Barisan kubis siap panen berpadu dengan bawang daun membentuk sebuah harmoni. Hamparan kentang di lembah laksana permadani yang tengah dibentangkan. Embusan angin sepoi-sepoi turut membasuh rasa lelah itu.
Dengan topografi dataran berombak, berbukit-bukit, dan bergunung, deretan tanaman yang berbaris rapi di lahan-lahan pekebun sungguh mempesona. Dari wilayah seluas 66,44 km2 berpenduduk 11.533 jiwa itulah sebagian besar kebutuhan sayuran masyarakat Sulawesi Utara dipasok. Bagi khalayak di Sulawesi Utara, Modoinding merupakan sentra sayuran terbesar. Wilayah itu terletak 156 km di sebelah Selatan Manado.
Setiap hari sedikitnya 4 colt setara 12 ton aneka sayuran dituai di Modoinding. Dari wilayah berketinggian 1.100 m dpl itu, sayuran didistribusikan ke pasar Manado, Amurang, Kotamobagu, dan Bitung—semua di Provinsi Sulwesi Utara. Sayuransayuran itu di antaranya kentang, kubis, wortel, petsai, tomat, dan bawang daun.
Agroklimat pas
Kondisi agroklimat Modoinding memang sangat mendukung untuk pertumbuhan sayuran dataran tinggi. Maklum jenis tanah di sana andosol yang kaya unsur hara, ketebalan topsoil di atas 30 cm, suhu udara 13—32oC, dan curah hujan 3.000 mm/tahun. Dengan dukungan alam seperti itu pantas bila berbagai jenis sayuran dapat tumbuh dengan baik.
Apalagi di sana terdapat beberapa sumber air yang dapat diandalkan, di antaranya Sungai Modoinding dan Sungai Poigar yang berhulu di Danau Mooat. “Dengan sumber air itu penanaman di musim kemarau pun dapat dilakukan,” papar Ir Andre Umboh, MS, tokoh masyarakat Modoinding.
Menurut Andre Umboh, dari sekitar 8.500 ha lahan kering di Modoinding, 75% di antaranya ditanami sayuran. Sisanya padi ladang, jagung, kacang-kacangan, dan ubi-ubian. Wajar, “Sayuran menjadi komoditas andalan masyarakat setempat,” papar mantan dosen Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi itu.
Hingga saat ini terdapat sekitar 22 kelompok tani yang secara aktif melakukan kegiatan pertanian di 8 desa di Modoinding. Di antaranya kelompok tani Esa Waya dan Maju Bersama di Desa Pinasungkulan. Semuanya mengembangkan beragam jenis sayuran seperti kentang, kubis, petsai, tomat, hingga wortel.
Kentang prioritas
Di antara banyak jenis sayuran yang dikembangkan di Modoinding, kentang menjadi prioritas utama masyarakat. Meski harga kentang di daerah itu sangat fluktuatif, agribisnis kentang dinilai lebih menguntungkan dibanding sayuran lain. “Dengan tingkat harga Rp105.000—Rp200.000/karung, berisi 60 kg, setiap ha menghasilkan minimal Rp30-juta,” papar Jones Kaseger, ketua kelompok tani Maju Bersama. Padahal, biaya produksi per ha tak lebih dari Rp11-juta.
Jaringan pemasaran kentang juga lebih luas. Kalau sayuran lain masih berkutat di pasar lokal, kentang sudah merambah hingga ke mancanegara. “Kentang modoinding sudah menjadi salah satu komoditas ekspor Sulawesi Utara,” papar Ir Ferdinand Tairas, kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara. Pada 2002, setidaknya 12.000 ton kentang dipasarkan ke Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Bahkan, ujicoba pengiriman ke Australia juga pernah dilakukan.
Di pasar domestik, kentang dari Modoinding dipasok ke berbagai daerah. Mulai dari Palu, Makassar, Balikpapan, Maluku, hingga Papua. “Pekebun sendiri yang langsung Mengapalkannya setiap minggu,” papar Ferdinand Tairas. Menurut Tairas, varietas kentang yang banyak diusahakan di Modoinding adalah atlantik, donata, dan superjone—varietas lokal hasil temuan John Walukouw, pekebun setempat.
Dilirik industri
Pemasaran kentang relatif mudah bagi masyarakat Modoinding. Perusahaan camilan besar seperti PT Indofood Fritolay, PT Siantar Top Surabaya, dan PT Unilever, menjalin kerja sama dagang dengan beberapa kelompok tani. Kelompok tani rutin memasok kentang kepada industri pengolah. Sayangnya, target pasokan 100 ton per bulan belum mampu dipenuhi. Padahal, tak kurang dari 8.000 ha lahan di sana tertanami kentang setiap tahun.
Menurut Andre Umboh pekebun belum mampu memenuhi standar kualitas yang diinginkan. Apalagi pabrik makanan ringan mulai memperlihatkan minat terhadap kentang organik. Padahal, sampai saat ini pekebun sayuran di Modoinding belum pernah menerapkan teknologi pertanian organik.
PT Petindo Perkasa, di bawah manajemen John Hamenda, juga sempat memunculkan optimisme bagi pekebun Modoinding. Pasalnya, perusahaan raksasa ini mulai berinvestasi dengan tujuan akhir berdirinya perusahaan camilan kentang terbesar di Indonesia bagian timur. Impian itu buyar setelah pihak manajemen harus berhadapan dengan hukum, terkait dengan pembobolan salah satu bank pemerintah.
Agropolitan
Besarnya potensi hortikultura Modoinding itulah yang membuat pemerintah Sulawesi Utara berharap banyak. Sejak Kabupaten Minahasa Selatan—pecahan dari Kabupaten Minahasa—resmi berdiri pada 2001, Modoinding langsung ditetapkan sebagai sentra sayuran. Bahkan, Modoinding disiapkan menjadi pusat pembenihan hortikultura Indonesia timur.
“Kami ingin menjadikan Modoinding sebagai pusat produksi hortikultura. Bukan saja bagi Provinsi Sulawesi Utara, tetapi juga di kawasan Indonesia timur,” papar Ir Wangke Karundeng, kepala Dinas Pertanian dan Kehewanan Minahasa Selatan.
Untuk mewujudkannya pemerintah mendatangkan investor pertanian ke Modoinding. “Kami menerapkan pertanian berbasis petani. Artinya pekebun semaksimal mungkin ditempatkan sebagai subjek pertanian, mulai dari perencanaan hingga pada tahap evaluasi,” katanya.
Hasilnya berupa proyek agropolitan—proyek kerjasama Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah dan Departemen Pertanian—pada 2003. Proyek itu mendatangkan gairah baru bagi para pekebun di Modoinding. Maklum, banyak masalah yang diselesaikan secara komprehensif. Contoh perbaikan dan pengadaan jalan kebun yang membantu pekebun. Sebab dengan adanya jalan-jalan yang mampu dilintasi oleh mobil, biaya pengangkutan dapat dihemat.
Pada tahun anggaran 2004, proyek agropolitan juga mulai menangani masalah pascapanen hortikultura melalui pengadaan gudang penyimpanan. Masalah sarana produksi pertanian, termasuk ketergantungan terhadap pupuk kimia akan dibenahi. Maklum, pupuk kimia menyebabkan menyebabkan lahanlahan di sana tidak lagi subur secara alami. “Kami mengharapkan berbagai pihak untuk membantu menerapkan teknologi pertanian organik seperti yang telah dikembangkan di tempat lain,” kata Hen Tigau, ketua Kelompok Tani Esa Waya. (Fendy R Paimin)