Trubus.id — Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati tanaman obat seperti kunyit, sirih, kapulaga, jahe, kelor dan lainnya. Pada kesempatan Pertemuan Menteri Kesehatan G20/Health Ministerial Meeting (HMM) 2022 menjadi momentum untuk mengenalkan ragam ramuan tradisional Indonesia ke pentas dunia. Tujuannya, agar masyarakat global lebih mengetahui berbagai manfaat tanaman obat yang telah lama digunakan masyarakat Indonesia.
Ekspose produk tananam obat digelar dalam pameran Ekshibisi Biodiversity Tradisional Medicine Indonesia. Pameran ini mengekspose tanaman obat yang sudah melewati penelitian dan terbukti berkhasiat dalam pengobatan tradisional. Diikuti oleh unit Kementerian Kesehatan, seperti Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK), Direktorat Jenderal (Ditjen) Farmasi dan Alat Kesehatan, Ditjen Kesehatan Masyarakat, Pusat Data dan Informasi, serta Digital Transformation Office (Pusdatin-DTO).
Peserta pameran lainnya dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, PT Sido Muncul, PT Indofarma, PT Biofarma dan Kimia Farma Holding Pharmacy, Tirta Ayu Spa, serta Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu (B2P2TOOT).
Akhmad Saikhu, Kepala B2P2TOOT, mengatakan, keikutsertaan lembaganya dalam pameran ini adalah untuk mengenalkan kekayaan tanaman obat pada dunia internasional.
“Manfaatnya yang diharapkan dapat dikembangkan ke arah riset khasiat tanaman obat dan pengembangan kesehatan masyarakat,” kata Akhmad Saikhu, dikutip dari laman Indonesia.go.id.
Tanaman obat itu dikemas menjadi suvenir dan diberikan secara gratis kepada delegasi G20 yang hadir. Akhmad Saikhu berharap, negara-negara G20 tertarik dan ikut mengembangkan tanaman obat asli Indonesia.
Pengembangan obat tradisional di Indonesia digolongkan menjadi tiga. Pertama, jamu, yang keamanan dan khasiatnya telah dibuktikan secara uji klinis. Lebih dari 12.000 jenis jamu ada di Indonesia.
Kedua, obat herbal terstandar (OHT) yang telah melalui uji praklinis (pada hewan percobaan) dan bahan bakunya yang telah terstandardisasi. Saat ini, terdapat sekitar 86 OHT di Indonesia.
Ketiga, obat yang masuk dalam pengobatan esensial yang lebih lengkap yakni fitofarmaka. Fitofarmaka adalah bagian OHT yang sudah melalui uji praklinis (pada hewan percobaan) dan uji klinis (pada manusia) di mana bahan baku dan produk jadinya sudah distandardisasi.
Saat ini, terdapat 24 jenis obat fitofarmaka di Indonesia yang sudah diproduksi. Jenis-jenis obat tersebut antara lain obat imunomodulator, obat tukak lambung, obat antidiabetes untuk menurunkan gula darah, dan obat antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah.
Selain itu, ada obat untuk melancarkan sirkulasi darah supaya tidak terjadi sumbatan di pembuluh darah. Ada pula obat untuk meningkatkan albumin bagi pasien yang membutuhkan protein seperti pasien haemodialisa/cuci darah.
Adapun standar prasyarat mutu uji klinik bahan baku herbal yang akan digunakan dalam produksi obat tradisional ditetapkan dalam Farmakope Herbal Indonesia. Dalam masa pascapengolahan panen tanaman obat, perlu dilakukan pengujian obat tradisional yang bisa menjadi OHT atau fitofarmaka di laboratorium pengujian mutu, pembuatan simplisia, dan saintifikasi jamu yang ada di seluruh Indonesia.
Indonesia dengan hutan tropis sekitar 143 juta hektare mempunyai keanekaragaman spesies, baik tumbuhan/tanaman maupun hewan. Sebanyak 80 persen atau sekitar 2.800 spesies tanaman obat di dunia berasal dari hutan tropis di Indonesia.
Menurut Dante S. Harbuwono, Wakil Menteri Kesehatan, obat tradisional sering dimanfaatkan secara luas di masa pandemi yang baru dilewati masa puncaknya. Sekitar 79 persen masyarakat mengonsumsi obat tradisional untuk meningkatkan daya tahan tubuh pada masa pandemi Covid-19.
“Ini akan memberikan kontribusi pengobatan terhadap 270 juta penduduk Indonesia yang cakupannya 82,3 persen adalah peserta JKN dan ini merupakan pasar potensial bagi produk yang akan terbentuk berasal dari fitofarmaka tersebut,” jelas Dante.
Peningkatan pemanfaatan fitofarmaka sebagai salah satu unggulan produk dalam negeri merupakan rancangan menuju kemandirian pengobatan untuk masyarakat Indonesia. Sebab, fitofarmaka dibuat dengan menggunakan bahan baku asli Indonesia, diproduksi di Indonesia, dan memenuhi standar yang ditetapkan di Indonesia.