang tiang penyangga berbahan kayu soma. Maklum beberapa kali terjadi pokok pohon belah karena tajuk sarat buah.
Lengkeng di kebun berjarak 7 km dari pusat kota itu sudah 3 kali berbuah. Panen perdana dituai 7—8 bulan setelah bibit umur 6 bulan ditanam. Jumlahnya belum banyak, paling 3—4 dompol setara 1 kg per pohon. Panen berikutnya, produksi terus meningkat. Panen terakhir pada September 2003 dari 3 pohon berumur 2—3 tahun dituai 100 kg. Padahal panen raya berlangsung 2—3 kali setahun. Hendrik memprediksi modal investasi bakal kembali 2 tahun setelah panen perdana.
Kondisi setali 3 uang terlihat di kebun Mulyono. Bunga, buah pentil, dan buah hampir matang muncul berbarengan di “hutan” lengkeng berisi 138 pohon yang ditanam pada penghujung 2000. Itu belum termasuk pohon-pohon lain yang berangsung-angsur ditanam terpencar di lahan seluas 7 ha. Sama seperti Hendrik, pria yang mahir 6 dialek bahasa Mandarin itu sudah 3—4 kali menuai buah. “Hampir ngga ada musim, buah habis, bunga muncul lagi,” katanya.
Menular
Genjah dan nyaris selalu berbuah menjadi pertimbangan Mulyono saat mendatangkan bibit dari Kuching, Serawak, Malaysia. Waktu itu ia melihat beberapa pohon berbuah lebat di halaman rumah salah seorang penangkar. Saat buah dicicipi, rasa manis langsung menggoyang lidah. Meski tak berpengalaman menanam lengkeng, mantan pengusaha kayu itu langsung membeli 150 bibit setinggi 50—60 cm. Dua tahun berselang ia menuai hasilnya.
Potensi serupa dilirik PT Mitra Jeruk Lestari (MJL). Perusahaan pengelola kebun jeruk di Sambas itu menyelipkan 200 lengkeng di antara siem pontianak. Sewaktu Dr Ir Mohammad Reza Tirtawinata berkunjung ke sana pada pertengahan 2003, Nephelium longan berumur 2—3 tahun sedang berbuah.
Kisah sukses para pionir itu lantas diikuti para pekebun lain. Sebut saja Ajung di Rasaujaya yang menanam 20 pohon dan 200 pohon di kebun Aseng di Sungairengas—semua di seputaran Pontianak. Belakangan Dinas Agribisnis Singkawang membentuk demplot lengkeng seluas 5 ha. Penanaman disebar ke 5 pekebun di Sijangkung, Singkawang. “Luasan masing-masing bervariasi antara 0,5—1 ha,” tutur Senowita, STP, dari Dinas Agribisnis. Lengkeng berumur 2 tahun itu mulai belajar berbunga.
Pendatang baru
Pantas saja lengkeng di kebun-kebun di Kalimantan Barat itu cepat berbuah. Yang ditanam di sana memang introduksi teranyar. Mulyono menanam diamond river dan pingpong. Yang disebut pertama, bertajuk kompak, dihiasi daunberwarna lebih terang daripada lengkeng ambarawa. Jenis yang sama ditanam Hendrik, Aseng, MJL, dan 5 pekebun binaan Dinas Agribisnis Singkawang.
Penampilan pingpong dicirikan oleh tajuk yang nglancir ke segala arah dan daun hijau tua menggulung ke belakang.Sepintas ia terlihat seperti tanaman sakit. Keduanya pertama kali diboyongMulyono dari Kuching. Namun, sejatinya diamond river berasal dari Cina. Ia banyak ditanam para pekebun di Malaysia. Menurut Stevenson Chia, penangkar kenamaan di Kuching, Serawak, minimal terdapat 100 ha penanaman si sungai berlian itu. Kondisi tanah dan iklim di lokasi penanaman mirip Singkawang. Berhawa panas dan bertanah pasir warna putih.
Belakangan sebagian populasi digantikan jenis baru, itoh. Lengkeng yang baru diperkenalkan 3 tahun lalu itu silangan diamond river dengan salah satu jenis asal Thailand. Buah itoh mirip diamond river, tapi daging lebih kering (baca: Dari Sijangkung Wabah itu Berawal, halaman 20).
Sementara pingpong dikembangkan oleh pekebun di Vietnam. Ia disebut-sebut sebagai varietas terbaik di sana. Buah xuong com vang—nama di negara Indocina itu—terbilang bongsor dibanding jenis lain. Kulit cokelatnya dihiasi semburat merah dan beraroma harum. Daging buah cukup tebal dan kering, sayang biji juga besar. Toh itu tak mengurangi minat pekebun di Thailand untuk mengembangkannya.
