Sambil menyandang tas berisi brosur khasiat virgin coconut oil (VCO), Kuncoro menyambangi satu per satu loper surat kabar di bilangan Cawang dan Kalibata, Jakarta, ditemani motor bebek setianya. Di sana, lembar demi lembar brosur VCO diselipkan di antara halaman surat kabar pagi.
Brosur yang dicetak sendiri itu adalah jalan meretas pasar VCO bagi Kuncoro. Sepulang menyebarkan brosur, suami Susiawantari itu perlu buru-buru kembali pulang menanti pembaca suratkabar yang mungkin merespon isi brosur melalui telepon. Meski tak tentu jamnya, dalam sehari rata-rata sekitar 1—2orang pembaca menghubungi Kuncoro.
“Mereka lebih banyak bertanya sekadar ingin tahu apakah benar minyak kelapa bisa menyembuhkan berbagai penyakit?” kenang pria yang kini menjadi distributor VCO terbesar di Jakarta itu. Apa pun respon pembaca, bak seorang humas perusahaan, senang hati ia menerangkan panjang lebar khasiat VCO.
Bagi-bagi gratis
Memas a r k an produk baru apalagi terasa belum akrab di telinga memang membutuhkan kesabaran tinggi . “ Selama 2 bulan pertama penjualan sampai berbusa-busa menerangkan manfaat VCO,” ujar Patria Ragiatno yang memasarkan VCO sejak Juni 2004. Itu pun masih belum memberi efek menyakinkan bagi calon pembeli.
Langkah direktur utama PT Patria Wiyata Vico di Kota Gudeg itu mulai terasa ringan setelah memberanikan diri memasang iklan di berbagai media nasional. Apalagi hal itu ditunjang publikasi artikel-artikel mengenai manfaat VCO yang ditulis Dr Bambang Setiadji, peneliti VCO dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. “Pasar sebenarnya sudah ada hanya tinggal meyakinkan produk ini sangat positif,” tutur kelahiran 11 Maret 1966 itu.
Andi Nur Alam Syah di Bogor menerapkan taktik berbeda untuk membuka pasar VCO. Tahu minyak dara—sebutan di Malaysia—belum naik daun, staf Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian di Bogor itu lantas menyebarkan ratusan botol VCO berukuran 100—250 ml. Setiap pengunjung di stan pameran pertanian Semanggi Expo medio 2004 silam itu diberi VCO gratis.
“Kami memanfaatkan momen karena ada menteri pertanian sehingga gemanya lebih luas. Namun, di luar itu kami juga memberi gratis pada orang yang datang ke kantor,” ujar master Kimia ITB itu. Program promosi itu berlangsung selama 3 bulan. Dalam kurun waktu itu sekitar 200 l minyak perawan yang dibuat di Cianjur itu disebar secara cuma-cuma.
Ikut pelatihan
Rintangan menembus pasar juga memaksa Sri Maryani Santoso pintar-pintar menjalin kerjasama. Setelah 8 bulan pertama masih saja hanya bisa menjual 15 l minyak per 2 minggu, ia pun menggandeng seorang tenaga medis di salah satu rumah sakit terkenal di Surabaya. “Dia membantu pemasaran karena orang percaya,” ujar manajer produksi PT Kinarya Cipta Mitra di Malang. Imbasnya permintaan melonjak hingga 50%. Dua bulan lalu Sri Maryani bahkan sudah mampu menjual 120 l per minggu.
Mengikuti pelatihan VCO yang kini marak juga ditempuh Sarjono untuk menggapai pasar. Apalagi setelah diiming-imingi seluruh produksi akan diserap oleh sang tutor. Sayang harapan itu tinggal harapan. Meski hasil produksi sempat ditampung pada Januari—Maret 2005, produksi selanjutnya ditolak lantaran tutor mendapat masalah. Sarjono terpaksa wira-wiri menawarkan diri menjadi mitra. Gayung pun bersambut. Salah satu produsen di Yogyakarta memintanya menjadi pemasok dengan catatan ia harus mau mengulang mengikuti pelatihan VCO untuk meningkatkan standar mutu.
Pemain lain yang membidik pasar ekspor pun tak kalah pening. Asep Syaefuddin, misalnya, masih belum bisa memenuhi permintaan dari 140.000 ton per tahun dari Kanada lantaran tersandung izin. “Mereka meminta surat yang menerangkan produk yang dijual benar-benar organik,” papar direktur PT Selaras Agro Lestari di Jakarta Selatan itu. Seritifi kasi organik itu sebenarnya bisa diperoleh melalui badan swasta yang berwenang mengeluarkan seritifi kasi. Sayang, langkah itu masih belum dilakukan Asep.
Hal senada juga pernah menimpa PT Patria Wiyata Vico saat berusaha memasok konsumen di Eropa, Amerika, Singapura, dan Jepang. “Sertifi kasi organik wajib ada,” tutur Patria Ragiatno. Meski sudah mengantongi, tidak serta merta barang yang dikirim diterima. Ekspor ke Singapura, misalnya, tidak semulus jalan tol. Setelah 2 kali pengiriman ditolak karena kadar asam laurat kurang dari 50%, warna minyak keruh, dan sedikit berbau tengik. Setelah diperbaiki mutunya baru penyetoran ke-3, negeri Singa itu bisa ditembus.
Bahan baku
Tak melulu pemasaran, kendala lain juga muncul di produksi. Ani Setyopratiwi semula hanya bisa menghasilkan 20 l minyak per hari karena memakai kertas saring halus. Tak kurang akal, dosen jurusan Kimia UGM itu memodifi kasi dengan melengkapi pompa vacuum. “Pompa berfungsi menyedot sehingga minyak akan dipaksa keluar lebih cepat lewat kertas saring,” ujarnya. Terbukti setelah memakai modifi kasi itu produksinya dapat mencapai 40 l per hari.
Rasio minyak pemancing yang asal-asalan mengundang masalah. “Ada plasma yang curang, tapi setelah diberitahu kalau melakukan lagi barang tidak akan diterima,” papar Patria. Kontrol kualitas yang ketat memang diterapkan agar standar asam laurat untuk ekspor bisa terpenuhi. Pengawasan sumber bahan baku juga mutlak ada agar kejadian yang pernah menimpa Ani saat meneliti VCO bersama mahasiswa tidak terulang. Selama ini bahan baku yang dipasok seringkali dicampur butiran kelapa muda. Efeknya, produksi pun sering gagal. “Karenanya sejak awal saya sendiri yang memilih kelapa agar tidak tertipu lagi,” papar Ani. (Dian Adijaya S/Peliput: Rosy NP, Sardi Duryatmo, Lakstioro Anmi Tambunan)