Kala muda kulit dihiasi rambut rambut kehijauan. Begitu matang warnanya beralih jadi merah terang. Nama narmada disematkan lantaran buluan—sebutan dalam bahasa Sasak—banyak ditanam di Kecamatan Narmada—tepatnya di Lingsar. Nama itu disandang sejak kerabat matoa itu ditabalkan menjadi varietas unggul nasional pada 1995.
Saat ini penanaman narmada di Lombok terpusat di Kabupaten Lombok Barat. Terutama di Karangbayan, Narmada, Lingsar, Gunungsari, dan Keru. Kondisi iklim relatif basah cocok untuk pertumbuhannya. Di Lombok Tengah yang kering, justru varietas lebakbulus yang didatangkan dari Jawa yang berkembang.
Toh, meski begitu populasi narmada tetap ditemukan di Pringgarata dan Batukliang (Lombok Tengah); Sikur, Gading, dan Terara (Lombok Timur); Batulanteh, Moyohilir, dan Alas (Sumbawa); Pekat dan Woja (Dompu), serta Wawo dan Tambora (Bima) dalam jumlah terbatas. Bahkan bibit asal perbanyakan okulasi pun “diimpor” hingga ke Bali, NTT, dan Timor-Timur. BPSB NTT mencatat setiap tahun sekitar 200—400 bibit menyebar ke berbagai daerah tujuan.
Pangkas berat
Kerabat leci itu mulai belajar berbuah pada umur 2 tahun. Buah terus dituai hingga tanaman berumur 15—20 tahun. Produktivitas mencapai 50—60 kg per pohon setara dengan 1.600—3.000 buah. Memasuki umur di atas 10 tahun, biasanya pekebun melakukan peremajaan. Mereka memangkas total tanaman agar tumbuh tunas-tunas baru yang produktif.
Buah dipanen dengan sistem tebasan. Penebas menaksir produksi buah, kemudian mengajukan penawaran pada pemilik pohon. Harga berlaku saat Trubus bertandang sekitar Rp150.000 per pohon. Saat buah matang, penebas menuai sendiri buah lantas membawanya ke Pasar Induk Sedawu dan Suwita. Pada awal musim panen, sekitar 1,5—2 ton rambutan masuk ke sana. Kala puncak, buah berambut itu seperti membanjiri pasar.
Di pasar-pasar induk itu rambutan dibeli oleh para pedagang perantara. Di antara mereka ada yang memasok para penjaja eceran rambutan di kakilima-kakilima. Dari sanalah, dengan menyodorkan Rp5.000—Rp6.000 per kg, para penikmat rambutan terpuaskan merasakan macan narmada. (Evy Syariefa)