Ketiga varietas anyar itu berumur genjah dan adaptif di dataran rendah yang panas. “Sedikit saja kena panas langsung berbunga,” ujar Mulyono. Ini berbeda 180o dengan lengkeng “konvensional” yang membutuhkan udara dingin sebagai pemicu. Reza menduga debutan baru itu seleksi dari lengkeng dataran tinggi yang bermutasi pada hormon pengatur pembungaan(baca: Impian 10 Tahun Mendatang, halaman 22).
“Ini sebuah terobosan luar biasa dan buat Indonesia menguntungkan sekali,” tutur doktor dari Institut Pertanian Bogor itu. Sekitar 80% wilayah Indonesia berada di dataran rendah. Dengan kehadiran diamond river, pingpong, dan itoh para investor tak perlu mencari dataran tinggi untuk mengebunkan si mata naga.
Menyebar ke Jawa
Langkah para pionir di Bumi Khatulistiwa lantas diikuti pekebun di Jawa. Prakoso Heryono menanam 20 diamond river dan 50 pingpong di 3 lokasi di Demak. Di Blitar, Jawa Timur, sejak setahun silam Triman menanam lengkeng introduksi itu di lahan seluas 1 ha.
Itu belum termasuk 1—2 pohon milik para hobiis. Sebut saja 3 pohon pingpong di kediaman Suko Budi Prayogo di Manyaran, Semarang. Tanaman berumur 15 tahun dari biji itu berbuah sejak umur 3—4 tahun. Kualitas buah sama dengan pingpong hasil perbanyakan vegetatif yang ditanam Prakoso. Dari 3 pohon induk itu, Budi lantas membibitkan. Hasilnya ia sebarkan kepada para tetangga di sekeliling rumah. Kini kehadiran tanaman berdaun menggulung itu bukan pemadangan aneh di halaman-halaman rumah di Manyaran.
Jenis sama juga menghiasi halaman rumah Anny Manegeng di Krian, Sidoarjo. Di lokasi berketinggian 1 m dpl itu, pingpong tumbuh subur. Daunnya rimbun dengan dahan “berlarian” ke sana ke mari. Waktu wartawan Trubus, Syah Angkasa, berkunjung ke sana tanaman berumur 4 tahun itu baru selesai berbuah.
Kondisi itu bertolak belakang dengan penanaman lengkeng di sentra Tumpang, Malang. Menurut Khusairi, salah seorang pekebun, anggota keluarga Sapindaceae itu kini cenderung ditinggalkan. Banyak pemilik menebang pohon lantaran produktivitas dan harga jual rendah. Pohon tersisa dibiarkan tumbuh tanpa perawatan.
Bibit laris-manis
Lantaran rajin berbuah dan genjah—umur 2 tahun sudah berbuah—temanteman Anny sesama penganggrek tertarik menanam. Dengan pesanan 200 bibit, pemilik RR Orchid itu lantas bertandang ke Thailand pada 2002. Apa lacur, bibit urung dibeli lantaran pingpong masih terlarang keluar negeri Siam.
Teman-teman Anny kini boleh berharap pada para penangkar lokal yang mulai getol membibitkan. Di Pontianak setidaknya ada 5 penangkar. Prakoso pun masih lebih banyak menuai pucuk untuk entres ketimbang buah. Pilihan itu wajar lantaran permintaan bibit deras mengalir.
Putra mantan Kapolres Demak itu sanggup memproduksi 1.000 bibit diamond river dan pingpong per tahun. Padahal dalam kurun waktu sama order mencapai 20.000 batang. Permintaan itu datang dari Tasikmalaya, Sumedang, Yogyakarta, Jember, dan Banyuwangi. Untuk memenuhinya, tahun depan ia berencana meningkatkan produksi 3—5 kali lipat.
Itu pula yang dialami Baharuddin, BSc. Setahun silam penangkar senior di Pontianak itu menjual 2.000 bibit. Delapan belas pot semen berdiameter 40 cm dibiarkan teronggok di nurserinya karena tak sempat diisi tanaman karena bibit diminta pembeli sebelum masuk pot.
Tanpa kendala?
Hampir semua pekebun sepakat, lengkeng introduksi termasuk tanaman bandel. Tanpa perlakuan khusus, tanaman berbuah. Padahal batang lengkeng “konvensional” perlu dikerok dan akar dipangkas rutin agar mau berbunga.
