Sebanyak 75 ton per tahun bahan pangan terbuang di Indonesia. Bisa dicegah dengan memangkas tata niaga.
Pangan terbuang atau food waste adalah makanan layak yang mengalami pembuangan. Menurut The Economist Intelegent Unit pada 2016 Indonesia menghasilkan pangan terbuang 300 kg per kapita setiap tahun. Artinya terdapat 75 ton makanan terbuang di Indonesia yang berpenduduk 250 juta jiwa setiap tahun. Itu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pangan terbuang terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi 427 kg per kapita per tahun.

Menurut dosen di Jurusan Agribisnis Universitas Padjadjaran, Dr. Tomy Perdana, S.P., M.M., pangan terbuang di negara maju dan negara berkembang berbeda. Kontribusi pangan terbuang di negara maju seperti Arab Saudi rata-rata dari sektor konsumen. Bandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia pangan terbuang dari sektor produksi dan distribusi akibat panjangnya tata niaga.
Tomy mengatakan, tata niaga yang panjang menurunkan kualitas atau kerusakan produk pertanian. Banyak pihak seperti petani, pengepul, pedagang kecil, dan pedagang besar menyortasi produk sebelum sampai ke konsumen. Tomy mencontohkan nilai jual produksi sayuran di Indonesia Rp300 triliun per tahun dan biaya produksi Rp150 triliun per tahun. Karena sistem pasok panjang maka potensi kehilangan hasil 30—45%.
Hal itu berarti Rp45 triliun—Rp60 triliun biaya produksi hanya menghasilkan sampah. Banyaknya pangan terbuang memang ironis. Sebab, data dari Food and Agriculculture Organization (FAO) pada 2014 memprediksi populasi manusia pada 2050 mencapai 9,6 miliar jiwa. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan banyak pangan untuk mencukupi populasi manusia. Menurut Production Manager TaniSupply dan Co-Founder TaniHub, Michael Jovan Sugianto, kondisi itu bisa terjadi jika tidak ada regenerasi petani.
Beberapa permasalahan klise akibat panjangnya tata niaga antara lain penurunan mutu hingga kerusakan produk dan pasokan terhambat yang menyebabkan harga produk fluktuatif. Menurut Jovan Sugianto perilaku konsumen di tanah air memang pemilih. Sementara di lapangan hasil panen kualitas terbaik dari petani konvensional rata-rata hanya 30%. Sisanya, kualitas menengah dan rendah. Di lain pihak, mengubah kebiasan petani dan menyerap teknologi anyar agar mutu meningkat membutuhkan proses.

Regenerasi
Kunci menyelesaikan permasalahan tata niaga dengan menyelaraskan frekuensi produsen dan konsumen. Petani harus mampu memenuhi kriteria produk yang dikehendaki konsumen, baik mutu dan pasokan. Menurut Tomy terjalinnya koneksi produsen dan konsumen bisa memangkas tata niaga. Solusi lain regenerasi petani muda yang dituntut adaptif pada manajemen produksi.
Petani muda diharapkan lebih terbuka menerima dan mengaplikasikan teknologi baru. Tujuannya agar mutu produk meningkat dan pasokan selalu tersedia untuk menjaga harga relatif stabil. “Permintaan produk pertanian jelas dan setiap hari. Sebetulnya tanaman semusim atau sayuran bisa diatur dengan penanganan dan rotasi tanam,” kata Tomy. Doktor Teknologi Industri Pertanian alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) itu mengatakan, orang yang memulai bertani pada usia 40 akan mundur karena kurang adaptif.
Adapun untuk mengoptimalkan mutu produk harus mulai dari kebun hingga rumah kemas. Proses itu meliputi sortasi produk sejak panen memperhatikan fisiologis, kematangan, dehidrasi, respirasi, dan hama penyakit tanaman. Sarana teknologi pendukung berupa transportasi logistik dengan sistem pendingin.
Menurut Jovan Sugianto upaya nyata TaniHub memangkas tata niaga dengan menyerap produk petani dan memasarkan langsung ke konsumen. Mike, sapaan Jovan Sugianto, menuturkan, “Penanganan pascapanen tepat dapat meningkatkan mutu, daya tahan, dan daya simpan produk hortikultura.”

Sederhananya dengan penanganan pascapanen tepat, nilai tata niaga akan meningkat. Kini TaniSupply mengelola lima warehouse atau gudang penyimpanan yang tersebar di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar. Selain itu, salah satu juga mengelola Packing and Processing Center (PPC) atau rumah kemas di Malang, Jawa Timur. Tujuannya menjaga mutu produk dan menjamin ketersediaan pasokan dari lahan hingga sampai ke meja konsumen. (Muhamad Fajar Ramadhan)