Di bawah tangga, pria lain bertopi merah menampung buah dalam keranjang-keranjang plastik. Selesai di pohon pertama, mereka bergerak ke pohon lain yang juga sarat buah.
Penghujung Agustus silam, kebun lengkeng seluas 7 ha di Sijangkung, Singkawang, Kalimantan Barat, itu memang tengah banjir buah. Bulatan-bulatan berwarna cokelat kekuningan nyaris menenggelamkan hijaunya daun. Itulah diamond river, varietas lengkeng asal Cina yang bibitnya dibawa dari Serawak pada akhir 2000.
Saking saratnya buah, masing-masing pohon disangga kayu soma agar dahan tak patah. “Dari satu pohon minimal dapat 1 kuintal,” kata Ir Hendrik Virgilius, MS, pengelola kebun sambil menunjuk satu pohon yang keberatan buah. Kondisi menyejukkan mata itu kontras dengan lingkungan sekitar. Tanah berkapur nan miskin hara melulu ditumbuhi ilalang.
Setelah penuh buah, 3 keranjang hasil panen dibawa ke sudut kebun. Masih berpeluh, dua pekerja mengemas buah. Tangkai-tangkai terlalu panjang dipotong, daun dibuang, lalu lengkeng ditata rapi dalam dus karton. Setelah ditutup rapi, dus siap diangkut oleh jasa ekspedisi. “Ini untuk pengiriman ke pelanggan di Pontianak yang memesan 30 kg,” kata salah seorang pria. Padahal beberapa hari lalu mereka juga baru menuai lengkeng untuk pelanggan lain. Meski tanpa promosi, setiap hari selalu ada order dari konsumen. Rata-rata memesan 10 kg.
Impas
Hendrik menghitung, sejak panen pada akhir Agustus hingga pertengahan September dipetik 1.278 kg lengkeng dari 285 tanaman produktif. “Besok dipanen 80 kg yang sudah dipesan pelanggan. Yang tersisa di pohon sekitar 250 kg,” kata master dari sebuah universitas di Filipina itu. Dengan harga jual Rp9.000 per kg, berarti pada musim panen ini diperoleh pendapatan Rp14,5-juta.
Tahun depan, koceknya dipastikan kian menebal lantaran produksi terus meningkat. Dengan asumsi biaya rata-rata Rp13-juta per tahun, mantan peneliti padi itu menuai keuntungan Rp66-juta pada tahun ke-3 penanaman. (baca: Hitung Untung Lengkeng, halaman 19). Titik impas pada tahun ke-2 setelah panen terbilang spektakuler untuk usaha kebun buah-buahan.
Padahal angka itu belum memperhitungkan “kerugian” akibat buah berjatuhan lantaran kelewat matang atau digasak codot. Diperkirakan jumlahnya mencapai 400—500 kg. Kini di penghujung panen, bunga-bunga berwarna putih yang menebarkan aroma harum bermunculan kembali. Hendrik memprediksi pada akhir tahun, buah-buah lengkeng bakal kembali dituai.
Pemandangan serupa Trubus temukan di kebun Mulyono Sutedjo, juga di Sijangkung. Di sana buah di pohon-pohon berumur 3,5 tahun diselimuti jaring hitam. Itu untuk menyelamatkan dompolandompolan lengkeng dari serbuan kelelawar. Dari setiap pohon mantan pengusaha kayu itu memanen 25 kg. Di kebunnya di kaki Bukit Passi, terdapat 100 pohon diamond river yang serempak berbuah.
Lantaran lengkeng introduksi itu panen raya 2 kali setahun, berarti produktivitas per tahun mencapai 50 kg per pohon. Total panen hingga akhir tahun mencapai 5.000 kg. Sama seperti Hendrik, pria yang fasih 6 dialek bahasa Mandarin itu memasarkan lengkeng ke konsumen langsung. Harga dipatok Rp10.000 per kg.
