
Trubus — Sepasang mata Akhmad Wijaya menatap kanopi pohon setinggi lebih dari 10 meter itu. Buah sebesar bola tenis meja menghiasi ujung-ujung cabang. Jika buah matang sudah banyak, Akhmad menyuruh orang untuk memetik. “Sebaiknya dipetik ketika tua di pohon tapi belum jatuh,” katanya. Kalau sudah jatuh, buah terlalu kering sehingga kandungan bahan bergunanya justru minimal.
Akhmad tidak membahas buah jambu atau mangga. Ia bicara soal buah lerak Sapindus rarak. Buah itu tumbuh liar di ketinggian 800—1.500 m di atas permukaan laut (dpl) di Kecamatan Kapongan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. “Kebanyakan membiarkan pohon itu tumbuh di lahan karena kayunya sekelas jati,” katanya. Pohon biasanya ditebang ketika berumur minimal 15 tahun. Jika tidak segera memerlukan atau untuk mendapatkan lingkar lebih besar, orang membiarkan pohon kerabat lengkeng itu tumbuh begitu saja. Tidak memanfaatkan, pun tidak merawat.

Buah yang jatuh tumbuh menjadi pohon baru. Begitulah pohon kerabat rambutan itu tumbuh meluas. Masyarakat yang menanam kopi pun membiarkan pohon anggota famili Sapindaceae itu tumbuh di antara pohon kopi lantaran berfungsi sebagai peneduh. Menurut Akhmad pemanfaatan lerak oleh masyarakat lokal Kabupaten Situbondo dan Bondowoso, Jawa Timur—tempat ribuan pohon lerak tumbuh liar—hanya sebatas penaung maupun bahan bangunan.
Padahal rerak—sebutan buah itu oleh etnis Melayu—sejak lama menjadi bahan membuat sabun pencuci batik di keraton Surakarta maupun Yogyakarta. Kebiasaan itu diteruskan warga Sleman, Yogyakarta, Eko Yuningsih. Ia memproduksi sabun lerak untuk mencuci batik maupun pakaian berpewarna bahan alam. Naning, demikian panggilan perempuan 52 tahun itu, mengolah lerak menjadi “detergen” alami sejak 2009. Ia belajar dari bibinya yang tinggal di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Muninggar Sutadi.
Muninggar yang pernah menjadi staf di sebuah lembaga negara di Jakarta terbiasa membuat sendiri sabun lerak untuk mencuci batik-batik tulis koleksi negara. Keahlian itu membuat ia kerap meladeni permintaan sabun lerak pejabat negara. Setelah purnatugas dan menetap di Ungaran pada 2005, Muninggar mengisi waktu dengan membuat sabun lerak. Ia memberi merek Ronsari.

Naning menerapkan ilmu dari sang bibi untuk memproduksi sendiri sabun lerak di sela kesibukan sebagai anggota staf administrasi Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD, Yogyakarta. Ia memberi merek produknya RonsariNL. Adik kandung Nanik yang berbisnis batik di Kota Semarang, Jawa Tengah, juga membuat sabun lerak untuk memenuhi permintaan konsumen. Sang adik memberi nama produknya RonsariCC.
Naning mengandalkan pasokan lerak dari Akhmad. Hubungan bisnis keduanya terjalin pada 2011 ketika Akhmad iseng menjual buah lerak milik tetangganya yang gagal ekspor karena tidak memenuhi syarat. Melalui gerai daring (online) itulah mereka bertransaksi. Namun, hubungan bisnis tidak seketika terjalin lantaran saat itu Akhmad menjual lerak berkualitas tidak memenuhi standar. Naning lantas mengajari Akhmad tentang parameter baku lerak untuk membuat sabun.

Waktu itu Akhmad menawarkan lerak untuk memenuhi permintaan eksportir di Bali. Namun, sang eksportir menolak lalu mengembalikan kiriman kali itu lantaran buah muda. Setahu Akhmad negara tujuan meminta buah tua. Begitu datang buah panen muda, pembeli kapok dan mendenda sang eksportir. Kerja sama itu akhirnya kandas. “Paling ideal buah tua yang belum jatuh. Kalau sampai jatuh, kandungan pentingnya jauh berkurang,” kata Akhmad.
Akhmad menyesuaikan kualitas lerak sesuai dengan permintaan Naning dan keluarga. Ia hanya menjual buah tua. Naning sempat mencoba pasokan dari daerah lain, di antaranya Mandailingnatal, Sumatera Utara dan Wonosobo, Jawa Tengah. Sayang, lerak dari kedua daerah itu tidak memenuhi syarat. Mandailingnatal mengirim buah muda, sementara lerak asal Wonosobo berkualitas rendah. Alih-alih berbuih, lerak asal Wonosobo justru mengeluarkan gumpalan ketika dipotong.

