Wednesday, March 5, 2025

Paprika Di Puncak Ijen 5 Kg per Tanaman

Rekomendasi

Siang itu angin bertiup keras hingga menggigilkan tubuh. Inilah laporan wartawan Trubus Sardi Duryatmo yang berkunjung ke farm PT Rolas Industri Agro Nusantara (RIAN) di sentra sayuran berketinggian 1.800 m dpl.

Greenhouse raksasa tipe tunnel berkerangka besi berdiri kokoh.Di sana ada 3 greenhouse serupa. Populasi setiap rumah tanam 17.000 tanaman paprika yang tumbuh subur walau umurnya 8 bulan. Hingga saat itu Jost Van der Knaap—manajer operasional RIAN—menuai 3,5 kg per tanaman. Rata-rata 2—3 paprika merah menyala menyembul di balik hijaunya daun pada setiap tanaman. Buah lain bersemburat merah dan masih hijau. Ia optimis paprika mampu berproduksi 5—6 kg per tanaman hingga berumur setahun.

Bandingkan dengan rata-rata produksi paprika naisonal yang cuma 2—2,5 kg per tanaman. Rahasianya? Perusahaan yang berdiri pada pertengahan 2000 itu memanfaatkan predator untuk mengendalikan serangan thrips, aphid, dan kutu kebul. Ketiganya hama penting paprika yang mampu menurunkan produksi hingga 30%.

Menurut Ronald Serhalawan dari Joro—RIAN didirikan oleh Joro dan PTPN XII— tanaman yang disemprot pestisida seperti terkena pukulan. “Kalau seminggu disemprot 3 kali, artinya 3 kali pula kena pukulan. Tanamaan stres dan untuk pulih butuh waktu. Sedangkan tanaman yang tak disemprot, berarti tak kena pukulan sehingga pertumbuhan lebih optimal,” papar Ronald.

Mutu membaik

Jost dan Ronald memanfaatkan beragam predator seperti Amblyseius cucumeris, Orius laevigatus, dan Phytoseiulus persimilis. Untuk setiap meter persegi dilepas 1—2 predator ketika tanaman mulai berbunga pada umur 3 bulan. Para predator juga berfungsi kuratif alias mengatasi serangan hama. “Kalau serangaan thrips meluas dilepas 5—10 predator per m2,” ujar Jost. Mereka ampuh mengendalikan ganyangan hama dengan efektivitas 90% (baca: Liliput Menjaga Buah Lonceng, halaman 98).

Berkat kehadiran predator, kualitas paprika meningkat. Menurut Jost, jumlah paprika bermutu A melonjak hingga 35% dari sebelumnya rata-rata 20%. Thrips menjadi biang keladi kerusakan dengan membuat garis gerekan memanjang di permukaan buah. Setelah dihadirkan predator, buah tampak mulus tanpa garis-garis memanjang. Aphid biasanya meninggalkan jejak seperti embun jelaga yang kehitaman. “Perlu tenaga ekstra untuk membersihkannya,” kata Jost.

Oleh karena itu pemanfaatan pestisida dapat ditekan seminimal mungkin, tetapi produktivitas malah melambung. Bila populasi per greenhouse 17.000 tanaman, artinya dalam satu periode tanam RIAN memanen 51 ton lebih banyak ketimbang pekebun lain. Perusahaan itu menjual paprika merah Rp6.300 per kg; kuning, Rp6.800. Omzet yang diraup RIAN pun Rp319-juta lebih tinggi.

Ia memang mesti merogoh kocek Rp29-juta lebih banyak untuk belanjapredator. Maklum, “pasukan” itu masih didatangkan dari Belanda. Harganya relatif tinggi lantaran Karantina bandara Soekarno-Hatta mengutip Rp5-juta per tabung berisi 50.000 nimfa predator. Jika berhasil dikembangkan di Indonesia, tentu biaya produksi semakin dapat ditekan. Toh dengan anggaran yang relatif besar, pekebun tetap meraup laba tinggi. Menurut Jost dengan pengendali predator, titik impas tercapai saat produktivitas 3 kg per tanaman.

Faktor lain

Yang pasti dengan pemanfaatan predator, umur produksi tanaman kian panjang, mencapai setahun. “Pekebun dapat menghemat biaya benih dan media tanam,” kata Ronald, dosen Fakultas Pertanian Universitas Djuanda Bogor. Jangan anggap enteng harga benih. Jika harga sebiji Rp1.000, pekebun menghemat Rp16-juta untuk luasan sehektar. Pekebun yang jorjoran menggunakan pestisida, paling banter memanen paprika hingga tanaman berumur 6—7 bulan.

Tentu saja predator bukan satu-satunya faktor penentu terdongkraknya produktivitas. Struktur greenhouse juga turut andil. RIAN mendatangkan rumah tanam dari Belanda. Keistimewaan greenhouse asal negeri Kincir Angin itu, intensitas matahari yang masuk cukup banyak.