Sabang—Merauke
Kebun lengkeng spektakuler seperti di atas sebentar lagi bakal ditemukan di daerah-daerah lain. Sebut saja Sani yang menanam 100 diamond river dan pingpong di Cianjur. Tiga bulan silam tanaman berumur 1 tahun itu mulai berbunga. Namun, saat buah masih pentil dirontokkan. “Khawatir kalau tanaman diforsir berbuah terlalu cepat, nantinya malah mati karena kehabisan energi,” tutur karyawan Pemerintah Kota Karawang itu. Dengan perlakuan seperti itu, Sani berharap tahun depan dituai panen lebih banyak.
Nun di Lampung Timur, sejak pertengahan tahun Kasem Usman menanam 50 lengkeng pingpong. Rencananya jumlah itu terus ditambah hingga mencapai 1 ha atau 100 pohon dengan jarak tanam 10 m x 10 m. Motivasi pekebun durian dan belimbing itu jelas: meniru kesuksesan Hendrik dan Mulyono di Singkawang.
Hasil lacakan Trubus menunjukkan penanaman lengkeng kini tersebar nyaris di seluruh wilayah Indonesia. Selain yang disebutkan di atas, kebun-kebun baru juga bermunculan di Sukabumi, Sumedang, Tasikmalaya, Bengkulu, Palembang, Palangkaraya, dan Pontianak.
Menurut informasi seorang penangkar, beberapa pekebun salak di Sleman, Yogyakarta, berniat “menyulam” Salacca edulis itu dengan lengkeng. Selain pekebun, banyak pula hobiis yang menanam 1—2 pohon di halaman rumah. Prakoso Heryono, penangkar di Demak, mendapat pesanan dari hobiis di Aceh hingga Papua.
Terus naik
Bukan tanpa alasan mereka tertarik mengebunkan lengkeng. Diamond river dan pingpong yang ditanam adaptif di dataran rendah, mulai 0—300 m dpl. Padahal dahulu anggota famili Sapindaceae itu hanya tumbuh di dataran tinggi, di atas 700 m dpl dan berudara sejuk. Sebut saja Ambarawa, Pringsurat, dan Bandungan yang merupakan sentra di Jawa Tengah.
Selain itu, kedua lengkeng introduksi—diamond river asli Cina; pingpong, Vietnam—berumur genjah dan produktif. Produksi perdana diamond river di kebun Hendrik pada umur setahun mencapai 5 kg per pohon. Jumlah itu naik menjadi 10 kg, 15 kg, dan 20 kg pada panen ke-2, 3, dan 4 pada tahun ke-2. Pada panen ke-5, 6, dan 7 pada tahun ke-3 melonjak menjadi 25 kg, 30 kg, dan 35 kg. Di atas umur 7 tahun produksi mencapai 200 kg per pohon per tahun.
Menurut pengalaman para pekebun, kedua varietas itu berbuah tanpa perlakuan khusus. Bandingkan dengan lengkeng lokal yang baru berbuah di atas 10 tahun di daerah sentra. Itu pun kadang mesti dipaksa dengan mengelupas kulit batang. Di luar sentra, lengkeng lokal kerap tak berbuah. (baca: Lonceng Kematian Lengkeng Purba, halaman 24)
Dengan segudang kelebihan itu, pantas Lie Ay Yen berencana menanam kerabat leci itu seluas 25 ha di Desa Limbangan, Boja, Kendal. “Untuk tahap pertama ditanam akhir tahun ini seluas 5 ha,” kata eksportir hortikultura itu. Tekadnya kian bulat lantaran ujicoba penanaman di halaman rumah sukses.
