
Empat langkah mitigasi—tindakan mengurangi dampak bencana—bagi peternak unggas saat pandemi korona.
Trubus — Akibat pandemi Covid-19 peternak terpukul dua kali: terhambat dalam mengakses input produksi dan terkendala saat hendak memasarkan hasil ternak ke pasar. Ujung-ujungnya, kapasitas produksi harus dibatasi. Dalam industri perunggasan, yang membutuhkan pertolongan segera adalah peternak unggas, terutama peternak ayam mandiri.
Ongkos berternak terus naik karena kenaikan harga pakan, obat-obatan, dan harga ayam usia sehari (DOC) serta ongkos tenaga kerja. Namun, harga jual dalam bentuk daging ayam hidup (lifebird) di level peternak tak menentu. Harga lifebird di tingkat peternak jatuh hingga Rp13.000 per kg. Jauh dari ongkos produksi Rp18.000 per kg. Situasi semacam itu berlangsung sejak Agustus 2018. Mereka tekor lebih dari Rp3 triliun.
Harga anjlok
Kerugian memang bisa disetop, tetapi pekerja harus di-PHK. Lalu, utang modal di bank dan utang pakan di pabrik harus dibayar pakai apa? Pertanyaan yang tak mudah dijawab: realistiskah meneruskan usaha yang rugi? Hingga saat ini belum ada solusi mujarab. Termasuk menjawab anomali: saat harga lifebird jatuh, mengapa harga di konsumen tetap tinggi?
Sejauh ini solusi yang dibuat bersifat reaktif, ad hoc, dan jangka pendek, seperti pemusnahan (cutting) telur tertunas atau apkir dini induk ayam. Menurut data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, pada 2020 diperkirakan produksi DOC 3,32 miliar ekor setara 3,68 juta ton daging ayam.
Tingkat konsumsi daging ayam 3,45 juta ton sehingga ada surplus 233.512 ton, tak jauh beda dari surplus 2019 (236.964 ton). Wajar bila kemudian tekanan harga di sisi produsen berlanjut. Bahkan, akibat pandemi Covid-19, tekanan harga di level peternak bisa lebih besar daripada tahun lalu. Anehnya, anomali harga masih tetap berlanjut: harga yang jatuh di level produsen tidak diikuti penurunan harga di tingkat konsumen akhir.
Sejauh ini pemerintah mengucurkan dana Rp695 triliun untuk pemulihan ekonomi dan penanganan Covid-19. Sayangnya, dari jumlah itu belum ada yang secara khusus diberikan kepada industri perunggasan. Terkait itu, dalam jangka pendek perlu segera dibuat langkah mitigasi untuk menyelamatkan dan melindungi peternak unggas, terutama peternak mandiri.

Pertama, pemerintah perlu merealokasi stimulus Rp695 triliun. Sebagian stimulus itu bisa dialirkan ke industri perunggasan guna membantu peternak ayam mandiri. Bentuknya bisa restrukturisasi kredit atau subsidi bunga. Kedua, perlu dibuka peluang sebagian uang penerima bantuan pangan nontunai dibelikan daging ayam. Selama ini penerima bantuan hanya bisa menukar uang yang diterima dengan beras, telur, dan gula.
Opsi itu mestinya terbuka karena nilai manfaat bantuan naik, dari Rp150.000 menjadi Rp200.000 per bulan. Penerima bantuan pun diperluas, dari 15,5 juta keluarga menjadi 20 juta keluarga. Seperti pepatah sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, langkah itu untuk memastikan warga penerima bantuan tercukupi kebutuhan proteinnya, dan surplus ayam terserap oleh pasar.
Ketiga, peternak ayam perlu didampingi dan diadvokasi agar bisa meningkatkan kapasitas dan lebih berdaya berperang melawan korona. Bagi peternak unggas, akses dan kesempatan agar ada yang membeli produk mereka lebih penting daripada bantuan tunai dan kredit. Saat ini, secara makro, berbagai stimulus diberikan pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat.
Daya beli hanya efektif kalau masih terdapat barang dan jasa yang dihasilkan sektor produksi, termasuk peternak, paling tidak di tingkat aktivitas minimum. Pendek kata, peternak harus dipastikan tetap bisa bekerja saat perang melawan korona. Keempat, menggalakkan altruisme. Hari-hari ini banyak pihak membuat kegiatan donasi, crowd funding atau mengundang sukarelawan, guna saling membantu.
Integrasi hulu-hilir
Peternak ayam juga membutuhkan itu. Perusahaan integrator, pembibitan, dan pakan unggas misalnya, bisa membagikan karkas atau lifebird produksi peternak mandiri atau mitra ke warga, sebagai bagian tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Bila itu dilakukan simultan oleh banyak perusahaan, anjloknya harga lifebird akibat pasokan berlebih bisa dikurangi.
Di luar itu, berbagai platform daring untuk memesan makanan, barang atau sekadar sebagai kurir dapat dimobilisasi pemerintah. Tujuannya menjaga keseimbangan antara sisi permintaan dan produksi pada tingkat minimum. Pesanan Rp30.000 per rumah tangga ke pasar basah, rumah makan, dan gerai waralaba yang menjual produksi peternak, petani, dan nelayan dengan jasa kurir ojek daring cukup untuk meneruskan penghidupan hari ini menuju esok hari bagi masyarakat yang hidup dari ekonomi berbagi.
Namun, itu semua tidak cukup. Setelah perang melawan korona, peternak perlu kebijakan yang menjamin kontinuitas dan keadilan. Perlu langkah simultan dalam jangka menengah-panjang. Yang terpenting adalah mempercepat transformasi industri perunggasan ke arah lebih modern, terintegrasi, dan lebih ke hilir guna meningkatkan nilai tambah.
Pembatasan sosial membuat konsumen membatasi pergerakan keluar rumah dan makan di luar. Sebagai gantinya, mereka beralih makan di rumah dan membeli makanan olahan, termasuk daging, hasil rantai dingin. Pandemi tak selamanya membawa bencana, tapi juga berkah. Bagi perusahaan integrator, pandemi memberi insentif mereka segera menyelesaikan integrasi hingga ke hilir.
Oleh karena itu, integrator mesti membangun rumah pemotongan unggas plus cold storage, dan industri pengolahan seperti diatur Permentan 32/2017. Integrator juga seharusnya segera mengintegrasikan seluruh mata rantai nilai dari produksi primer, distribusi, pengolahan, pemrosesan hingga penjualan di pasar dengan pendekatan from feed to meat.
Langkah ini selain memperbesar nilai tambah juga jadi solusi kelebihan pasokan. Jika ini berjalan, pemisahan pasar ternak secara gradual bakal terjadi. Integrator melayani pasar premium, yakni pasar hotel, restoran, dan katering, pasar modern, dan pasar ekspor melalui rantai dingin. Sebaliknya, pasar tradisional dilayani peternak rakyat melalui rantai segar.
Pemisahan pasar akan mengeliminasi watak predatorik integrator. Saat ini, 90% komoditas ayam (produksi peternak rakyat dan integrator) dijual dalam bentuk hidup di lapak yang sama: pasar basah. Sisanya dipasarkan dalam bentuk aneka olahan. Terakhir, perlu ada skema harga khusus jagung bagi pakan ternak. (Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia & anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan)