Friday, December 1, 2023

Memburu Matoa ke Tanah Asal

Rekomendasi
- Advertisement -

Itu cerita masa lampau. Beberapa tahun mendatang, matoa bisa dijolok menggunakan galah seperti mangga di pekarangan rumah atau kebun rakyat. Sejak 2 tahun silam anggota famili Sapindaceae itu dibudidayakan sebagai tanaman komersial.

Nilai jualnya yang tinggi, Rp30.000—Rp35.000/kg di pasar-pasar buah di seputaran Jayapura ikut mendorong maraknya pengembangan matoa. Masyarakat Papua sudah banyak yang membudidayakan,” papar Ir Apri Sukandar MDiv, calon anggota DPR RI terpilih dari Partai Damai Sejahtera ketika mengajak Trubus berkunjung ke daerah pemilihannya.

Di tanah adat

Menurut Sri Mining AMd, dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Papua, matoa gencar dikembangkan di pekarangan-pekarangan rumah penduduk pada awal 1990-an. Pohon-pohon tinggi menjulang hingga 20—30 m dengan percabangan pertama 4—6 m dari permukaan tanah itulah yang menjadi peneduh di halaman rumah.

“Baru 2 tahun terakhir dibudidayakan di lahan usaha secara luas,” kata Sri Mining saat ditemui Trubus di arena Agro and Food Expo 2004 di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan, pada April. Pengembangan dilakukan di 2 daerah sentra, Kabupaten Jayawijaya dan Yapenwaropen, masing-masing seluas 80 ha dan 50 ha.

Hal senada diungkap Ir La Achmadi MMT, kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jayapura. Sampai saat ini pengembangan matoa kebanyakan hanya di tanah-tanah ulayat (tanah adat, red). Contohnya di kebun milik Tagay di Distrik Kemtuk Gresi, Jayapura. Tak kurang dari 12 ha kebun matoa dikembangkan mantan pegawai Dinas Kehutanan itu sejak beberapa tahun lalu di dusun keluarga.

“Masyarakat adat di sini punya aturanaturan main tertentu untuk pengembangan komoditas sehingga kami tak bisa leluasa memaksa masyarakat,” paparnya.

Contoh lain di tanah adat milik keluarga besar Jacob Sokoy, di Sentani. Di sana puluhan pohon matoa berumur lebih dari 20 tahun tumbuh menghutan.

Saat Trubus berkunjung akhir Juni, tajuk-tajuk pohon rimbun setinggi lebih dari 10 m itu sedang memamerkan buah. Sayang, Trubus tak bisa mencicipi barang sebutir karena buah belum cukup tua. “Sebulan lagi baru bisa panen,” tuturnya. Panen raya memang jatuh pada Juni—Juli. Pada Januari—Februari terkadang terdapat panen kecil. Melihat kondisi buah di pohon, ia memperkirakan dapat memanen 150—200 kg per pohon.

Pdt Bert Koirewoa BTh, ketua Yayasan Rajawali Sentani, menanam sejak 1970-an di lahan seluas 2 ha di Distrik Masirey, Waropen. Malah, “Di desa kami ia sudah menjadi tanaman utama yang harus ada di setiap dusun (kebun milik adat, red),” ungkapnya. Selain dikonsumsi sendiri, hasil panen juga dijemput para pedagang. Di halaman rumahnya di kawasan Toladan, Sentani, rohaniawan Kristen itu juga mengembangkan pembibitan. Lebih dari 500 bibit kini sudah ditanam di kebunnya di daerah itu.

Umumnya pengembangan dilakukan dengan bibit asal biji. “Meski asal biji, bibit disemai dan dirawat khusus di polibag-polibag. Bukan lagi bibit cabutan dari bawah-bawah pohon atau di pinggir hutan,” kata La Ahmadi. Tanaman asal biji mulai berbuah pada umur 8 tahun. Belakangan bibit asal cangkokan juga ditanam.

