Gudang mungil berukuran 6 m x 10 m itu seperti menahan sesak. Kardus menumpuk menyentuh langit-langit. Anak tangga yang menghubungkan kedua lantai gudang tak luput dari kardus. Dua meja yang disatukan dan 4 kursi kian menambah sempit. September—Desember gudang di sudut Jalan Kranggan, Surabaya, itu bakal kian sesak. Saat itulah Willopo, pemilik gudang, dibantu 10 karyawan menyortir dan mengemas puluhan ton arumanis serta gedong untuk melayani permintaan ekspor.
Permintaan ekspor ke Hongkong, Malaysia, dan Singapura rutin dipasok pada September—Desember. Sejak 2 tahun lalu ketiga negara itu minta arumanis. Total jenderal volume ekspor mencapai 60 ton. Padahal, “Permintaan sebetulnya mencapai ratusan ton, tapi saya kesulitan barang,” kata Willopo. Sebagai gambaran, pasokan 60 ton merupakan hasil sortir ratusan ton mangga. Itu indikasi tak seragamnya kualitas mangga kita.
Standar mutu tergantung negara tujuan. Contoh, Singapura lebih memilih mangga berbobot 450 g; Hongkong 400—450 g; dan Malaysia, 350 g per buah. Buah mesti bersih dan bebas hama.
Pre-cooling
Sejak 2 tahun silam yang diekspor hanya arum manis. Namun, sekarang Malaysia juga meminta mangga podang dan manalagi. Pria separuh baya itu menerima harga Rp4.000/kg, jauh lebih rendah ketimbang harga di pasar lokal yang mencapai Rp7.000.
Sebagai gambaran, Willopo membeli mangga dari beberapa pekebun Rp2.000/ kg saat jumlah mangga banyak. Dengan demikian laba yang diraih memang tipis, cuma Rp100/kg. Biaya produksi lain untuk kemasan sekitar Rp700—Rp800/ kg.
Namun, secara akumulatif marginnya cukup besar. Bila rata-rata setiap tahun ia mengekspor 60 ton, artinya total keuntungan yang ditangguk Rp6-juta. Untuk meningkatkan laba, mulai tahun ini pria yang pernah ikut kurus singkat di UC Davis, California, itu tak lagi menggunakan jasa penerbangan, tetapi kapal laut. Memang waktu tempuh jadi semakin lama, sekitar sepekan.
Supaya kerabat jambu mete itu tetap segar Willopo menerapkan teknologi pre-cooling alias pra-pendinginan. Buah lolos sortir dibersihkan dengan lap halus. Langkah berikutnya, buah dicelupkan dalam larutan pengawet selama beberapa detik supaya kesegaran terjaga.
Kardus berukuran 43 cm x 17 cm yang menampung 25 buah menjadi kemasan. Kardus-kardus berisi mangga itu lantas dimasukkan ke dalam mesin pra pendinginan bersuhu 5ºC. Dari sana, buah berpindah ke ruang cold storage bersuhu 13—15ºC selama 30 hari. Uji coba itu menunjukkan, kesegaran mangga bertahan hingga 30 hari.
Setelah itu Mangifera indica itu siap dikirim melalui Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya. Dengan cara itu Willopo melakukan penghematan besar-besaran. Bayangkan, ongkos kapal laut untuk tujuan Hongkong, Malaysia, dan Singapura Cuma Rp1.300—Rp1.500 per kg. Bandingkan bila ayah 2 anak itu menggunakan jasa penerbangan yang mengutip US$Rp0,6 setara Rp6.000/ kg. Artinya, total penghematan mencapai Rp31,5-juta saat mengirim 60 ton.
Tak terbatas
Pasar mangga tak terbatas di Asia Tenggara atau Asia Timur. Kawasan Timur Tengah juga pasar potensial. “Berapapun pasokan diterima. Apalagi pas bulan puasa permintaan naik berlipat-lipat,” tutur Musthofa Salim. Kelahiran Malang 42 tahun silam itu hanya mampu mengekspor arumanis rata-rata 2 ton per 2 hari. Ekspor dimulai 2 tahun silam dan hanya dilakukan pada penghujung tahun bertepatan dengan panen raya mangga.
Yang juga mengendus peluang bisnis mangga adalah PT Anugrah Buana Utama sejak awal 2005. Buah anggota famili Anacardiaceae itu dikirim ke Singapura, Malaysia, Cina, dan Australia.
Para eksportir di Indonesia mengirimkan mangga saat panen raya tiba, biasanya pada September—Desember. Saat itu harga cenderung rendah. Contoh, harga arumanis 1—2 bulan sebelum panen raya di tingkat pekebun mencapai Rp7.000/kg; gedong, Rp8.000/kg. Namun, ketika memasuki puncak panen, perlahan harganya turun menjadi Rp2.000 dan Rp3.000. Maklum ketika itu pasar telah dibanjiri mangga.
