Kursi kosong yang ditinggalkan segera diisi oleh pembeli lain. Tiga orang wanita terlihat sibukmelayani mereka. ’’Pelanggan disini kebanyakan pesan jamu kuat dan pembangkit gairah,’’ ujar Lia Puspita, penjaga kios jamu di Bilangan Depok, Semarang.
Soal larisnya jamu pembangkit gairah diakui oleh para penjual lain di Citarum, Pedurungan, dan Kaligawe, Semarang. Menurut Sujandi, penjual jamu di Citarum, jamu-jamu itu menyumbangkan 70% dari total omzet penjualan Rp300-ribu per malam. Senada dengan Sujandi, Lia mengatakan 60% dari pelanggannya merupakan pasangan suami istri yang ingin greng saat berhubungan.
Kebutuhan masyarakat terhadap jamu kuat sejak lama dirasakan produsen-produsen jamu besar di Indonesia. PT Sidomuncul di Ungaran, Semarang, memproduksi 300 ton jamu senilai Rp150-miliar selama 2002. Produk jamu kuat, pembangkit gairah dan peningkat stamina seperti Kukubima, Sehat Pria, dan Kunyit Asam menyumbangkan 80% dari total omzet. Menurut Irwan Hidayat, direktur PT Sidomuncul, peningkatan penjualan produk-produk itu mencapai 30—35% per tahun.
Omzet penjualan terbesar Nyonya Meneer juga diraih dari produk kejantanan dan kecantikan. Lima macam jamu seperti Sehat Perkasa, Galian Singset, Galian Rapet, Peputih, dan Awet Ayu mengambil pangsa 70% dari total produksi 200 ton jamu bubuk dan 4 ton kapsul.
Meningkat
Ramainya konsumen yang mencari ramuan pembangkit gairah pun dirasakan Karyasari, produsen tanaman obat di Pondokgede,Bekasi. Menurut Ir Widisih Pudji Winarto, direktur Karyasari, 10% dari jumlah pasien yang ditangani merupakan penderita disfungsi ereksi.
Angka itu meningkat menjadi 30% karena sebagian besar penderita diabetes mellitus mengalami disfungsi ereksi. Kenyataan itu mendorong Winarto membuat kapsul khusus untuk penderita gangguan seksual. “Kami berusaha mencari jamu yang praktis,” ujar alumnus Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor itu. Kapsul berisi ekstrak jahe merah, lengkuas merah, tapak liman, daun sendok, dan mahkota dewa itu dijual dengan harga Rp1.000 per kapsul.
Menurut Ir Bambang Supartoko, kepala hubungan masyarakat PT Sidomuncul, bahan baku utama jamu kuat sebagian besar masih impor. Contohnya Tribulus terrestis yang didatangkan dari Bulgaria. Namun, sejak 2002 tanaman itu dikembangkan di Kecamatan Andong Boyolali, dan Kecamatan Tempuran, Magelang.
Saat ini kebutuhan tribulus mencapai 5 ton kering per bulan. Satu kg kering berasal dari 5 kg basah. Namun, yang terpenuhi baru 2—3 ton kering per bulan. Itu hasil pasokan Koperasi Kelompok Tani Sidomakmur dan Kelompok Tani Tanaman Obat dengan luasan 2—3 ha perkelompok. Rencananya pada 2003—2004 ini diperluas sampai 10 ha per kelompok.Harga jual Rp6.000 per kg kering atau Rp1.000 per kg basah.
Bermitra
Kemitraan untuk menjamin kontinuitas dan kualitas pasokan juga diterapkanKaryasari. Winarto bekerjasama dengan 50 pekebun tanaman obat yang ratarata mengelola lahan 1.000—5.000 m2. Menurut kelahiran Purwokerto itu peluang bermitra masih terbuka terutama untuk daun sendok, tapak liman, mimba, dan mahkota dewa.
