Sosoknya masih tampak kokoh dan bersih walaupun mereka sudah ada di sana sejak 1991. Isinya leopard, melon, blue diamond, cobalt, dan strain lama lain. Strain-stran diskus yang selalu mengisi akuarium itu menanti giliran terbang ke Jepang dan Jerman.
Roda kehidupan Satya Dharma Wisuddhi bagaikan berputar 180o dibandingkan era 2003. Waktu itu ia mengosongkan 20—30 akuarium diskusnya dan mengganti dengan lou han. “Karena teman yang ngajak main lou han. Tapi saya masih pelihara 500 diskus untuk hobi,” ujar Dharma.
Runtuhnya kejayaan lou han pada awal 2004 bagaikan mentari yang menerangi suramnya bisnis diskus. Para peternak seperti Satya Dharma Wisuddhi mulai menggeliat dari ketidakberdayaan. Pria setengah baya pecinta kungfu itu, misalnya, sebulan sekali sibuk menjaring ikan cakram dari akuarium. Memasukkannya ke dalam kantong plastik berdiameter 5 cm, memompa oksigen, dan mengikat plastik itu seerat mungkin. Plastik kemudian dimasukkan dalam dus berukuran 40 cm x 70 cm berisi 40 ekor. Ketelatenan Dharma membuat sang diskus tiba di tempat baru dengan selamat.
Itulah rutinitas Dharma setiap bulan, mengirim diskus ke para eksportir di Jakarta dan beberapa kota di Jawa. Menurut pemilik Arya Aquarium itu, saat lou han merajai dunia ikan hias, permintaan diskus berkurang hingga 50%. Kini pesanan meningkat sampai 800 ekor sekali kirim. Waktu Trubus berkunjung ke farm-nya, satu bulan lalu ia baru mengirim 800 diskus ke Jerman dan Jepang. Dharma mengaku, tahun ini keuntungan berbisnis diskusmeningkat 10—20%. Namun, belum bisa menyaingi saat jaya pada 1998.
Merangkak
Berpendarnya diskus diamini oleh Albert R Suwono nun di Surabaya. Mahasiswa Universitas Surabaya Jurusan Hukum itu, 6 bulan lalu mengirim 500 the queen of fresh water fi sh ke Srilanka. “Kemarin saya dapat order dari Amerika Serikat sebanyak 500 ekor leopard snake skin. Tapi cuma bisa dipasok 200 ekor,” tutur pemilik Villa Discus itu melalui pesan singkatnya pada Trubus. Ia menghitung, terjadi kenaikan permintaan sebanyak 30% dibandingkan tahun 2004.
Herman Oei, eksportir di Jakarta, juga merasakan rangkakkan permintaan diskus. sampai sebesar 50%. Setiap bulan ia menerbangkan 2.000 diskus ke Italia, Portugal, Swedia, dan Kanada. Untuk memenuhi permintaan itu, pria yang hampir 15 tahun berkecimpung di dunia diskus menambah akuariumnya menjadi300 buah. Penambahan yang fantastis karena sebelumnya ia hanya memiliki 12 akuarium. “Sekarang pasar diskus kembali stabil. Ya, saya tetap setia saja bermain di sini,” tutur pria berusia 40 tahun.
Pada masa jayanya di era tahun 2.000, Trubus mencatat, lebih dari 14 eksportir diskus yang tersebar di Jakarta, Bandung, Jogyakarta, dan Surabaya. Kini walau belum menyamai angka itu, tapi ada kecenderungan pemain terus bertambah. Pasar lokal maupun ekspor semakin bergairah. Dulu Suwandi Surya, peternak sekaligus eksportir di Tangerang rutin memasok permintaan 30.000 diskus jenis cobalt, torquies berbagai ukuran dari Jerman. Demikian Yudi Raharja, harus membuat 15 plasma untuk memenuhi permintaan ekspor.
Masa jaya diskus memang belum terulang. Buktinya, Rini Widayati, Pelayanan Operasional Balai Karantina Ikan mengatakan total ekspor ikan hias Indonesia 2005 sebesar 3.633.611 ekor. Diskus berada di urutan 10. Jumlah itu sedikit lebih banyak daripada tahun lalu, tapi masih jauh dibanding tahun 2000-an.
Para hobiis kini mulai menernakkan diskus yang hasilnya 90—95% beredar di pasar lokal. Harganya sekalipun strain lama masih tinggi, misalnya burayak cobalt Rp9.000/ekor. Sementara marlboro 2,5 cm dipatok Rp 50-ribu dan turquoise ukuran yang sama Rp25-ribu/ekor.
