Trubus.id — Pola penyebaran kulim di alam lazimnya berkelompok. Salah satu ancaman penyebaran dengan berkelompok dan populasi yang terpecah adalah menurunnya keragaman genetik. Oleh karena itu, diperlukan upaya konservasi kulim untuk menjaga keanekaragaman genetik kulim.
Salah satu caranya dimulai dengan membangun petak konservasi eks-situ atau di luar habitat. Hal ini bertujuan untuk mengatasi anjloknya keragaman genetik. Manfaatnya sebagai petak konservasi genetik sekaligus sebagai materi genetik untuk pembangunan populasi dasar dalam strategi pemuliaan.
Menurut Dodi Frianto, Pengendali Ekosistem Hutan Muda di Balai Penerapan Standar Instrumen LHK Kuok, keanekaragaman genetik yang tinggi diperlukan untuk mempertahankan kehidupan suatu jenis dari serangan hama penyakit dan adaptasi lingkungan. Keanekaragaman genetik menempati posisi kunci dalam program pemuliaan.
“Alasannya optimal atau maksimal perolehan genetik sifat-sifat tertentu dapat dicapai ketika ada peluang untuk menyeleksi gen demi mendapatkan sifat yang diinginkan,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan penelitian terhadap keanekaragaman genetik kayu kulim di Riau (Kampar, Duri dan Indragiri Hulu) menunjukkan, tingkat keanekaragaman genetik populasi kulim 0,179–0,265. Keragaman genetik tertinggi terdapat di Kabupaten Kampar.
Nilai keragaman genetik antarpopulasi kulim rata-rata 0,226. Nilai itu lebih rendah daripada distribusi tumbuhan di wilayah tropis. Nilai rata-rata keanekaragaman genetik kulim lebih besar daripada jenis lain seperti sengon (0,1852), jabon putih (0,204), jabon merah (0,200) nyamplung (0,186), dan kayu afrika (0.137).
Keanekaragaman genetik kulim di Riau dinilai cukup bagus. Namun, beberapa kasus di lapangan menunjukkan cukup banyak anakan tingkat semai yang albino. Hal itu mengindikasikan kulim mengalami inbreeding.
Terjadinya inbreeding indikator rendahnya keanekaragaman suatu individu di alam. Rendahnya keanekaragaman menyebabkan tanaman sulit beradaptasi dengan lingkungannya. Kasus albino pada kulim sebuah indikator tentang kurangnya jumlah populasi pohon di lokasi itu.
Ia mengatakan kulim memiliki bunga monosius sehingga perkawinan dapat melalui perantara angin dan serangga. Terjadinya perkawinan silang melalui penyerbukan, khususnya penyerbukan terbuka dan penyerbukan silang.
Jika jumlah populasi pohon dalam satu lokasi terbatas, terjadilah inbreeding sehingga muncul kulim albino. Berdasarkan analisis diversitas genetik menunjukkan kulim terdistribusi pada setiap populasi yang diamati sebesar 25,61% (Duri, Indragiri Hulu, dan Kampar). Sebanyak 74,39% variasi genetik terdapat di antara populasi Duri, Indragiri Hulu, dan Kampar.
Hubungan kekerabatan antarpopulasi dianalisis dengan jarak genetik Nei menunjukkan populasi S. borneensis membentuk dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas populasi Duri dan Indragiri Hulu serta kelompok kedua yakni populasi Kampar.
Hal itu menunjukkan populasi Indragiri Hulu dan Duri memiliki kedekatan secara genetik dibanding Kampar. Populasi kulim di Kampar memiliki keragaman genetik dan potensi tertinggi sehingga ditetapkan sebagai kebun benih teridentifikasi.
Tegakan benih kulim teridentifikasi berada di Hutan Adat Imbo Putui Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau. Penetapan kebun benih teridentifikasi dilakukan oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan Wilayah I Palembang.
Penetapan sebagai Tegakan Benih Teridentifikasi berlaku sejak 17 Oktober 2017 dengan Kepemilikan Masyarakat Adat Desa Petapahan. Terdapat 86 pohon indukan kulim berdiameter 25–46 cm dan tinggi 12–25 meter yang terhampar di areal seluas 20 hektare.
Kriteria penetapan tegakan benih teridentifikasi yakni tegakan berasal dari hutan alam atau hutan tanaman dan asal-usul benih tidak diketahui karena tumbuh secara alami. Jumlah populasi minimal 25 pohon indukan, kualitas tegakan di atas rata-rata, memiliki aksebilitas yang mudah, dan sudah menghasilkan buah/anakan.