Kargo
Mereka—para eksportir—tak sertamerta menangguk laba. Banyak kendala menghadang saat membuka pasar ekspor. Musthofa Salim, contohnya, harus bergerilya langsung ke importir di negara-negara Timur Tengah. Di sana ia mencari alamat importirimportir buah. Langkah berikut, kelahiran Malang tahun 1963 silam itu mengirim sampel hingga empat kali. Padahal, ongkos sekali kirim US$200—US$300 setara Rp2- juta—Rp3-juta.
Sejak perburuan alamat hingga importir bersedia dipasok, diperlukan waktu 2 bulan. Kesabaran mesti panjang. Jika pasar sudah di tangan, bukan berarti jalan mulus terbentang. Perburuan ke berbagai sentra—lazimnya di luar kota, mesti dicanangkan untuk memperoleh pasokan. Itu yang ditempuh Willopo. Kebun 1 ha di Bangil, Jawa Timur, tak cukup untuk melayani tingginya permintaan.
Transportasi juga kerap menghadang. Itu dialami Mustofa pada 2003. Saat itu sepekan menjelang Lebaran ia mengirim mangga ke Timur Tengah. Celakanya penerbangan ke sana transit di Malaysia dan bagasi penumpang penuh. Kargo mangga diturunkan di Kualalumpur, sehingga terlambat 2 hari di Timur Tengah. “Berdasarkan aturan penerbangan, bagasi penumpang harus didahulukan,” ujarnya. Dari kasus itu ia menderita kerugian US$1.200 setara Rp12- juta.
Green mango
Para pekebun turut kecipratan laba bisnis mangga akibat tingginya permintaan ekspor. Permintaan yang masuk ke Gatot Setyo Nuswantoro, pekebun di Situbondo, Jawa Timur, misalnya, pada Juli 2005 mencapai 1.500 ton. Dengan jumlah 500 pohon per ha, total jenderal populasi mencapai 75.000 tanaman yang kini berumur 10 tahun. Bila produksi rata-rata per pohon 10—15kg, pria berusia 40 tahun itu menuai 900 ton. Menurut perhitungan Gatot 5% atau 45 ton dari total panen layak ekspor. Mangga itulah yang dibeli oleh para eksportir di Jawa Timur dengan harga Rp10-ribu—Rp15-ribu per kg.
Selebihnya sekitar 855 ton dimanfaatkan untuk memasok pasar lokal di Jawa Timur, Medan, dan Banjarmasin. Biasanya harga saat panen raya sekitar Rp2.000 per kg sehingga ia bakal meraup omzet Rp4,2 miliar. Bila biaya perawatan sebuah pohon saat ini sekitar Rp50.000, total biaya produksi mencapai Rp3,75 miliar Artinya, pria kelahiran Surabaya itu masih meraup laba sekitar Rp5-juta per ha atau Rp750-juta per 150 ha.
Setahun belakangan ini citra mangga di mata konsumen mancanegara, terutama di Timur Tengah, berubah. Dulu mereka menganggap mangga itu harus bewarna. Yang banyak dipesan importir antara lain mangga podang berwarna kuning cerah, gedong, dan gedong gincu berwarna kemerahan. Sedangkan mangga hijau alias green mango—meski sudah matang—seperti arumanis dianggap belum matang oleh karena itu tak pernah diminta. Namun, setelah dicicipi mereka menyukainya.
Sementara konsumen Eropa tetap menyukai mangga berwarna. Arumanis yang berkulit hijau dikirim sebagai penutup kekurangan saja. Baru setahun belakangan ini, perbandingan pemintaan antara arumanis dan gedong menjadi 50 : 50. Itu karena ia mulai diterima masyarakat Timur Tengah. Mereka menyukai rasa arumanis yang luar biasa enaknya. Di sana arumanis dikenal sebagai big mango.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik, Jakarta Pusat, mangga diekspor sebanyak 424,917 ton senilai US$289.049. Setahun berselang volume melambung menjadi 1.572.634 ton (US$2.671.995) dan 559,224 ton (US$460.674) pada 2003. Jenis mangga terbanyak yang diekspor gedong gincu, disusul arumanis dan gedong. Volume ekspor itu memang terbilang kecil ketimbang total produksi rata-rata 950.000 ton per tahun. Bandingkan dengan total ekspor mangga di pasar dunia yang mencapai 557.000 ton per tahun. (Lastioro Anmi Tambunan/Peliput: Destika Cahyana & Hawari Hamiduddin)