Produksi pinang meningkat 50% dengan cendawan.

Bagi petani hortikultura, kemarau menjadi berkah. Cabai, tomat, mentimun, terung, kentang, bawang merah, serta berbagai jenis sayuran daun tumbuh subur dan berproduksi optimal. Namun, bagi pekebun pinang Mardi Darmorejo, kemarau berarti paceklik. Pekebun pinang di Kabupaten Tanjungjabung Barat, Provinsi Jambi, mendapati 3.000 pohon pinang di lahan 4 ha miliknya absen berbunga akibat kemarau pada pertengahan—akhir 2015.
Hujan baru datang pada pengujung 2015. Begitu hujan turun beberapa hari, muncul tangkai-tangkai manggar yang lantas merekah menampakkan kuncup-kuncup bunga. Pembentukan bunga menjadi buah sampai proses pematangan perlu setahun. Artinya, sejak panen terakhir pada Maret—April 2016, Mardi baru kembali menikmati panen pada November 2016.
Satu per 10.000

Saat produksi normal, Mardi memperoleh sekilogram pinang kering per pohon setiap bulan. Dengan harga Rp10.000 per kg saja, ia mengantungi omzet Rp30-juta setiap bulan. Macetnya produksi buah selama 6 bulan, April—Oktober, membuat ia kehilangan Rp180-juta.
Penyuluh pertanian di Dinas Pertanian Tanjungjabung Barat itu sadar bahwa tanamannya memerlukan air. Hanya saja, “Menyiram 3.000 pohon di 4 ha lahan sangat tidak praktis. Tidak ada yang melakukannya,” kata Mardi. Sejatinya pemenuhan kebutuhan air tanaman tidak melulu melalui penyiraman. Hujan mencurahkan jutaan liter air tawar yang terionisasi oleh petir.
Tajuk tanaman menangkap 0,1—0,7% seluruh volume air itu lalu mengalirkannya ke permukaan tanah. Sebanyak 70—90% air yang menetes ke tanah itu bakal lenyap sebagai air larian (runoff) sehingga total hujan yang terserap tanah paling banyak satu per sepuluh ribu volume total air hujan. Kalau dapat dimanfaatkan, jumlah itu lebih dari cukup untuk menunjang produktivitas tanaman saat kemarau.

Menurut guru besar Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor, Prof Dr Iswandi Anas, tanaman mampu menyimpan lebih banyak air kalau lingkungan akar didominasi cendawan khusus bernama mikoriza. Periset di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan salah satu pendiri Asosiasi Mikoriza Indonesia, Dr Irdika Mansur MForSC, menyatakan bahhwa akar yang menopang tanaman tidak hidup sendiri dalam tanah.
“Akar membentuk ikatan dengan berbagai makhluk. Hubungannya bisa menguntungkan atau merugikan bagi tanaman,” kata Irdika. Musababnya, akar memperoleh aliran fotosintat—zat makanan hasil fosintesis—dari daun untuk pertumbuhan dan pergantian sel. Kehadiran fotosintat itu menarik berbagai jenis makhluk yang ingin menumpang hidup, seperti bakteri, cendawan, atau cacing.
Produktivitas meningkat
Peran makhluk renik yang bermanfaat antara lain menambat unsur nitrogen dari udara, melarutkan fosfat, atau mengikat air. Sebaliknya yang merugikan pun banyak, seperti cendawan penyebab busuk akar, busuk pangkal batang, maupun mati pucuk.

Mikoriza membantu penyerapan air oleh tanaman dengan memperpanjang jangkauan akar. Setelah menembus jaringan akar, hifa cendawan protagonis (menguntungkan pertumbuhan) itu memperoleh energi dari fotosintat. Energi itu membuat mikoriza mampu menumbuhkan hifa—benang putih halus—jauh ke bawah permukaan tanah.
Hifa mikoriza itulah yang menyerap dan memeras air dari butiran tanah sekaligus menyimpan air hujan. Pinang yang bersimbiosis dengan mikoriza memperoleh lebih banyak pasokan air dari cadangan dalam tanah.
Peran lain cendawan itu melarutkan ion fosfat (PO4) sehingga lebih mudah terserap tanaman. Menurut Irdika idealnya mikoriza diinokulasi kepada tanaman sejak pembibitan. Namun, aplikasi mikoriza terhadap tanaman dewasa pun bisa dilakukan.
“Tujuannya meningkatkan dominasi mikoriza dalam tanah sekitar perakaran,” kata Irdika. Untuk itu pekebun pinang bisa membiakkan mikoriza dari lahan (lihat ilustrasi Meminang Mikoriza). Seandainya Mardi memanfaatkan mikoriza dan mulsa alami dari serasah, ia bisa panen pinang sepanjang tahun dan memperoleh tambahan omzet minimal Rp180-juta. (Argohartono Arie Raharjo)