Wednesday, September 11, 2024

Lumbung Sejati

Rekomendasi
- Advertisement -
Lumbung pangan dalam arti sempit, berupa cadangan pangan. (Dok. Trubus)

Trubus — Sejak pandemi berkobar, ketakutan akan terjadi krisis pangan ikut berkibar.  Rakyat merespons dengan mengolah pekarangan, menanam sayuran dan buah dalam pot, memelihara ikan di ember. Memanfaatkan lahan sekecil apa pun.  Bahkan ada yang menanam jagung dan padi di kantong plastik dan kaleng bekas. Bersamaan dengan itu, Pemerintah mencanangkan  pembangunan food estate seluas 178 ribu hektare di Kalimantan.  Lumbung pangan!

Mungkin ada yang bertanya, di mana lumbung pangan yang sejati? Di pedalaman  Kalimantan (Papua, Sumatera, Sulawesi) atau di seputar rumah yang dekat meja makan kita?  Ini bagus direnungkan pada 17 Agustus 2020, genap 75 tahun proklamasi kemerdekaan. Di atas kertas, program kecil maupun proyek besar, sama-sama benar. Sepupu tercinta saya,  Agus Catur warga Dukuh Tumpak, di pinggir jalan kawasan padat, menuju Surabaya.

Ia menggarap pekarangan 13 meter x 54 meter.  Di dalamnya ada kebun,  kandang untuk kambing, ayam, dan burung puyuh. Beberapa drum untuk memelihara ikan dan bersusun-susun sayuran hidroponik juga terdapat di sana. Setiap hari, ada saja yang dapat dipetik.  Bisa dimakan sendiri atau dijual.  “Dari satu drum ada tiga macam panen,” katanya.  “Pertama, panen ikan lele.  Kedua, panen kangkung. Ketiga panen pupuk cair yang bagus untuk sayuran.”

Prinsip polikultur

Selain itu tentu ada cabai, seledri, terung, tomat, kacang panjang, sawi, dan selada hidroponik. Setiap hari ia juga mendapat belasan telur dari 48 ayamnya.  Belum lagi burung puyuh yang bisa digoreng.  Di kandang, ada 18 kambing.  Lumayan bisa dijual setahun sekali pada hari Idul Adha. Tahun lalu ada sapi juga, tapi sudah laku terjual. Ternyata bertani, beternak dan memliara ikan itu hanya meneruskan hobi leluhurnya.

Jangan heran kalau lahan 700 meter persegi itu menjadi contoh di desa Sidoharjo, Kabupaten Mojokerto. Ia menyebut kegiatannya Tanterika, singkatan dari Pertanian, Peternakan, dan Perikanan.  Tentu tidak dikerjakan sendiri. Ia melibatkan 12 tetangganya. Mereka wajib ikut memiliki, merawat, dan menikmati hasilnya. Tujuannya apa? “Supaya kita berdaulat pangan.

Lumbung pangan yang sebenarnya dengan menerapkan budidaya polikultur. (Dok. Trubus)

“Kami memilih sendiri yang kami makan, sehat dan berdaulat.  Berdaulat artinya tidak terpengaruh harga pasar,” begitu tuturnya. Memang kebunnya tidak menghasilkan padi, tapi koleksi tanaman herbalnya, juga banyak berguna. Kita tahu daulat pangan artinya lebih dari cukup pangan tradisional.  Warga yang biasa makan jagung, sagu atau umbi, tidak boleh dipaksa berganti beras, kentang atau gandum.

Dengan begitu, manusia berdaulat memilih makanan pokoknya.  Bahkan, yang memilih nasi tetap punya hak untuk memilih beras merah, beras hitam, organik, hibrida, padi gaga lahan kering maupun padi hutan. Lumbung pangan nasional menyediakan aneka makanan.  Kalau kita buka laman Lumbung Pangan Jawa Timur, misalnya, tampak jelas contoh menarik.  Lumbung itu dikelola secara daring, 24 jam dalam sehari.

