Melon golden hasil penanaman pada musim hujan dengan tingkat kemanisan 15° briks.
Supriyadi mampu memanen 3 ton melon Cucumis melo dari lahan 1.000 m². Setelah memanen, pekebun di Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, lantas memotong melon golden itu dan mengambil sedikit daging buah di bagian dalam. Ia meletakkan cairan daging buah melon di refraktometer, alat uji kadar kemanisan. Senyumnya merekah saat melihat angka di refraktometer menunjukan angka 15° briks.
Padahal, tingkat kemanisan melon golden saat musim hujan hanya berkisar 11—12° briks. Tak heran jika melon produksinya selalu laku terjual sebelum dibawa keluar kebun. “Rasanya manis dan teksturnya lebih krispi,” ujar Yuli, konsumen melon produksi Supriyadi. Kunci keberhasilan Supriyadi membudidayakan melon saat musim hujan itu adalah budidaya hidroponik.
Pengecekan rutin
Sejak 2013 Supriyadi membudidayakan melon dengan sistem hidroponik Nutrient Film Technique (NFT). “Dengan sistem hidroponik kita bisa mengatur nutrisi yang akan diberikan sehingga kadar kemanisan tetap terjaga,” ujarnya. Sejatinya penanaman melon dengan sistem NFT bukanlah hal baru. E S Lim dari Departemen Agronomi dan Hortikultura, Universitas Pertanian Malaysia, Selangor, Malaysia meriset budidaya melon dengan sistem NFT pada tahun 1985.
Dalam risetnya Lim menyebutkan melon yang budidaya dengan sistem NFT bobot rata-ratanya mencapai 1,2 kg dengan kemanisan 120 briks. Meski sudah lama, lazimnya sistem itu dilakukan di dalam greenhouse. Namun, Supriyadi justru memilih membudidayakannya di alam terbuka, tanpa atap. “Umumnya budidaya melon hidroponik yang dilakukan tanpa atap menggunakan sistem tetes atau drip vertigation,” ujar Ir Yos Sutiyoso, pakar hidroponik di Jakarta.
Itu karena biaya investasi budidaya melon NFT tergolong tinggi. Untuk satu lubang tanam Supriyadi merogoh kocek Rp40.000 atau setara Rp80-juta untuk luasan 1.000 m2. “Investasi itu bisa kembali setelah 3 kali panen,” ujar Supriyadi. Satu periode tanam membutuhkan waktu 65 hari. Artinya investasi dapat kembali kurang dari setahun. Itu karena melon hidroponik memiliki daya jual tinggi.
“Harganya bisa 2—3 kali lipat dari melon konvensional,” katanya. Menurut Agus Riswanto, pekebun melon hidroponik di Batang, budidaya melon dengan sistem NFT tergolong sulit dan menuntut ekstra cermat, terutama dalam mengontrol nilai Electro Conductivity (EC). Nilai EC sangat menentukan pertumbuhan tanaman. Nilai EC akan berubah jika air hujan masuk ke talang dan tangki nutrisi.
Oleh sebab itu, saat hujan turun Agus harus segera menutup keran nutrisi agar air hujan tidak masuk ke drum penampung. Keran baru dibuka kembali saat hujan berhenti. Pria 35 tahun yang juga merancang dan mengelola kebun milik Supriyadi itu juga harus rutin mengecek drum penampung nutrisi. Musababnya, jika nutrisi tidak mengalir atau tersumbat lebih dari 3 jam, tanaman akan mati.
Nutrisi
Untuk instalasi, Agus memilih menggunakan talang sepanjang 20 m yang disangga baja ringan. “Dengan menggunakan talang, nutrisi tetap dapat mengalir setipis film seperti prinsip dasarnya,” ujarnya. Total jenderal lubang tanam dikebun melon yang berjarak 17 km dari alun alun Kota Batang itu mencapai 4.000 lubang. Namun, hanya separuhnya yang digunakan untuk budidaya melon. Sisanya digunakan untuk menanam selada. Jarak antarlubang tanam yaitu 50 cm x 60 cm.
Seperti budidaya melon konvensional, pada melon hidroponik sistem NFT pun pekebun membutuhkan ajir atau penyangga tempat merambatnya daun. Agus memilih tali plastik berwarna biru sebagai media untuk merambat. Tali rafia itu diikatkan pada batang bambu yang dipasang di samping setiap talang. Panjang tali berkisar 1,8—2 m. “Itu karena tinggi tanaman rata-rata 80 cm,” katanya.
Ia membentangkan dan mengikatkan tali ke tali yang melintang pada rangkai bambu. Agar tanaman tidak roboh Agus hanya mempertahankan 1 buah per tanaman. Ia pun sangat ketat dalam pengaturan nutrisi. “Nutrisi adalah kunci utama dalam budidaya hidroponik,” katanya. Ia menampung nutrisi pada sebuah drum penampung berkapasitas 1.000 liter. Kapasitas itu dapat mengairi 2.000 lubang tanam dengan debit 2 liter per menit.
Dengan begitu 3—5 mm akar tanaman dapat terendam nutrisi sepanjang hari. Menurut ayah 2 anak itu, kebutuhan nutrisi berbeda-beda disetiap fase pertumbuhan. Pada masa penanaman awal atau umur 0—7 hari setelah semai kebutuhan nutrisinya hanya 400 ppm. Kebutuhan itu akan terus meningkat hingga masa berbuah pada umur 36—65 hari. Kebutuhan nutrisi pada fase itu mencapai 1.200—1.400 ppm.
Sinar matahari
Pengaturan nutrisi yang tepat itulah yang membuat melon dari kebun Supriyadi tetap manis saat musim hujan. Meski begitu Supriyadi mengakui tetap ada sedikit perbedaan tingkat kemanisan dengan buah yang diproduksi saat musim kemarau. “Perbedaannya hanya 1—2o briks,” ujarnya. Menurut Ir Yos Sutiyoso, kadar kemanisan melon pada musim hujan cenderung menurun. “Hal itu disebabkan kurangnya intensitas cahaya dan tingginya kadar air pada buah,” ujar Yos.
Selain itu, penyebab turunnya kadar kemanisan juga disebabkan oleh kurangnya kandungan kalium pada nutrisi yang diberikan. Itu sebabnya Agus tak pernah luput menambah volume kalium pada campuran nutrisi. Dengan melon tetap manis meski penanaman berlangsung pada musim hujan. (Rizky Fadhilah)