Pekebun di Thailand menuai 31 kg lengkeng per pohon, hampir dua kali lipat produksi lengkeng di Indonesia.
Sebuah sedan Honda City I-vtec, terparkir di pelataran rumah kayu di Ban Phan Peau, Thailand. “Saya membelinya dari hasil jual lengkeng yang ditanam di belakang rumah,” ungkap Chaipipat Jitkasitkorn. Ia menggunakan mobil sedan itu hanya untuk keperluan keluarga. Sementara untuk urusan berkebun, ia menggunakan mobil bak semiterbuka yang juga masih mulus.
Kedua mobil itu dibeli dari hasil penjualan lengkeng dari kebun seluas 10 rai atau 1,6 ha. Sebagai petani, kehidupan Chaipipat memang cukup sukses. Selain kedua mobil bagus itu, rumahnya pun lumayan besar, meski sederhana. Padahal, pria 68 tahun itu mengaku baru menggeluti lengkeng pada 2009. Sebelumnya ia hanyalah penjual kue pie di Bangkok selama 30 tahun.
Pilih phuang thong
Pada 2009 Chaipipat memutuskan berhenti menjual kue, meninggalkan Bangkok, dan pulang kampung ke Samut Sakhon. Ia mencoba peruntungan menjadi petani jeruk dan pisang. Upaya itu gagal karena tanaman tak berkembang. Tiga tahun kemudian, ia mengganti tanamannya dengan lengkeng. “Harga jualnya paling tinggi di antara buah-buahan lain yang bisa ditanam di Samut Sakhon,” ungkap Chaipipat.
Ia mempelajari cara budidayanya dengan membaca buku dan bertanya kepada pekebun lengkeng. Pilihannya menanam lengkeng terbukti tepat. Varietas phuang thong yang berarti tangkai emas mulai berbuah pada umur 2,5 tahun. Ia tidak menanam varietas edow yang saat itu paling banyak ditanam karena kulitnya lebih tipis daripada phuang thong. Dagingnya pun kalah tebal.
Dari 480 pohon phuang thong, ia memanen 15 ton buah atau rata-rata 31,5 kg per pohon berumur 6 tahun. Bandingkan dengan pekebun lengkeng di Indonesia yang hanya menuai 13 kg per pohon berumur sama. Artinya pekebun Thailand memetik 13,3 % lebih besar daripada pekebun di Indonesia. Dengan harga jual 60 baht, ayah 2 anak itu meraup 900.000 baht setara Rp360-juta per tahun.
Pengeluarannya hanya 100.000 baht atau Rp40-juta, sehingga menerima laba bersih Rp320-juta tahun. Chaipipat mendapat harga tinggi lantaran panen di luar musim pada Maret. “Panen raya berlangsung serentak pada Agustus mulai dari Chiang Mai—Samut Songkram,” ungkap Somsak Thongkum, ketua kelompok tani di Ban Phan Peao. Saat itu harga lengkeng di pasaran hanya 10—20 baht per kg atau Rp4.000—Rp8.000/kg.
Pemupukan
Saat Trubus mengunjungi kebun lengkeng di Samut Sakhon itu tidak banyak aktivitas Chaipipat. Panen besar berlalu, tetapi masih tersisa beberapa pohon yang berbuah. Seperti juga kebun lain di dataran rendah, kebun itu memiliki saluran air selebar 2 m di antara bedengan serta mengelilingi kebun.
Di bedengan pohon-pohon lengkeng tumbuh subur. Daun-daunnya panjang dan lebar, serta berwarna segar, tanda sehat. Beberapa pohon baru dipangkas cabang-cabangnya, terutama yang ramping atau tunas liar. Daun-daunnya tidak dibuang karena dimanfaatkan sebagai mulsa alami dan sumber pupuk organik setelah lapuk. Pemberian pupuk dilakukan kakek 5 cucu itu dengan mempertimbangkan fase tumbuh tanaman.
Ia segera memangkas cabang dan ranting pohon yang selesai berbuah untuk peremajaan, sekaligus mempertahankan tanaman tetap pendek dan kompak. Untuk mempercepat tumbuh ranting baru, ia memberi 5 kg pupuk kandang per pohon. Dua bulan kemudian ia memberi pupuk NPK 15:15:15 dengan dosis 0,5 kg per pohon. Pemupukan berikutnya 30 hari berselang berupa NPK 8: 24:24 berdosis 0,5 kg per pohon.
Saat pertumbuhan sehat, ia merangsang tanaman berbuah dengan memberikan 300 gram potasium klorat per pohon. Bila pohonnya kecil, dosis lebih rendah yakni 100—200 g. Cara pemberiannya dengan melarutkannya dalam 2—3 liter air lalu disiramkan ke bawah tajuk. Setelah itu ia tidak memberikan pupuk lagi. Sebulan kemudian tanaman memunculkan pucuk baru dan tunas bunga.
Chaipipat memberikan pupuk NPK 25:7:7 setelah ukuran buah sebesar kacang hijau. Ia lantas menyeleksi buah dengan mengurangi 40—50% buah. Tujuannya, memperbaiki kualitas buah, yaitu ukuran besar dan seragam. Bila bunganya lebat sekali, maka pemberian pupuk dilakukan setiap bulan hingga bulan ke-6 sejak perangsangan. Pada pemupukan terakhir, Chaipipat memberi NPK 13:13:21 agar buah membesar.
Panen
Para pekebun lengkeng di Thailand tidak membungkus buah. Chaipipat mengatasi serangan kelelawar dengan memasang jaring tipis di sekeliling kebun. Minimnya serangan kelelawar juga ditunjang oleh waktu panen tanaman buah yang seragam. Artinya, mamalia terbang itu tidak terkonsentrasi menyerang lengkeng di kebun Chaipipat saja, tetapi ke kebun buah lain di sekitarnya.
Chaipipat mengerjakan sendiri hampir semua pekerjaan seperti menanam, menyiram, memupuk, dan memangkas dahan. Ia hanya mengambil tenaga kerja harian saat panen karena perlu gerak cepat untuk mengangkutnya. Pun tidak perlu membuat pagar lantaran kebun aman dari pencurian. Satu-satunya kendala yang dihadapi ialah serangan embun jelaga yang membuat buah menghitam sehingga tidak layak jual.
Hama akibat kutu putih yang bersimbiosis dengan semut merah itu momok bagi pekebun buah di daerah tropis. Chaipipat mengatasinya dengan memangkas tangkai buah yang terserang. “Penyemprotan pestisida tidak dilakukan lantaran tidak bagus,” ungkapnya. Menurut Wiwik Widjayahadi, pakar hama dan penyakit di Yogyakarta, embun jelaga bersarang di buah lengkeng lantaran kondisi mikro lembap dan hangat. (Syah Angkasa)