“Memang ada kecenderungan pasar lokal meningkat. Tapi tidak terlalu besar,” ujar Erwin, anggota Klub Discus Jakarta. Permintaan pasar lokal ke pemilik 100 akuarium itu bertambah 5% dibanding tahun lalu. Berbeda yang dialami Dharma dan Albert, permintaan diskus meningkat drastis. Kedua pemain kawakan itu setiap bulan harus memenuhi permintaan pelanggannya 2.000—10.000 diskus untuk dijual di dalam negeri.
Albert sekarang sedang giat memproduksi. Pemilik Villa Discus itu memiliki 200 akuarium pembesaran dan 60 akuarium indukan. Total ikan cakram yang dipunyai berjumlah 2.000 ekor ukuran 2—5 inci dan ribuan burayak. “Program saya, menambah dan menambah indukan. Lihat akuariumnya sudah disediakan,” katanya.
Dibandingkan masa jaya diskus dahulu, permintaan strain diskus tidak berubah. Di era 2003, penggemar ikan cakram di mancanegara meminta strain lama. Hal itu pun terjadi sekarang. “Biasanya strain murah yang diminta eksportir,” ujar Dharma. Strain cobalt, snake skin, turquoise, pigeon, melon, blue diamond, dan marlboro banyak dijumpai di tempat pengemasan diskus. Menurut Albert, ketua sekaligus pendiri Asosiasi Discus Surabaya, Amerika Serikat lebih suka blue diamond, pigeon, melon, dan blue cobalt; lokal, diskus spotted (totol, red). Harga jual ke Amerika Serikat US$ 3/ ekor, stabil dari tahun ke tahun.
Di pasar lokal, beberapa jenis diskus harganya meningkat. Sebut saja cobalt, dulu hanya Rp7.500/ekor untuk yang berukuran 2 inci, sekarang Rp10-ribu/ekor. Jenis lain sama-sama berukuran 2 inci: marlboro, Rp35-ribu—Rp40-ribu/ekor; melon standar, Rp50-ribu/ekor; dan leopard, Rp75-ribu—Rp100-ribu/ekor. Harga eceran blue diamond di pasar lokal ukuran 5 inci Rp165-ribu—Rp 354-ribu/ekor.
Rintangan
Bangkitnya perniagaan diskus hanya bisa dinikmati jika aral alpa menghalang. Ambil saja contoh Santoso Liman, pemain senior sejak 1975. “Pasar menghendaki ikan murah. Saya rugi jualnya,” ujar pensiunan PT Astra itu. Biaya operasional yang dikeluarkan lebih besar dibanding harga jual. “Listrik Rp3-juta, air Rp1-juta, karyawan Rp3,5-juta, dan pakan Rp800-ribu. Itu untuk 5.000 ikan,” urai Santoso.
Ongkos angkut pesawat pun sampai detik ini masih menjadi batu karang bagi para eksportir. Biaya angkut dengan Garuda sebesar US$ 0.7 per kg. Sedangkan ke New York US$ 4.3 per kg dan ke Singapura US$ 2. Minimum pengiriman 100 kg. “Kita kalah saing dengan Singapura dan Malaysia. Biaya angkut mereka jauh lebih murah,” kata Santoso. Sistem pembayaran pun terkadang lebih unggul. “Mereka bisa memberi kelonggaran pembayaran sampai 2 bulan,” ujar Albert.
Selain itu, iklim luar negeri mempengaruhi pasar ekspor. Sepanjang Juni—Agustus ekspor kurang bagus karena di Eropa dan Amerika Serikat sedang musim dingin. Permintaan menurun drastis. Kondisi kembali normal menginjak akhir Agustus—September.
Yang lebih parah ialah sandungan penyakit. Th io Tonny Berthiolios, peternak sekaligus raiser diskus, pada 2000 babak belur. Sejumlah besar diskus miliknya mati lantaran terserang velvet. Tubuh diskus tampak berbercak putih. Jika ikan terinfeksi, paling hanya setengahnya yang bisa pulih. Sisanya terkapar. Untuk mencegahnya, Hartopo Suryoputro, peternak diskus di Semarang, menjaga pH air pada angka 6—8. Suhu berada di kisaran 28—30o C.
Andai saja 4 sandungan berbisnis diskus itu terlampaui, naik daunnya bisnis diskus dapat dicecap. Itulah yang terjadi pada Satya Dharma Wisuddhi, Albert R Suwono, Herman Oei, dan Erwin Nursalim. (Lastioro Anmi Tambunan)