Bibit ini berbuah lebih cepat, yaitu umur 2—3 tahun. Malah ada yang mulai mencoba memproduksi bibit okulasi di bawah pengawasan Dinas Pertanian Provinsi Papua. Hanya saja, produksi bibit masih terbatas. Itu karena belum ditemukan teknik yang pas untuk okulasi.

Asli Jayapura

Masyarakat Jayapura memang sudah mengenal matoa sejak lama. Namun, semula ia banyak dimanfaatkan sebagai tanaman penghasil kayu. “Matoa termasuk kayu kelas 2 setelah kayu besi,” tutur Sri Mining. Kayu matoa cukup kuat untuk dijadikan kayu konstruksi. Belakangan masyarakat mulai menyadari potensinya sebagai buah unggul daerah. Wajar bila dinas pertanian pun mengelola secara serius. Lihat saja di Kabupaten Jayapura, pada tahun anggaran 2003—2004 dinas pertanian setempat mentargetkan penambahan luas areal matoa sebesar 250 ha.

Konon, buah bernama lokal hamuo itu tanaman asli Kabupaten Jayapura. Tepatnya di Distrik Namblong dan Kemtuk Gresi—sekitar 100 km sebelah barat Bandara Sentani. Dari daerah itu matoa kemudian menyebar di hampir seluruh wilayah kabupaten Jayapura. Penyebaran utamanya di daerah Grimenawa, Genyam, dan Kaureh. Di daerah lain ia juga tumbuh subur meski tak sebanyak di ketiga distrik itu. Contohnya di sepanjang jalan raya menuju Bandara Sentani, 40 km dari Jayapura. Di sana matoa tumbuh subur di pinggirpinggir jalan. Matoa juga berkembang di Kabupaten Serui, Yapen, Waropen, Manokwari, dan Merauke.

Dua macam

Di Papua dikenal 2 macam matoa: kelapa alias hamuo skaluk dan papeda alias hamuo hayo klending. Rasa keduanya tidak berbeda, manis gurih dengan aroma durian.

Di pasaran matoa kelapa dihargai lebih tinggi dibanding papeda. Itu lantaran daging matoa kelapa lebih kenyal, kering, dan ngelotok (mudah lepas dari kulit biji, red). Papeda berdaging lembek, berair, dan tidak ngelotok.

Karena alasan itulah matoa kelapa menjadi idola untuk dikebunkan. “Hampir semua orang memilih mengembangkan jenis kelapa meski harga bibit lebih mahal,” ujar Bert. Bert sendiri hanya memproduksi bibit matoa kelapa lantaran hampir tak ada yang mencari bibit papeda.

Menurut La Achmadi, tanaman matoa gampang tumbuh di mana-mana, terutama di daerah dataran rendah berketinggian 10—500 m dpl. Baik di tanah bertekstur ringan, berat, hingga tanah bebatuan kapur. Jangankan di wilayah Papua, di tempat lain pun dia tumbuh subur. “Lingkungan hidupnya tidak jauh berbeda dengan rambutan,” ungkap kelahiran Buton, Sulawesi Tenggara, itu.

Dari pantauan Trubus, matoa bukan lagi monopoli masyarakat Papua. Di Desa Sukorejo, Kecamatan Udanawi, Kediri, misalnya, buah kebanggaan masyarakat Papua itu kini menghiasi hampir setiap pekarangan rumah penduduk. Di kebun milik Bernard Sadhani di Cianjur ia juga tumbuh subur dan berbuah baik.

Di halaman rumah milik Eddy Wondal, warga Kelurahan Pakowa, Kecamatan Wanea, Manado, 2 pohon matoa asal Papua sudah berbuah sejak umur 2 tahun. “Ia berbuah 2 kali setahun,” ungkap Velma Wondal, putri sulung Eddy. Kini tanaman berumur 4 tahun itu mampu berbuah hingga lebih dari 50 kg per musim. Padahal, pohon masih setinggi 4 m. (Fendy R Paimin)

 

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Pakan Walet Tambahan saat Musim Kemarau

Trubus.id— Musim kemarau kerap menjadi petaka bagi para pengusaha walet di setiap sentra. Apalagi kalau berlangsung lama dan panas...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img