Bermula dari 1 kumbung pada 2010, kini kumbung jamur Yudi Permana menjadi 18 buah. Itu belum termasuk kumbung milik mitra. Bukti bisnis jamur tiramnya terus tumbuh.
Trubus — Lima tahun terakhir aktivitas Yudi Permana selalu ajek. Setiap pagi ia memeriksa kumbung jamur. Begitu memasuki kumbung budidaya, tangannya sangat cekatan memegang tubuh buah jamur dan menariknya dengan perlahan. Ia memanen jamur tiram Pleurotus ostreatus secara hati-hati agar tidak rusak. Di kumbung berukuran 150 m² itu tertata rapi baglog setinggi 2 meter atau 16 susun baglog.
Sebuah kumbung terdiri atas 30.000 baglog yang mengeluarkan tubuh buah. Yudi mampu memanen 400—600 kg jamur segar setiap hari. Petani muda berusia 29 tahun itu memiliki 18 kumbung jamur dan 7 petani plasma. Usai panen, Yudi mengelompokkan keluarga Tricholomataceae itu dalam tiga kelas. Kelas A tergolong super, jamur berukuran besar, tangkai utuh, tidak basah, dan putih. Harga jualnya Rp10.500 per kilogram.
Jamur kelas B bila mengandung banyak air, berwarna agak kuning, dan utuh. Harga jual Rp7.000 per kilogram. Sementara kelas C bentuknya kecil, pecah, dan kuning. Harga jual Rp3.500 per kilogram. Hasil panen Yudi lebih dari 90% masuk kelas A. Jamur tiram produksi Yudi itu hanya untuk memenuhi pasar Jakarta. “Setiap hari selalu ada panen,” ujar pekebun di Kecamatan Cugenang, Cianjur, Jawa Barat itu.
Produksi kontinu
Panen kontinu itu lantaran Yudi mengatur produksi dengan ketat. Setiap hari ia memproduksi 1.500 baglog bermedia campuran serbuk gergaji, dedak padi, dedak jagung, dan mil. Ia lalu mensterilkan baglog berbobot 1,35 kilogram itu menggunakan steamer bersuhu 100°C selama
5—7 jam. Setelah suhu kembali normal ia mengokulasi bibit ke dalam baglog. Ayah dua anak itu lalu menata baglog di kumbung inkubasi selama 30 hari.
Setelah baglog ditumbuhi miselium secara menyeluruh, ia lalu memindahkan ke kumbung pembesaran selama 4 bulan. Selang 7—10 hari kemudian jamur sudah bisa dipanen. Pada panen perdana pria berusia 29 tahun itu mampu memetik 1,7 ons jamur per baglog. Satu baglog dapat dipanen 3—4 kali dengan selang waktu 15—20 hari. Panen berikutnya akan menurun menjadi 1,3 ons.
Dalam kurun waktu 4 bulan masa panen (satu siklus), rata-rata Yudi mampu menuai 3,5—4 ons per baglog jamur tiram segar. Yudi menjelaskan produksi jamur tiram tidak sebanding dengan permintaan pasarnya yang sangat besar. Permintaan rata-rata bisa mencapai 12 ton per hari. “Dengan kapasitas produksi baglog 45.000 ribu per bulan masih sangat jauh untuk memenuhi permintaan pasar,” ujarnya.
Untuk memenuhi permintaan pasar yang tinggi itu kini Yudi tengah membangun kumbung baru untuk memperbesar produksi. Bergelut dengan jamur tiram bukanlah hal baru bagi Yudi. Ia bergelut dengan jamur tiram sejak 2005. Kala itu bekerja di CV Asa Agro yang bergerak di bidang produksi jamur tiram. Tidak hanya Yudi, sang istri, Hanisyah, pun bekerja di tempat yang sama.
Bekerja di perusahaan jamur membuat waktu Yudi dan istri cukup tersita. Kesibukan mereka bekerja membuat waktu kebersamaan dengan putra menjadi tersita. Suatu hari putra pertama Yudi yang kala itu berumur 9 bulan panas hingga kejang. Yudi yang masih berumur 25 tahun dan belum memiliki pengalaman mengurus bayi, serta jauh dari keluarga merasa terpukul melihat kondisi sang anak.
Merasa bersalah lantaran tidak memiliki waktu yang banyak buat sang anak, Yudi dan istri memutuskan keluar dari perusahaan tempat mereka bekerja. “Saya keluar dulu, tidak lama berselang istri mengikuti,” kata pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah, itu. Baginya keluarga tetap nomor satu.
Produksi baglog
Yudi memutuskan untuk membudidayakan jamur dengan menjadi petani plasma CV Asa Agro pada 2010. Sebagai plasma ia hanya mengambil baglog dari CV Asa Agro, merawatnya hingga siap panen, lalu menyetor hasil panen ke CV Asa Agro. “Pertama kali membuka sebuah kumbung seluas 350 m² dengan kapasitas produksi 20.000—30.000 baglog per siklus,” ujarnya. Setahun berselang Yudi sudah mengelola 5 unit kumbung.
