Tulisan “Salak Organik” di secarik kertas ampuh menarik puluhan pengunjung pameran Agro Forestry 2003 untuk menghampiri paviliun Kabupaten Magelang. Setelah mencicipi manisnya salak organik, 300 kg ludes diborong pengunjung dalam 4 jam. Padahal harganya relatif mahal, Rp6.000 per kg.
Buah yang dipamerkan itu antara lain hasil kebun Faizin. Tujuh tahun terakhir, pekebun di Krakitan, Kabupaten Magelang, itu intens mengembangkan salak nglumut organik. Ia pertama kali menanam anggota famili Arecaceae itu pada November 1993.
Total jenderal 1.900 pohon ditanam dengan jarak 2 m x 2 m. Enam bulan kemudian ia memberikan 20—30 kg pupuk kandang dan 0,5 kg NPK per tanaman. Itulah dosis pemupukan per tahun. Pemupukan biasanya pada April–Mei setiap tahun. Dosis ditingkatkan menjadi 40 kg per tanaman per tahun setelah berumur 3 tahun.
Hasilnya produktivitas rata-rata per tanaman meningkat. Tanaman berumur 6 tahun menghasilkan 8—10 kg per tahun. Atau meningkat 1—1,5 kg per tanaman ketimbang salak nonorganik berumur sama. Yang menggembirakan buah kelas A dan B meningkat masing-masing 10% dari sebelumnya 20% dan 30%.
Besar
Kelas A terdiri atas 10—12 buah per kg dan berkulit cerah; B, 13—20 buah. Saat ini harga buah kelas A di tingkat pekebun Rp3.500 per kg. Dengan populasi 1.900 tanaman dan produktivitas rata-rata 8 kg per tanaman, peningkatan itu setara 1.520 kg. Artinya, omzetnya terdongkrak minimal Rp5.320.000 per tahun.
Sementara biaya produksi antara budidaya konvensional dan organik relatif sama, Rp2.500 per tanaman per tahun. Peningkatan kuantitas kelas A dan B itu tentu berdampak pada penurunan jumlah grade C.
Lonjakan produksi itu selaras dengan eksperimen seorang pekebun salak di Bogor. Penggunaan pupuk kandang memungkinkan buah berukuran lebih besar. Selain itu rasanya juga lebih manis. Sayang, tingkat kemanisan belum pernah diuji secara akurat.
Sebaliknya bila pupuk kandang dikurangi atau tidak diberikan sama sekali. Karena kesulitan mendapatkan pasokan pupuk kandang, pria 43 tahun itu absen memupuk 250 tanaman pada Mei 2002. Produktivitas melorot tajam, hanya 4 kg per tanaman. Hal serupa juga pernah terjadi pada penanaman tahap ke-2 pada November 1999.
Saat itu tanaman berumur 3 tahun. Ternyata, “Kualitas jelek, produksi 1 kg per tanaman pada panen pertama,” kata Faizin. Rata-rata sekilo terdiri atas 25 buah. Panen perdana salak organik pada umur 3 tahun menghasilkan 4 kg per tanaman. Sekilo terdiri atas 15 buah.
Fruitset meningkat
Fakta itulah yang mendorong Faizin bertekad mengembangkan salak organik. Ia kembali menanam 1.000 bibit pada November 2001 di Ngaglik, Magelang, berketinggian 370 m dpl. “Bila tak dipupuk kandang pertumbuhan tanaman lambat sehingga mempengaruhi pembungaan. Dengan pupuk kandang tanaman lebih hijau dan kekar,” kata H. Murtadho, pekebun salak organik lainnya.
Itu dibuktikan oleh Ade Sri Kuncoro, staf Dinas Pertanian Kabupaten Magelang, yang meneliti pemanfaatan pupuk kandang pada produktivitas tanaman salak. Riset terhadap 72 tanaman berumur 3,8 tahun menjelang berbuah perdana. Dosis pupuk kandang bervariasi antara 2,5 kg, 5 kg, dan 7,5 kg per tanaman yang diberikan sekaligus.
Dua bulan setelah pemupukan pada 14 Agustus 2003, “Congok (calon bunga, red) muncul lebih banyak, rata-rata 4 buah dari biasanya 2 buah,” ujar perempuan ramah itu. Fruitset (persentase bunga yang berhasil menjadi buah, red) juga lebih tinggi. Menurut Ade—demikian ia disapa—semua calon bunga menjadi buah.
“Bunga tanaman yang tak diberi pupuk kandang, kadang kering lalu mati sebelum diserbuki. Hasil optimal dicapai tanaman dengan volume pupuk kandang 7,5 kg.
Menyusul
Mekarnya bunga salak organik lebih maksimal, berwarna merah cerah, diameter bunga 3 cm—biasanya 1,5—2 cm—, panjang congok 10 cm. Karena ukuran lebih besar, memungkinkan produktivitas meningkat. Maret ini diperkirakan panen. Pengamatan Trubus di 2 lokasi kebun Faizin—Krakitan dan Sucen—menunjukkan hal itu. Dalam satu tanaman buah susul-menyusul. Ada bunga, pentil, buah muda, dan siap panen.
Tak hanya ayah 3 anak itu yang mengembangkan salak organik. Anggota Asosiasi Salak Merapi yang berjumlah 21 pekebun pun turut membudidayakan buah eksotis itu secara organik. “Pengertian organik menurut Persada (lembaga pemantau organik di Yogyakarta, red) antara lain bila penggunaan pupuk anorganik maksimal 25% dan bebas pestisida,” ujar Murtadho, sekretaris kelompok tani yang berdiri pada 5 Januari 2001. (Sardi Duryatmo)