Hama dan penyakit praktis tidak ditemukan. Paling-paling kelelawar yang jadi musuh utama saat tanaman berbuah. Buah matang menyebarkan aroma harum yang menarik minat satwa malam itu. Untuk mengatasinya Mulyono membrongsong satu per satu dompol dengan jaring. Trubus melihat, jaring serupa dipakai untuk mengerudungi pohon pingpong setinggi 3 m yang sedang saratbuah. Sementara Prakoso memanfaatkan brongsongan seperti pekebun di sentra lengkeng dataran tinggi.
Itu bukan berarti penanaman lengkeng di dataran rendah tanpa kendala. Harga bibit terbilang mahal, salah satu batu sandungan. Bibit diamond river hasil perbanyakan sambung pucuk berumur 6 bulan setinggi 40—50 cm dibandrol Rp40.000—Rp50.000. Pingpong lebih mahal lagi. Prakoso menjual tanaman setinggi 40—70 cm dari perbanyakan susuan Rp100.000—Rp200.000. Maklum jumlah pohon induk masih terbatas sehingga produksi bibit tak bisa massal.
Mencoba alternatif lain, mendatangkan bibit dari luar negeri, berarti merogoh kantong lebih dalam. Harga bibit diamond river setinggi 40—50 cm di TG Nursery milik Stevenson Chia, RM15 setara Rp37.500. Bibit itoh, RM25 (Rp62.500) per batang. Itu belum termasuk ongkos kirim. Nilai jual diamond river sudah lebih murah ketimbang pertama kali Mulyono datangkan. Pada 2000, bibit serupa dijual RM100 atau lebih dari Rp100.000.
Mengimpor bibit pun berisiko tinggi. Lie Ay Yen, pekebun di Semarang rugi ratusan juta rupiah gara-gara ribuan bibit diamond river dari Taiwan, Cina, Malaysia, dan Thailand mati. Kesalahan penanganan selama di perjalanan dan kondisi lingkungan tidak sesuai diduga biang penyebab (baca: Ratusan Juta Demi Lengkeng, halaman 16).
Ratusan Juta Rupiah
Menanam lengkeng tak selalu semanis buahnya. “Saya ‘babak-belur’ gara-gara lengkeng,” sambat Lie Ay Yen, pekebundi Semarang. Betapa tidak, 1.200 bibit diamond river yang didatangkan dari Taiwan, Cina, Malaysia, dan Thailand, tak satu pun hidup. Pertama kali mendatangkan pada Juli 2002, bibit setinggi 40 cm sempat ditanam di lahan. Ia senang melihat tunas tumbuh.
Kebahagiaan itu hanya sesaat. Tak lama tanaman mati. Pengalaman serupa ia alami waktu mendatangkan bibit kali berikutnya. Padahal untuk mempertahankan si sungai berlian itu Lie Ay Yen mendatangkan konsultan dari Malaysia. Supaya pasokan air terjamin, ayah kandung politikus Alvin Lie itu memasang fasilitas penyiraman menggunakan sprinkler. Apa lacur, ratusan juta rupiah melayang juga.
Disungkup
Hal sama dialami William Halim di Bumi Serpong Damai, Tangerang. Dua ratus bibit mati sia-sia sebelum sempat ditanam karena salah pengangkutan.
Meski begitu, Lie Ay Yen tak patah arang. Januari 2003, ayah 3 anak itu kembali mendatangkan 500 diamond river dari negeri Gajah Putih. Kali ini separuhnya terselamatkan berkat tangan dingin Prakoso Heryono, penangkar di Demak. Oleh Nonot—sapaan akrab Prakoso—bibit asal cangkok itu dimasukkan dalam sungkup sebelum ditanam. Selang sebulan bibit sudah segar dan siap dipindahkan ke lokasi penanaman di halaman rumah.
Bahan tanaman dari mancanegara kebanyakan memang berupa bibit cangkok. Bibit dengan perbanyakan vegetatif itu mudah mati lantaran akar terlalu muda. Akibatnya begitu dipindah ke lahan ia belum sanggup mencari makanan. Teknik Nonot adalah jalan keluarnya.
Kini total 250 diamond river dan 50 pingpong mengisi halaman seluas 1 ha. Itu di luar 500 sungai berlian lain yang siap tanam. Lahan seluas 20 ha pun disiapkan untuk penanaman berikutnya. Kerugian ratusan juta rupiah terasa hilang begitu menuai panen perdana pada penghujung Februari silam. (Bertha Hapsari)