Niigata sejak medio 1990-an memang menjadi tujuan Fajar Surya berburu koi. Selain hasil ternakan cukup berkualitas, harga pun bersaing dengan farm-farm koi di selatan Jepang seperti di Provinsi Fukuoka. Maklum, Niigata sudah kesohor sebagai sentra penghasil koi terbesar. Setidaknya 60% pasokan ekspor koi asal Negeri Sakura berasal dari provinsi di utara Jepang itu.
Fajar terakhir mengambil koi beragam ukuran pada akhir 2003. “Rencananya tahun kemarin (2004, red) akan berangkat karena di Niigata memasuki masa panen,” kata Fajar. Namun, gempa berkekuatan 6,8 skala richter yang terjadi pada 23 Oktober 2004 pukul 17.23 waktu setempat itu mengubah rencana.
Tidak hanya Fajar yang kerap berbelanja di sana, sebagian pedagang koi di sini pun menjadikan Niigata sebagai tempat berburu. Contohnya Danny Hutomo Lianto. Ia masih beruntung bisa membeli sekitar 500 koi ukuran 15—50 cm asal Niigata sebulan sebelum gempa terjadi. “Saya biasanya tinggal mengambil dari pengepul langganan di Narita, Tokyo,” ujar pemilik Mawar 21 di Surabaya itu. Pascagempa Danny kini hanya memantau perkembangan di sana, tanpa rencana untuk membeli kembali.
Sulit
Menurut Winarso Tanujaya, Niigata kondang sebagai penghasil koi jenis ogon, asagi, dan hikarimono berkualitas tinggi. Pascagempa memang belum ada data berapakah induk-induk koi yang berhasil diselamatkan? “Untuk mendapatkan lagi koi-koi berkualitas itu harus menunggu lama lagi,” ujar pemilik Golden Koi di Jakarta Barat itu.
Bagi Wiwi–panggilan akrab Winarso— Niigata bukan tujuan utama meski hampir seluruh jenis koi dihasilkan di sana. “Saya lebih memilih koi-koi gosanke dariHiroshima karena kualitasnya bagus,” ujarnya. Untuk jenis ogon, hikarimono, izumia, asagi, dan koi-koi jinak seperti chagoi, Wiwi baru membeli dari Niigata.
Bencana yang membuat 84.000 penduduk Niigata itu mengungsi dianggap sebagai musibah di dunia koi. Bagaimanapun Niigata adalah tanah kelahiran koi. Dari sana pula induk koi berasal. Meski demikian kehancuran farmfarm di Niigata membawa hikmah. Banyak provinsi d i s e l a t a n mulai bergairah mencetak koi.“
Butuh waktu lama untuk membangun Niigata seperti semula,” ujar Mamoru Kodama, chief of Nishikigoi P ro t e c t i o n N e t w o r k , semacam badan penyelamat dan pemulihan koi pascabencana. Setidaknya untuk membangun sarana dan prasarana hingga farm-farm dapat berproduksi kembali butuh waktu hingga 3 tahun ke depan.
Pascagempa Niigata kini banyak konsumen mancanegara membidik daerah selatan tempat membeli. Beberapa farm besar seperti Sakai Fish Farm, Ogata Fish Farm, dan Momotaro diperkirakan bakal kebanjiran permintaan. “Beberapa negara penghasil koi seperti Cina dan Israel kemungkinan besar menjadi tempat membeli hingga kondisi di Niigata pulih kembali,” papar Wiwi.
Lokal stagnan
Tragedi yang menimpa Niigata tidak terlalu memberi pengaruh banyak terhadap pasar koi lokal. Dari lacakan Trubus di berbagai pusat penjualan koi, kondisi sekarang tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. “Pada 2004 malah lebih sepi dari 2003,” ujar Liana dari Masterpiece Koi di Pusat Perdagangan Ikan Hias di Jalan Sumenep, Jakarta Pusat. Jika pada 2003 rata-rata 90 koi terjual, sebaliknya pada 2004 menurun hingga 50%. Imbasnya harga jual pun ikut turun.
Hal senada diakui oleh Usep dari Dinamica Koi Center di Kelapagading, Jakarta Utara. “Entah, sekarang pembelinya menurun,” ujarnya. Dinamica yang biasanya melepas koi impor berukuran 30—40 cm seharga Rp7-juta–Rp8-juta per ekor kini menurunkan harga hingga Rp5-Juta—Rp6-juta per ekor. Namun, untuk ikan-ikan pilihan tetap dipatok dengan harga tinggi.
Menurut Fajar Surya, pasar dalam negeri memang sedang lesu meski masih didominasi koi lokal. “Pasar koi seperti piramida. Pasar koi lokal ada di bawah,” ujarnya. Itu berarti ia terbanyak. “Permintaan koi-koi lokal dari sini sedikit agak menurun,” ujar Yudianto, peternak koi di Blitar. Musababnya daya beli yang ikut menurun.
Toh, rasa optimis pasar koi akan membaik tetap diusung Sugiharto dari Fei Koi Center di Taman Modern Jakarta Timur. “ K o i l o k a l dan impor m a s i n g – masing m e m i l i k I segmen pasar sendiri. Tapi dengan maraknya kontes yang akan banyak berlangsung pada 2005, pasar koi pasti akan bergairah lagi,” ujar Sugih optimis. Ia bahkan kini menginvestasikan dana Rp100-juta untuk membangun kolam besar mirip kolam di Jepang. Selain untuk menampung koi-koi berkualitas, Sugiharto mencoba membuktikan jika koi lokal dapat mencapai ukuran jumbo tanpa pecah coraknya.
Kejadian yang menimpa Niigata memang belum atau bahkan tidak berimbas secara langsung pada kondisi pasar koi lokal. “Apa yang terjadi di Jepang tidak memberi pengaruh bagi kami. Justru dengan maraknya kontes lokal penjualan koi kami bisa ramai lagi,” papar Liana. Memang selama kurun 2005 ini akan digelar setidaknya 3 kontes besar koi di tanah air yang rencananya berlangsung pada April, Agustus, dan Desember 2005.(Dian Adijaya S/Peliput: Pupu Marfu’ah)