Kewalahan
Tergila-gilanya orang pada lengkeng dataran rendah tercermin pada penjualan bibit. Dari 10 penangkar di berbagai daerah yang Trubus hubungi, semua mengaku kewalahan. Sekadar contoh, 300 bibit di kebun penangkaran Arumdalu di Cileungsi, Bogor, ludes dalam sebulan. Hal serupa juga dialami Edi Sumarno di Pekalongan, Lampung Timur. Dalam hitungan 5 bulan 1.000 bibit lengkeng pingpong habis diserbu pembeli. Kini ia tengah menyiapkan 500 bibit untuk memenuhi permintaan calon-calon pekebun di Bumi Ruwai Jurai itu.
Pada pameran Flora dan Fauna di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Agustus silam, gerai penangkar lengkeng pun dibanjiri pengunjung. Selama pameran Prakoso minimal mendapat pesanan 700 bibit dari 7 calon pekebun. Itu belum termasuk hobiis yang membeli 1—2 bibit. Hal sama dialami Mubin Usman, pemilik Wijaya Tani dan Yanto dari Kebun Joglo.
Yang paling diincar pembeli ialah itoh. Varietas itu diyakini lebih baik ketimbang 2 pendahulunya. Daging buah tebal, biji kecil, kering, dan manis. Produktivitas pun tinggi. Di Thailand, itoh menguasai sekitar 3/4 populasi penanaman lengkeng. (baca: Itoh = E daw, halaman 28)
Selain ketiganya, penangkar juga menyediakan jenis-jenis teranyar lain. Misal satu jari, kristalin, si chompu, dan biew kiew. Di Lampung, Sugiri juga memperkenalkan lengkeng genjah yang ditangkarkan dari pohon induk di Palembang. (baca: Lima Terbaru Pengumpan Laba, halaman 48)
Substitusi impor
Harga bibit terbilang mahal. Bibit diamond river dan pingpong pada pameran di Lapangan Banteng berkisar Rp150.000—Rp200.000 setinggi 30—50 cm. Di tingkat penangkar, misal Baharuddin di Pontianak, diamond river setinggi 50 cm dibandrol Rp50.000. “Di sini produksi sudah banyak,” tutur penangkar senior itu. Lantaran terbilang baru, harga itoh meroket hingga Rp350.000. Toh, harga tinggi tidak mengendurkan niat para pekebun dan hobiis. Maklum hasil panen dari kebunkebun lokal diharapkan mampu menggantikan impor.
Selama ini devisa negara memang banyak tersedot untuk mendatangkan lengkeng segar impor, terutama Thailand. Besarnya impor tergambar dari kian “membanjirnya” lengkeng di gerai-gerai pasar swalayan hingga pedagang kakilima. Makro, misalnya. Sejak Februari, toko rabat waralaba dari Belanda itu memasukkan 4 kontainer per bulan. Itu setara 88 ton yang dibagikan ke 14 outlet di seluruh Indonesia. Jumlah itu melonjak 2 kali lipat bila Makro sedang mengadakan promosi. Sebelumnya, volume impor hanya 1 kontainer per bulan.
Kendala
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik, Dr Ir Mohamad Reza, MS, menghitung jika kebutuhan impor dipasok oleh pekebun lokal maka dibutuhkan 400.000 tanaman produktif. Itu dengan asumsi populasi 1 ha mencapai 100 tanaman dan produktivitas pada tahun ke-3 mencapai 100 kg per pohon. Prakoso memproduksi saat ini sekitar 10.000 bibit diamond river dan pingpong tertanam. Berarti masih terbuka peluang mengebunkan.
Namun, meski lengkeng genjah relatif mudah ditanam, bukan berarti pekebun tak menemui kendala. Kala panen dari 100 tanaman pingpong di kebunnya di Blitar, Tryman Sutandya menuai kecewa. “Ukuran buah memang besar, tapi bijinya besar juga sehingga daging terlihat tipis,” tuturnya. Walau belajar berbuah sejak berumur 8 bulan, produktivitas pingpong relatif rendah dibanding diamond river. Maklum tajuk pingpong cenderung nglancir dan memanjang dengan sedikit cabang. Padahal buah lengkeng lazimnya muncul di ujung cabang.