Menurut Naning kandungan utama buah tua lerak yang berguna sebagai sabun adalah saponin. Kandungan saponin optimal ketika buah matang. Kandungan saponin buah muda justru minim. “Saponin dalam buah lerak mempertahankan pigmen dari pewarna alam sehingga warnanya makin tegas,” kata ibu 2 anak itu. Hal Itu berkebalikan dengan detergen yang berbahan dasar soda alias natrium. Makin sering dicuci dengan detergen, warna pakaian kian pudar. Orang jadi tidak punya pilihan selain membeli pakaian baru.
Sabun lerak buatan Naning hanya berbahan sari lerak dan air. Ia tidak menambahkan soda api sama sekali. Cirinya, “Ketika larutan sabun diaduk dengan tangan, buihnya tidak bertambah banyak,” ujar alumnus Program Studi Ilmu Komunikasi STPMD APMD, Yogyakarta itu. Jika dalam pembuatannya ada penambahan soda api, air sabun lerak langsung berbuih layaknya detergen. Ketika menawarkan produknya ke sebuah gerai batik tersohor di Kota Yogyakarta, beberapa hari berselang gerai itu langsung meminta kiriman ulang.
Pemilik gerai batik itu menunjukkan cara menguji “keaslian” sabun lerak selain buih. Jika ditiup, buih sabun lerak nonsoda api langsung pecah sementara sabun yang mengandung soda api akan membentuk balon lazimnya balon sabun dari cairan warna warni untuk mainan anak di pasar malam. “Mereka bilang sabun lerak buatan saya bagus dan minta kiriman ulang 100 botol,” ujar Naning. Selain gerai batik, perajin perak di Kecamatan Kotagede, Yogyakarta juga menggunakan sabun lerak buatannya.

Setiap bulan Naning memasarkan 700—800 liter sabun lerak dalam kemasan 250 ml, 500 ml, dan 5 liter. Ia menggunakan botol berbobot kosong 35 gram lantaran botol yang lebih tipis kerap jebol. “Bahan alam mengalami fermentasi sehingga menghasilkan gas. Kalau botolnya tipis akan bocor,” ungkap anak ke-3 dari 5 bersaudara itu. Total kebutuhan buah lerak 3 perempuan produsen sabun lerak itu 2—3 ton tiap tahun. Seluruhnya mengandalkan kiriman dari Akhmad.
Selain memasok buah lerak untuk Naning dan keluarga, Akhamad juga memasok produsen di salah satu kota di Jawa Tengah. Sekretaris koperasi Surya Abadi Kayumas, Kabupaten Situbondo, itu, setiap tahun mengirim 3—4 ton lerak. Jumlah itu jauh di bawah potensi. Seorang rekan Akhmad di Bondowoso pernah menghitung, potensi produksi buah lerak di sana mencapai 30 ton per tahun. Kalau ditotal dengan potensi Situbondo, estimasi Akhmad angkanya lebih dari 60 ton per tahun.

Sayang, sebagian besar potensi itu membusuk dan kembali ke tanah. Padahal, “Pohon lerak jagoan menyerap karbon dan mempertahankan granulasi tanah,” kata periset di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong, Kabupaten Bogor, Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo. Buah kecil menandakan pohon mempergunakan sebagian besar karbon untuk membentuk biomas. Perakarannya efektif menahan tanah di lereng curam sehingga mencegah longsor.
Kanopi dengan daun lebat “mengerem” air hujan dari langit sebelum menghantam tanah sehingga meminimalkan erosi percik (splash erotion). Saat ini pemanfaatan paling banyak baru sebatas pengganti detergen. Padahal buah lerak juga efektif menyembuhkan luka menahun (maaf, borok, red.) seperti pengalaman putra Naning (baca boks “Rarak Penyembuh Luka”). Potensi lerak terbuka menanti sentuhan.
Memijat Lerak Memanen Sabun
Cara membuat sabun pencuci baju dari lerak sangat mudah. Ibu rumah tangga dan wirausahawan di Yogyakarta, Sulistyoningtyas menyiapkan seliter air dalam baskom lalu merendam 10 buah lerak semalaman. Pada keesokan hari lerak melunak. Ia memijat buah berkali-kali dengan ujung jari hingga mengeluarkan buih. Ia melakukan hal itu berulang-ulang sampai keluar banyak buih. Selain itu ia menambahkan irisan jeruk nipis.
Hasilnya lerak yang beraroma masam malah makin tajam. Piring hasil cucian dengan “sabun pijat” itu bersih kesat tidak kalah dengan sabun cuci piring komersial. Meski memerlukan waktu lebih untuk membuat alih-alih membeli sabun cuci di warung, Sulis lebih puas. Sabun “cap dapur” itu juga ramah lingkungan karena mudah terurai sehingga tidak mencemari sumber air. (Argohartono Arie Raharjo)