Monday, September 9, 2024

Masih Ada Harapan dari Bunga Matahari

Rekomendasi
- Advertisement -

Demikian sebagian surat yang ditulis. Bimo Sakti Noegroho di salah satu situs internet. Bimo dari CV Palmyra Duta bukan satu-satunya orang yang membutuhkan produk bunga matahari. Budi Sutikno di Jakarta juga sempat meminta bantuan Trubus untuk mendapatkan pasokan biji bunga matahari. “Saya butuh 300 ton biji bunga matahari setiap bulan, apakah redaksi bisa membantu?” tanya Budi ketika menghubungi Trubus via telepon.

Menurut Bimo Sakti, Belanda salah satu pengguna minyak nabati terbesar, termasuk minyak bunga matahari. Selain sebagai minyak makan, minyak kualitas rendah juga dipakai sebagai bahan bakar mesin pembangkit listrik.

Permintaan tinggi

Syahrial, peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan (Puslitbangbun) Bogor, mengungkapkan, kebutuhan produk bunga matahari cukup tinggi. “Jangankan di luar negeri, pasar dalam negeri saja butuh banyak,” paparnya. Industri kuaci memerlukan ribuan ton biji bunga matahari sebagai bahan baku. Belum lagi untuk pemanfaatan lain seperti pakan burung dan hewan klangenan. Sayangnya, belum banyak investor dalam negeri yang meliriknya sebagai suatu potensi.

Sampai saat ini kebutuhan minyak dan biji bunga matahari di dalam negeri kebanyakan masih diisi pasokan impor. Badan Pusat Statistik mencatat, ribuan ton biji bunga matahari harus diimpor setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada 1997 tercatat 5.089 ton biji bunga matahari senilai hampir US$2,02- juta didatangkan dari Cina, Australia, Amerika Serikat, dan Belgia. Tahun 1999 masuk 3.483 ton biji senilai US$631.205. Selain dari keempat negara tersebut, impor juga datang dari Jerman dan Swis.

Selain berupa biji, impor juga dilakukan dalam bentuk minyak. Pada 1997 misalnya, impor minyak bunga matahari tercatat mencapai 315 ton senilai US$546.241. Pada 1998 volume impor mencapai 381 ton senilai US$489.121. Sebanyak 280 ton diimpor pada 1999 senilai US$328.382.

Lokal sulit

Menurut Bimo Sakti, permintaan minyak bunga matahari di dalam negeri sebenarnya besar. “Pabrik pengalengan tuna kini banyak yang memilih menggunakan minyak bunga matahari sebagai bahan pendukung industrinya,” paparnya. Sebelumnya, industri pengalengan dunia banyak memakai minyak kedelai sebagai minyak makan. Namun, setelah minyak kedelai terkena isu GMO (genetically modifi ed orgasism alias produk transgenik, red), mereka memilih minyak bunga matahari yang belum tersentuh teknologi transgenik.

Bimo Sakti mengakui, CV Palmyra Duta yang berbisnis minyak makan seperti minyak kelapa sawit pun banyak menerima permintaan pasokan minyak bunga matahari. Namun, karena sulitnya mendapatkan pasokan dalam negeri, permintaan tak bisa dipenuhi. Padahal, Ia sudah berupaya mencari pasokan lewat berbagai cara. Termasuk berburu di dunia maya. “Berbulan-bulan beriklan via internet tak ada satu pun produsen yang menanggapi,” keluhnya.

Hal senada juga diungkapkan Indra Haryanto, direktur CV Cahaya Sakti. Pemasok biji bunga matahari ke berbagai industri di dalam negeri itu setiap bulan mendatangkan 50—100 ton biji dari negeri Tirai Bambu. “Sampai saat ini kebutuhan kami masih dipenuhi pasokan impor,” papar Indra.

Memang menurut Indra, beberapa pemasok lokal pernah menawarkan pasokan. Hanya saja, penawaran terpaksa ditolak. Sebab, selain volume terbatas kualitasnya tak memenuhi standar yang diinginkan. “Biji banyak yang kopong dan berjamur,” tegasnya beralasan.

Untuk memenuhi permintaan pabrik, Indra selektif menerima pasokan. Selain berukuran besar, biji harus padat berisi. Tak hanya itu, biji harus bersih, kering, dan bebas kapang.