Kejadian itu mengurungkan niat untuk memperluas penanaman. “Saya mau cari cara dulu untuk memperkecil ukuran biji,” lanjutnya. Menurut Reza, itu bisa dilakukan dengan menyemprot hormon tertentu. Itu pernah diujicoba pada tanaman jambu biji.
Diamond river yang lebih produktif pun memiliki kelemahan. Daging buah masih terlalu becek. Makanya kini para pekebun memilih menanam itoh yang produktif, berdaging kering, manis, dan biji kecil. Sayangnya, ia lebih lambat berbuah dan lebih cocok ditanam di dataran menengah. Di dataran rendah, perlu disemprot hormon tertentu untuk memicu pembungaan.
Pintu karantina
Batu sandungan lain, ketersediaan bibit. Reza menghitung, kekuatan produksi para penangkar di Jakarta, Demak, Lampung, dan Pontianak paling 20.000 bibit per tahun. Itu masih jauh dari kebutuhan calon pekebun baru untuk mensubstitusi lengkeng impor. Harga bibit rata-rata di atas Rp100.000 pun terbilang mahal. “Idealnya di bawah Rp50.000 per bibit,” kata Prakoso. Harga diperkirakan baru akan turun 3—4 tahun ke depan.
Jalan keluar, pekebun mengimpor sendiri bibit dari Thailang, Malaysia, atau Vietnam. Toh, itu pun bukan tanpa rintangan. Lie Ay Yen “kebobolan” jutaan rupiah lantaran 2.000 bibit diamond river dan pingpong yang diimpor bertahap mati. Musababnya, bibit yang didatangkan dari Taiwan, Malaysia, Cina, dan Thailand kehabisan hara selama pengiriman menuju Indonesia. Bibit dikirim tanpa media. Setiba di tanah air, lengkeng belum bisa langsung ditanam lantaran tertahan di Badan Karantina untuk pengecekan hama dan penyakit.
Ayah 4 anak itu tak hilang akal. Untuk memperpendek waktu, ia lantas berangkat sendiri membeli bibit ke negara produsen bersama beberapa pegawai. Bibit “ditenteng” berbarengan dengan kepulangan ke Indonesia. “Biaya bibit jelas jadi mahal,” katanya. Dengan cara seperti itu harga sebuah bibit ratarata Rp200.000. Makanya kini Lie Ay Yen memilih membibitkan sendiri dari pohon yang selamat tertanam. Impor bibit dilakukan untuk mendapatkan jenis-jenis baru.
Masih kurang
Bila pekebun berhasil memanen buah, maka pasar pun terbentang luas. Memang para pioner kini baru memasarkan lengkeng ke konsumen langsung. Mulamula kerabat dan relasi dekat yang menjadi pelanggan. Lantas berdasarkan informasi dari mulut ke mulut konsumen pun bertambah. Toh, mereka tak pernah kesulitan memasarkan. “Konsumen yang sudah mencicipi lengkeng dari kebun, tak mau lagi beli yang impor,” kata Hendrik. Wajar lantaran lengkeng dari kebun lebih segar.
Pasar swalayan pun siap menampung. “Kalau kualitas lengkeng dataran rendah lokal bisa sesuai dengan standar kami, ada peluang untuk menggantikan impor,” tutur V Danik Wrestiningsih, merchandise manager PT Makro Indonesia. Pasokan dari pekebun lokal bakal menghemat biaya pengiriman yang cukup besar, US$15.000 per kontainer. Di Pontianak, pasar swalayan Arumanis mulai menjajakan hasil panen pekebun di Singkawang.
Kekhawatiran lengkeng dari kebun lokal bakal membanjir sehingga tak tertampung ditampik Prakoso. Menurut data dari seorang importir di Jakarta Utara, kebutuhan di Jakarta mencapai 8—10 ton per minggu. Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing 6—7 ton dan 8 ton. Katakanlah 10.000 bibit yang sudah tertanam berproduksi serempak 5 tahun mendatang. Produksi per pohon 100 kg per tahun. Berarti dituai 1.000 ton lengkeng.