Setiap warga yang memerlukan bisa memesan kebutuhan pangan, baik bahan mentah maupun olahan.  Termasuk minyak goreng, gula, ikan beku, sosis, dan daging kemasan. Setiap warga yang memerlukan pangan cukup menempuh tiga langkah. Pertama memilih produk. Kedua melakukan pembayaran secara daring dengan bermacam kanal transfer. Ketiga tunggu di rumah.  Itulah konsep Lumbung Jatim yang dibuka Gubernur Khofifah Indar Parawansa antara 21 April sampai 21 Juli 2020.

Bahkan, untuk beras tersedia dalam bermacam kualitas, harga dan ukuran. “Asal beras juga beragam, dari sentra-sentra produsen atau petani yang tersebar di berbagai daerah di Jatim. Di antaranya dari Jember, Jombang, Mojokerto, Nganjuk, Kediri.”  Begitu keterangan Koordinator Program Lumbung Pangan Jatim, Erlangga Satriagung. Mudah sekali membayangkan “sawah sejuta hektare”  bisa dicetak dalam waktu singkat.

Konservasi

Eka Budianta

Program-program raksasa adalah bagian dari mimpi peradaban. Keberhasilannya masih perlu dibuktikan.  Yang tidak boleh dilupakan, monokultur harus dihindari.  Polikultur wajib diterapkan agar lumbung pangan nasional berfungsi optimal dan lestari. Perlu dijamin kelanjutannya. Dari dulu secara tradisional Indonesia kaya hasil bumi, berkat keanekaragaman hayati.   Makin besar lahan tanaman sejenis, makin tinggi kerusakan alam yang diakibatkan.

Malah ada buku “Big Farms make Big Flu” karangan Rob Wallace.  Yang mengejutkan  penyakit menular bisa muncul  pada peternakan dan perkebunan besar.  Logikanya terletak pada kebutuhan bibit berskala besar dan mengolah hasil panen. Daging ayam mengalami proses yang rumit sebelum dikirim ke belahan lain dunia. Kebun yang luas, perlu banyak lahan, berpotensi mengganggu hidup daur alam sebelumnya.

Pembabatan hutan dan penggunaan herbisida malah memungkinkan punahnya tumbuhan dan satwa  asli, endemik di kawasan yang bersangkutan. Di sinilah pentingnya mengenali dan menyelamatkan tanaman setempat. Pendekar lingkungan Emil Salim (90 tahun) selalu mengingatkan, sayang sekali kalau satu-satunya jenis tanaman yang sangat berkhasiat hangus terbakar, atau punah akibat alih-guna lahan.

Pada tahap awal lumbung pangan di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulangpisau  dikerjakan di atas lahan 30.000 hektare.  Selanjutnya untuk jangka panjang  akan diperluas 148.000 hektare lagi.  Semuanya tentu dengan perhitungan cermat. Presiden sudah memercayai Menteri Pertahanan agar memimpin banyak pihak yang berkepentingan. Yang pertama tentu masyarakat adat setempat dan para ahli etnobotani.  Mereka paham persoalan di lapangan dan keunggulan produk yang tepat.

Semua tahu, sawah di Sumatera Barat, Jawa dan Bali yang indah dan sukses itu adalah hasil kerja ratusan tahun dan banyak generasi. Semoga lumbung pangan raksasa juga dipahami sebagai awal dari tradisi pangan mandiri.  Lebih dari sekadar proyek tanggap darurat, karena dunia memang memerlukan kelaziman baru.  New normality untuk putra-putri  masa depan. ***

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Kembangkan Produk Hilir, Warga di Medan Bikin Aneka Sambal Cabai Berpadu Andaliman

Trubus.id–Warga Kota Medan, Provinsi Sumatra Utara, Richard, berinovasi  membuat aneka sambal cabai dengan campuran andaliman. Sambal Gerilya atau nama...
- Advertisement -
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img