Banyak gagal

Di Indonesia bunga matahari Helianthus annuus bukan barang baru. Sejak 1907 ia sudah dicoba ditanam intensif di lahan seluas 1.750 m2 di Kediri. Percobaan penanaman juga dilakukan di Aceh pada 1912. Bahkan, pada 1955 pernah didatangkan beberapa kultivar bunga matahari dari Kanada, Amerika Serikat, Yugoslavia, Italia, dan Pakistan, untuk dicoba ditanam di Lembang. Sayangnya, pengembangannya masih sering mengalami kegagalan meskipun kondisi iklim di beberapa daerah Indonesia dinilai sesuai.

Rendahnya produktivitas akibat biji hampa menjadi kendala utama. Produksi tertinggi yang pernah dicapai di Indonesia hanya 1,7 ton/ha. Bahkan, kebanyakan hanya mampu berproduksi 0,6—0,8 ton/ha. Padahal, potensi produksi bunga matahari mencapai 2—3,5 ton/ha.

Kendala itulah yang menyebabkan salah satu perusahaan di Jawa Barat tak meneruskan usahanya pada 1970-an. Padahal, “Perusahaan itu kabarnya sudah mendatangkan mesin-mesin pengolahan minyak dari luar negeri,” tutur Syahrial. Sebab, dengan hasil panen di bawah 1 ton/ha, bila diolah hasilnya sangat rendah dan tidak ekonomis. Bahkan, harga jualnya menjadi tidak kompetitif.

Proyek pengembangan anggota famili Compositae alias sembung-sembungan itu dilakukan PT Kapas Indah di Sulawesi Tenggara pada 1984 juga kini tak terdengar lagi gaungnya. Padahal, perusahaan itu sudah mengembangkan di lahan seluas sedikitnya 100 ha di Kabupaten Kendari, Muna, dan Kolaka.

Kualitas rendah

Budidaya yang dilakukan PT Kapas Indah tergolong cukup berhasil. Buktinya, hasil panen mencapai 1,2 ton/ha. Sayangnya, kualitas biji tak memenuhi standar yang diinginkan Belanda, calon pembelinya. Padahal, untuk memenuhi permintaan, Kapas Indah mendatangkan benih langsung dari negeri Kincir Angin itu.

Himpunan Pelaku Pertanian Organik (Hippori) Jawa Timur yang mencoba melirik peluang pasar bunga matahari pada 2002 juga mengalami kegagalan. Dengan varietas benih eks Kalifornia yang diperoleh dari Jakarta, benih disebar ke petani di Malang untuk ditanam. Hasil panen ditampung Hippori dengan harga Rp5.000/kg. Namun, “Setelah dikirim ke Jakarta, biji ditolak calon pembeli,” tutur Agus Hermansyah dari Hippori. Alasan penolakan lantaran biji dianggap varietas lokal dan kualitas di bawah standar.

Karena penolakan itu Agus tak lagi tertarik mengembangkan. Sampai saat ini sebanyak 4 ton biji bunga matahari masih teronggok di rumahnya. “Saya tak tahu harus menjualnya ke mana,” keluhnya.

Menurut Agus, selain pemasaran belum jelas, produktivitas tanaman juga sangat rendah. “Waktu membeli benih, dipastikan produksi di atas 2 ton/ha. Nyatanya di lapangan hasilnya hanya 7—9 kuintal,” tuturnya. Apalagi sekitar 40% di antaranya berbiji kopong. Bila dijual harganya akan jatuh.

Kalau Agus tak berminat lagi mengembangkan bunga matahari, tidak demikian dengan Hendra Indarsyah. Pebisnis di Depok itu optimis prospek pemasaran biji dan bunga matahari terbuka lebar. Karena itu, bersama beberapa rekan bisnisnya, ia sedang mempersiapkan proyek pengembangan bunga matahari skala besar. “Dalam tahap awal kami akan mencoba di lahan 100 ha,” paparnya. Hendra merencanakan pula membangun pabrik pengolahan minyak bila budidayanya berhasil.

Bukan tanpa alasan ia merencanakanpembangunan proyek itu. “Saat ini saja beberapa anggota Kadin sudah meminta pasokan,” tegasnya. Padahal, hingga saat ini ia masih mengurus berbagai perizinan untuk merealisasikan rencananya. Bila berhasil, boleh jadi ia menjadi orang pertama yang sukses mengembangkan bunga matahari di Indonesia. Berarti ketergantungan terhadap impor biji dan bunga matahari pun dapat berkurang. (Fendy R Paimin)

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Inovasi Wafer Peningkat Produksi Susu Kambing Perah

Trubus.id–Teknologi pengolahan pakan menjadi wafer dapat meningkatkan nutrisi dan produksi susu ternak kambing perah. Itulah inovasi wafer pakan kambing...
- Advertisement -
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img