Sementara kebutuhan untuk memasok Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur mencapai 1.188 ton per tahun. Itu belum memperhitungkan kebutuhan konsumen di luar 3 provinsi itu. Lagipula masih terbuka peluang untuk mengolah kerabat rambutan itu menjadi manisan dalam kaleng atau dikeringkan sebagai obat.
Kini di saat 300 tanaman di halaman rumah terus berbuah, angan Lie Ay Yen melayang ke masa depan. Nun di Limbangan 5 tahun ke depan, itoh, diamond river, dan pingpong di kebunnya seluas 25 ha berbuah lebat. Buah-buah nan ranum siap dipetik untuk memasok pasarpasar di seputaran Jawa Tengah. Puluhan wisatawan pun datang ke kebun menikmati musim raya si mata naga. (Evy Syariefa/Peliput: Fendy R Paimin, Karjono, Pupu Marfu’ah dan Nyuwan S)
Rp1.000 per Senti
Sebanyak 500 bibit lengkeng pingpong dan diamond river di kebun penangkaran Multi Tanaman Utama ludes dalam sebulan. Kini Manta, pemilik kebun, kewalahan memenuhi 2.000 bibit dari pedagang yang menjadi pelanggan.Sejumlah pembeli malah sudah memberi panjar meski batang bawah baru mulai disusukan ke tanaman induk. Mereka tak peduli meski harga dipatok Rp1.000 per cm. Padahal sebelumnya Manta sempat mengobral bibit setinggi 50 cm Rp20.000—Rp35.000 lantaran tidak laku.
Kondisi itu setali 3 uang dengan yang dialami Edy Susanto dari Arumdalu. Usai mengikuti pameran Flora dan Fauna di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, ia kebanjiran permintaan. “Total 300 bibit yang dipesan,” kata Edy. Sementara 150 bibit yang ia bawa di pameran ludes. Kini demi memenuhi pesanan, ia menggenjot pembibitan. Bibit diproduksi dengan menyusukan batang bawah pada induk berupa bibit dalam polibag setinggi 1,5 m.
Miliader
Lima bulan belakangan lengkeng introduksi memang tengah naik daun. Sifat genjah, rajin berbuah, dan adaptif di dataran rendah yang panas memikat para penggemar buahbuahan. Hampir setiap waktu dering telepon terdengar di kediaman Prakoso Heryono di Demak. Itu dari para hobiis yang meminta dikirimi bibit si mata naga. Itu belum termasuk order melalui pesan pendek di telepon genggam.
Beberapa hobiis bahkan nekat datang langsung ke kebun. Seorang hobiis sengaja terbang dari Lokhseumawe, Nangroe Aceh Darussalam, ke Demak hanya untuk mendapatkan 4 bibit. Suatu ketika Prakoso kedatangan petani dari Madura yang menghabiskan waktu 10 jam perjalanan demi membeli 1 bibit dari uang yang dikumpulkan. “Kalau mengikuti keinginan konsumen, saya bisa jadi miliader,” kata pria berkumis itu.
Lantaran bibit terbatas, alumnus Universitas Islam Sultan Agung itu mesti menebalkan telinga mendapat protes dari mereka yang tak mendapat jatah. Demi memenuhi permintaan pula ia mengimpor itoh dari Thailand. Maklum belum ada pohon induk di tanah air. “Selama 20 tahun saya menerjuni penangkaran bibit, baru kali ini ada buah yang mendapat respon masyarakat begitu banyak,” tuturnya. Sayang Prakoso bukan Bandung Bondowoso yang bisa “memahat” seribu bibit dalam semalaman. Hobiis perlu bersabar menanti bibit siap dipasarkan. (Evy Syariefa/Peliput: Fendy R Paimin)