Air itu lalu jatuh membasahi daun-daun jagung yang hijau segar. Itulah solusi yang ditempuh Muhammad Syifried Wahab dalam membudidayakan jagung manis di tanah lempung berpasir.
Idealnya sprinkler ditanam berjarak 14 m x 14 m. Artinya dalam luasan 1 ha dibutuhkan 51 titik pemasangan. Harganya? Pekebun mesti merogoh kocek hingga Rp41-juta. Biaya itu termasuk pengadaan pompa, filter, pengatur tekanan, pembuang gelembung udara, dan jaringan pemipaan.
Jangan mengernyitkan dahi dulu. Untuk menyiasatinya, pekebun di Desa Pandau, Kecamatan Siakhulu, Kabupaten Kampar, itu hanya menyediakan 6 unit sprinkler. Perlengkapan itu tak ditanam permanen supaya dapat dipindah-pindahkan ke area lain yang membutuhkan penyiraman. Frekuensi penyiraman 2 hari sekali ketika musim kemarau dengan durasi 15 menit.
Meningkat 30%
Debit air sebuah sprinkler sekitar 40 liter per menit. Dengan tekanan 2 bar, area penyiraman meliputi 14 m x 14 m atau 933 tanaman. Jumlah air yang terserap setiap tanaman 0,64 liter per 2 hari. Agar merata, pemasangan sebaiknya pada jarak 14 m. Pada tanah berpasir, sprinkler diaktifkan sejak awal penanaman sampai beberapa hari menjelang panen.
Meski penanaman jagung pada musim hujan, sprinkler tetap diperlukan. Itu jika hujan tidak turun lebih dari 4 hari. Apalagi di daerah yang sebaran hari hujan cenderung mengelompok pada hari-hari tertentu. Dampaknya dalam sebulan terdapat hari tanpa hujan selama sepekan atau lebih.
Itulah yang terjadi di Pekanbaru, Riau dan sekitarnya. Lokasi kebun Syifried—demikian Muhammad Syifried Wahab biasa disapa—100 m dari tapal batas Kota Pekanbaru. Setelah mengadopsi teknologi itu, produksi meningkat 20—30%. Ketika belum menerapkan sprinkler, dari 47.619 tanaman per ha dipanen 16.666 tongkol.
Tongkol penuh
Selain itu, mutu jagung juga membaik. Contoh panjang tongkol dan persentase tongkol dengan biji penuh meningkat 30%, sehingga sangat memenuhi syarat sebagai jagung bakar (>16 cm). Peningkatan kuantitas dan kualitas itu karena pemberian air yang teratur.
Empat tahun lalu, ayah 3 anak itu kerap menuai tongkol yang ompong tanpa biji. Kalaupun berbiji, biasanya tidak merata. Harap mafhum, saat itu pemberian air memang tidak teratur. Air amat vital perananannya dalam pertumbuhan jagung. “Dalam budidaya tanpa sprinkler, persentase tongkol tidak penuh mencapai 50% dari jumlah tongkol yang dipanen. Setelah menggunakan sprinkler, tongkol berbiji penuh meningkat menjadi 80%,” ujarnya. Ia 4 kali menanam jagung tanpa sprinkler masing-masing seluas 1 ha.
Menurut alumnus Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor itu, dengan sprinkler penyiraman lebih halus dan merata. Kelebihan lain watering area alias daerah siram lebih luas sehingga biaya per m2 lebih murah. Sprinkler menjadi juru selamat di sana. Maklum tanah di sekitar Pekanbaru umumnya bertekstur pasir berlempung dengan jenis tanah podsolik merah kuning atau kerap disebut kultisol. Jenis tanah itu cenderung miskin hara. Sedangkan lapisan atas tanah berupa pasir dipastikan tak mampu menyimpan air.
Teknologi serupa pernah Trubus saksikan di Kabupaten Pakchong, Provinsi Nakhon Ratchasima, 155 km tenggara Bangkok, Thailand. Di wilayah bercurah hujan 1.200 mm/tahun itu pekebun memanfaatkan sprinkler dalam budidaya jagung. Sansern Jampatong PhD, periset jagung di Suwan Wajokkasikit Field, menuturkan, areal penanaman jagung di provinsi itu tercatat 414 ha. Yang ditanam umumnya jagung hibrida sebagai pakan ternak
Dari melon
Syifried menanam jagung seluas 1 ha dengan sprinkler . Lahan itu ditanami secara bergiliran dalam 10 petak yang terdiri atas masing-masing seluas 1.000 m2. Interval penanaman setiap pekan dengan populasi 4.762 tanaman per petak. Jarak tanam 30 cm x 70 cm, sebuah lubang tanam hanya diisi satu benih. “Karena jenis tanah berpasir dan tidak subur, jarak tanam ini yang paling sesuai ditinjau dari persentase pengisian biji dan ukuran tongkol,” kata Syifried.
Mahalnya biaya tenaga kerja di Riau—Rp. 25.000 per hari kerja—juga mendasari diterapkannya sprinkler di kebun Syifried. Dengan sprinkler, budidaya menjadi efisien. Bagaimana dengan irigasi tetes yang memungkinkan untuk diterapkan? “Pernah ada demplot irigasi tetes pada jagung dari Dinas Pertanian Provinsi Riau. Irigasi tetes sangat mahal untuk jagung, sehingga diperlukan alternatif sistem penyiraman yang lebih murah,” katanya.
Meski mengadopsi teknologi canggih pada komoditas jagung, Syifried masih mampu meraup laba (baca: Tak ‘Kan Lari Laba Didekati, halaman 60). Budidaya jagung dengan sprinkler dimulai 2 tahun lalu. Ide awalnya dari pengalamannya mengembangkan melon beririgasi tetes. Kualitas kerabat mentimun itu lebih baik. Misalnya terasa lebih manis dan renyah. Lantaran dinilai mahal, ia pun menanam sprinkler di kebun jagung. Hasilnya? Amat memuaskan. (Sardi Duryatmo)