Daun sendok misalnya, baru dipenuhi mitra 50 kg kering atau 300 kg basah/bulan. Padahal kebutuhan mencapai 500 kg basah. Daun sendok dihargai Rp18.000, sedangkan tapak liman Rp12.000 per kg kering. Kebutuhan mimba lebih besar lagi mencapai 100 kg kering atau 800 kg basah. Karyasari masih membutuhkan sekitar 40% dari angka itu. Azadirachta indica itu dibeli Rp15.000 per kg kering. Begitu juga dengan mahkota dewa, Karyasari masih kekurangan pasokan 300 kg basah per bulan.
Purwoceng yang lebih sulit dibudidayakan kini juga dimitrakan. Pimpinella alpina hanya tumbuh di dataran berketinggiandi atas 1.000 m dpl seperti Dieng dan Tangkubanparahu. Kelangkaan itu membuat harga melambung sampai Rp70.000 per kg basah.
Tolak permintaan
Menurut Haryanto, ketua Kelompok Tani Rukun Desa Sikunang, Kecamatan Kejajar, Wonosobo, saat ini tercatat 25 pekebun purwoceng dengan luasan total kurang dari 1.000 m2. Jaminan pasar didapat dari Sidomuncul, Pemda Banjarnegara dan Wonosobo, serta perusahaan jamu di Pekalongan, dan Semarang. Haryanto menolak permintaan sebuah perusahaan jamu di Surabaya karena tak sanggup memasok. “Perusahaan minta 200 kg basah per minggu. Padahal produksi kami baru 50 kg basah per bulan,” katanya.
Kelompok Tani itu mulai memperbanyak 2.000 batang sebagai bibit untuk meningkatkan produksi. Perbanyakan dengan memindahkan biji-biji yang tumbuh di sekitar tanaman induk. Cara ini tergolong sulit karena purwoceng baru menghasilkan biji setelah berumur 1 tahun.
Menurut Mubasir, pekebun pelopor purwoceng di Pegunungan Dieng, menanam purwoceng bisa menjadi tumpuan pokok keluarga. Hanya dengan luasan 300 m2 ia bisa mendapatkan Rp18-juta per tahun. Biaya produksi rendah karena perawatan mudah dan tidak perlu pupuk kimia, cukup dengan pupuk kandang 200 kg setahun.
Pekebun lain rata-rata menanam hanya dengan luasan 12 m2 sebagai tanaman pekarangan. Namun aktivitas itu bisa menambah pendapatan sampai Rp2-juta per tahun.
Pekebun di Banjarnegara juga mulai mengebunkan ginseng jawa alias kolesom. Menurut Edy Sumarsono dari UD Sekar Tani, ia tertarik mengebunkan karena kolesom menjanjikan laba besar. “Dengan menanam 1 paket bibit (250 batang, red) bisa dapat Rp18-juta—Rp25-juta,’’ katanya.
Berdasarkan pengalaman pekebun di Sragen, panen perdana setelah 4 bulan. Setiap batang menghasilkan 0,2—0,4 ons akar basah. Kolesom kering dijual seharga Rp2,5-juta per kg. Langkah Edy diikuti 20 tetangga di sekitar tempat tinggalnya yang rata-rata menanam 1—2 paket.
Peluang mengebunkan tanaman pemacu greng masih terbuka. Salah satu caranya dengan bermitra. Namun, menjadi mitra perusahaan tak semudah yang dibayangkan. Yang menjadi mitra biasanya terbatas pada pekebun yang lahannya cocok dengan tanaman tertentu. Selain itu perusahaan tidak membayar secara tunai, contohnya sebuah perusahaan di Surabaya. Ada juga yang mengharuskan plasma menjadi peserta pelatihan sebelum menjadi mitra untuk meminimalkan kerugian kedua belah pihak. (Destika Cahyana/Peliput: Dian Adijaya Susanto dan Fendy R Paimin)