Setelah meminum ramuan itu sang putri pun sembuh. Adegan itu dibaca dr Yusuf dari buku silat kuno beberapa tahun lampau. Ia terkesiap. Bersumber dari buku dongeng itu, walot Brucea javanica terbukti ampuh menumpas kanker.
Yusuf, pengobat di Sukabumi, Jawa Barat, memang kerap menemukan obat-obatan—kususnya untuk kanker—dari bukubuku silat Cina kuno. Puisi klasik juga kerap menyebut-nyebut tanaman tertentu sebagai obat. “Cerita silat membuat saya penasaran. Mungkinkah pohon liar itu menyembuhkan kanker?” kata Yusuf.
Untuk menjawab penasaran itu ia mencari walot di sekitar rumahnya di bilangan Cisaat, Sukabumi, 90 km selatan Jakarta. Alumnus sekolah pengobatan di RS Xiaouhuabing Yiyuan Guanzhou itu segera membongkar naskah pengobatan Cina kuno. Di sana juga ditemukan khasiat walot sebagai anti kanker.
Ia meracik 10 biji walot menjadi jamu. Rebusan itu diberikan kepada seorang pasien kanker payudara. Dua hari berselang rasa nyeri hilang. Ia pun menambahkan jahe untuk menghilangkan mual. Akhirnya kesembuhan gadis terwujud setelah diberi ramuan selama 1 tahun. Pasien-pasien terus berdatangan mendengar keberhasilannya menyembuhkan kanker.
Hambat sintesa DNA
Walau malur—nama lain walot—berhasil menyembuhkan banyak pasien, pria bermarga Zhung itu masih penasaran. Ia ingin tahu kandungan biji tanaman yang di Cina disebut yadanzi. Maka 5 tahun silam ia memboyong 5 kg biji buah makasar—sebutan tanaman obat itu—ke Guangdong Provincial Cancer Research Centre di kota Guangzhou, Cina. Ternyata biji-biji itu sama dengan tumbuhan sejenis yang tumbuh di Cina. Setelah diteliti anggota keluarga Simarubaceae itu antara lain mengandung brusatol, oleic acid, brucamarine, brucealin, stearinic acid, brucenol, dan yatanoside.
Betapa terkejutnya dokter-dokter di Cina karena selain membawa biji walot, Yusuf juga menunjukkan racikan yang di temukan di buku cerita silat kuno. “Mengapa komposisi itu ditemukan di Indonesia? Bukankah akar budaya pengobatan herbal ada di Cina?” ujar Yusuf menirukan ucapan salah seorang dokter di Cina. Sebelumnya, di sana walot hanya digunakan untuk mengobati kutil, mata ikan, malaria, dan disentri.
Menurut Yusuf, oleic acidum dan yatanoside mujarab menghancurkan berbagai macam jenis kanker seperti kanker rahim, dubur, paru-paru, kulit, hati, pencernaan, dan sebagainya. Istimewanya senyawa itu juga mampu menghambat sintesis deoxyribonucleic acid pada sel kanker.
Perjalanan walot tak berhenti sampai di situ. Yusuf meminta Mingxing Pharmaceutical—sebuah perusahaan farmasi—di kota Guangzhou untuk mengolah walot menjadi obat injeksi dan obat minum emulsi. Tujuannya agar obat mudah diserap tubuh. Bentuk modern Brucea javanica itu diakui Departemen Kesehatan Provinsi Guangdong dan diedarkan dengan merk dagang yadanzi sesuai dengan nama tanaman itu di negeri Tirai Bambu. Ia pun dijadikan obat utama di rumah-rumah sakit kanker di sana. Di Indonesia yadanzi telah didaftarkan di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Sayang penelusuran Trubus belum menemukan yadanzi dijual bebas di Indonesia, kecuali di tempat penemunya. Namun, ia ditawarkan di situs-situs kesehatan dengan harga dolar. Di Sukabumi ia dijual Rp45.000—Rp60.000 per ampul. Satu ampul setara dengan 10 buah Brucea javanica.
Beracun
Di pulau Jawa sebagian orang menyebut Brucea javanica sebagai kendung peucang. Ia tumbuh sebagai tanaman liar di hutan lebat, tapi terkadang dipakai sebagai tanaman pagar. Pohonnya tegak, tinggi 0,3—3 m. Bahkan pernah ditemukan sampai 10 m. Batang agak berambut, berwarna kuning halus. Daun memanjang sekitar 5—10 cm dan lebar 2—4 cm. Bagian ujung agak meruncing, tepi bergerigi, dan berwarna hijau. Buah berwarna hijau keluar dari pinggiran batang daun. Ketika matang warna berubah hitam. Bentuk buah oval rata-rata berdiameter 7 mm. Bila kering buah akan keriput seperti biji pepaya kering.
Konsumsi berlebih—lebih 10 biji—menyebabkan nyeri sewaktu berurine, mual, muntah, dan keracunan. Anak-anak dan wanita hamil dilarang menelan Brucea javanica sekalipun dalam jumlah kecil. Berhati-hatilah terhadap buah yang disukai sang putri di negeri dongeng. (Destika Cahyana)