Lantaran permintaan baglog jamur ke CV Asa Agro semakin besar, pasokan baglog ke Yudi pun berkurang. Pada 2012 Yudi memproduksi baglog sendiri. Pada tahun yang sama pula Yudi merangkul seorang petani plasma yang saat ini mengelola 5 kumbung. Sedikit demi sedikit usaha anak pertama dari tiga bersaudara itu mulai berkembang. Jumlah kumbung dan plasma Yudi semakin bertambah.
Kini kapasitas produksi baglog Yudi mencapai 1.500 baglog per hari atau 45.000 baglog per bulan. Pada 2017 total ada 7 plasma, sedangkan jumlah kumbung milik Yudi 18 kumbung. Dari jumlah itu 4 berupa kumbung inkubasi dan sisanya kumbung budidaya. Kumbung inkubasi masing-masing berukuran 100 m² dengan kapasitas 20.000 baglog. Kumbung budidaya berukuran lebih luas. Sebuah kumbung budidaya berukuran 150 m² dengan kapasitas 20.000—30.000 baglog.
Meski bermula dari plasma tidak keseluruhan teknis budidaya ia adopsi dari tempatnya bekerja. Maklum, tempat dulu ia bekerja memiliki kapasitas produksi yang lebih besar dan lebih modern. Walaupun demikian hasil panen jamur tiram Yudi kualitasnya sebanding dengan perusahaan besar itu. Ia melakukan modifikasi pada beberapa kumbungnya. Ia menerapkan sistem rak samping dan ganda.
Dampaknya kapasitas baglog akan lebih maksimal. Teknik itu mampu menyimpan baglog hingga 27.000. Dengan luasan yang sama di tempat lain hanya bisa menyimpan 20.000 baglog. Yudi juga memasang perangkap hama dengan mengoleskan lem di sepanjang tiang rak yang terbuat dari bambu. Lem beraroma khas yang memikat serangga. Akibatnya, serangga berkumpul pada tiang itu dan menempel pada tiang sehingga serangan hama berkurang.
Selain itu Yudi juga menerapkan cara panen yang efektif. Ia memanen jamur dengan hati-hati. Kemudian meletakkannya di atas baglog, memotong perakaran yang kotor dan mengemas jamur di dalam kumbung itu pula. Cara itu mampu meminimalkan persentuhan jamur sehingga meminimalkan kerusakan. Panen juga dilakukan pagi atau menjelang sore untuk mengurangi tingkat penguapan.
Untung
Yudi terus melakukan berbagai inovasi agar bisa berkembang. Pada 2012 misalnya, ia memproduksi olahan jamur tiram berupa jamur krispi. Saking semangatnya ia pun membuka tiga lapak kecil untuk menjual olahan jamur tiram itu. Sebuah lapak menjual 10—15 kilogram jamur krispi. Namun, hasil perhitungannya keuntungannya tipis. Maklum, biaya operasional cukup besar dan rendemen yang jamur yang dihasilkan juga sedikit.
Bahan baku jamur tiram yang digunakan pun harus kualitas bagus karena jamur segar berkadar air tinggi menghasilkan produk jadi yang lebih sedikit. Dari satu kilogram jamur segar hanya diperoleh 300 gram. Padahal, harga jual cukup tinggi, Rp78.000 per kilogram. “Jika dihitung-hitung lebih enak menjual jamur segar,” ujarnya. Penjualan jamur tiram segar saja untungnya sudah besar.
Apalagi semakin ke sini permintaan jamur segar semakin banyak sehingga tidak lagi terkejar untuk membuat olahannya. Yudi pun menyerahkan pembuatan olahan jamur tiram ke seorang rekan dan ia hanya fokus pada produksi jamur segar. Yudi menjelaskan prospek bisnis jamur tiram ke depan makin berkembang. Sebab, penambahan permintaan tidak sebanding dengan jumlah produksi.
Makanya setiap tahun banyak pemain baru tetapi barang selalu kurang. Permintaan pasar lokal saja sangat membeludak. Kenaikan permintaan mencapai 10% setiap tahun. Sementara peningkatan harga mencapai Rp500—Rp1.000 per kilogram. Yang menarik dalam budidaya jamur tiram, menjadi petani plasma pun tidak mungkin rugi, sudah pasti balik modal. “Itu yang membuat petani plasma kita mengejar budidaya jamur,” ujarnya.
Apes-apesnya petani plasma akan balik modal. Pembelian baglog seharga Rp2.500. Misal produktivitasnya kecil, 0,25 kg dengan harga jual Rp10.000 per kilogram petani plasma sudah balik modal. Sementara produktivitas rata-rata jamur tiram mencapai 0,35 kg. Keuntungan yang diperoleh Rp10.000 per baglog. Dari perniagaan jamur tiram Yudi meraup omzet Rp7 juta per hari.
Yudi menyadari pasar jamur tiram tidak selamanya manis. Permintaan jamur berkurang pada ada masa-masa tertentu. Misalnya saja pada Idul Fitri, Idul Adha, atau Tahun Baru. Permintaan yang turun akan berpengaruh ke harga. Namun, hal itu tidak berpengaruh dalam produksi Yudi. Sebab, “Jika pasar sepi kita menutup baglog sehingga pertumbuhan jamur terhenti,” ungkapnya. Saat permintaan dan harga sudah stabil Yudi membuka kembali baglog sehingga jamur berproduksi kembali. (Desi Sayyidati Rahimah)