Menurut Ronald, pemakaian media tanam grodan juga berpengaruh. “Dengan grodan tak ada reaksi kimia dengan pupuk. Pupuk yang diberikan terserap optimal oleh tanaman,” katanya. Selama ini banyak pekebun paprika memanfaatkan sekam sebagai media tanam paprika. Padahal, menurut Ronald, sekam dapat menangkap elemen pupuk, sehingga tak seluruhnya terserap tanaman.

Selain itu sekam dibuat secara manual di beberapa tempat. Akibatnya mutu media tanam itu tergantung pada siapa yang membakar dan lama pembakaran. Sedangkan mutu grodan relatif seragam. Gabungan antara penggunaan predator, desain greenhouse yang tepat, dan media tanam itulah yang memungkinkan RIAN menuai paprika lebih banyak. Cara itu memungkinkan untuk ditiru pekebun paprika di Indonesia.

“Kadang sesuatu itu tampak sulit. Tapi kalau tak pernah dicoba, kita tak akan pernah bisa,” ujar Ronald kepada Trubus dalam perjalanan menuju Gunung Ijen ***

Lima Kesalahan Membangun Greenhouse

Greenhouse tipe piggy back alias punggung babi di sentra sayuran Cianjur, Jawa Barat, sepintas tak bermasalah. Jika diamati seksama, sudut atap bawah relatif kecil sehingga kelihatan landai. Kesalahaan kecil itu berdampak besar karena terbukti produktivitas melorot tajam. Idealnya sudut atap atas lebih kecil daripada sudut atap bawah. Menurut Yos Sutiyoso, pakar greenhouse, sudut atap bawah 30 derajat; atas, 10 derajat. Atap yang landai memicu kerusakan rumah tanam. Duduk perkaranya begini. Karena landai, aliran air hujan jadi lamban dan sebaliknya. Dampaknya atap harus menahan beban jauh lebih berat. Di beberapa greenhouse atap bawah yang landai tampak cekung menahan air menggenang.

Kalau air kerap menggenangi atap, “Setahun atau dua tahun, greenhouse harus dibongkar,” kata kelahiran Jakarta 15 Maret 1930 itu. Sebab, bambu atau kayu—kerangka greenhouse—cepat lapuk. Hanya itu kelemahan atap landai? Inilah yang lebih berbahaya. Hawa panas sulit keluar sehingga suhu dalam greenhouse mencapai 36oC dari yang semestinya 30oC.

Ventilasi tertutup

Dari sekadar atap ternyata berdampak panjang “Makin besar sudut atap bawah, hawa panas cepat keluar. Kalau hawa panas lama keluar akan menekan ke bawah,” ujar Yos Sutiyoso. Respirasi jauh lebih besar ketimbang fotosintesis. Wajar bila pertumbuhan tanaman stagnan. Misalnya, tanaman yang mestinya bisa dipanen pada umur 25 hari, molor menjadi 30 hari. “Secara ekonomis itu merugikan,” ujar pekebun sayuran aeroponik di Bogor itu.

Penutupan ventilasi antara atap atas dan bawah juga berefek sama, meningkatkan temperatur. Greenhouse dengan ventilasi tertutup Trubus saksikan di sentra sayuran Bedugul, Bali, belum lama ini. Mungkin maksudnya untuk mencegah kedatangan hama. Eksperimen kecil pernah dilakukan PT Saung Mirwan, produsen beragam sayuran di Bogor.

Perusahaan yang didirikan oleh Tatang Hadinata itu mengerek jebakan kuning di ketinggian bertahap, 1,5 m dan 3 m. Hama masih ditemukan di jebakan kuning yang dikerek pada ketinggian 1,5 m. Namun, di ketinggian 3 m serangga tak lagi ditemukan. Apalagi ventilasi greenhouse setinggi 5—6 m. Dipastikan serangga tak mampu terbang pada ketinggian itu.

Digandeng

Soal pemasangan rusuk atap juga kerap keliru. Menurut Yos jarak antarrusuk idealnya sekitar 1 m. Maksudnya agar fotosintesis berjalan lancar lantaran intensitas matahari yang masuk ke greenhouse optimal. Namun, ketika dibikin atau saat reparasi agak menyulitkan. Pijakan kedua kaki tukang saling berjauhan dan mengancam keselamatan. Toleransinya jarak antarrusuk menjadi 80 cm.

Penggunaan bambu atau kayu sebagai rusuk yang terlampau kecil tak disarankan. Sebab, saat reparasi atap atau rusuk, amat membahayakan. Mantan presiden direktur sebuah perusahaan pestisida itu memanfaatkan kayu meranti dan rasamala berukuran 6 cm x 4 cm sebagai rusuk. Selain ukuran, mutu bahan rusuk harus diperhatikan agar tahan lama. Bila atap tak bobor, kerangka greenhouse mampu bertahan 5 tahun.

Masih di Bedugul, Trubus menyaksikan 2 meja atau bedengan aeroponik yang disatukan. Cara itu ditempuh biasanya untuk meningkatkan efisiensi lahan. Lazimnya antarbedengan dipisahkan sebuah lorong agar memudahkan panen dan kontrol tanaman. Lebar sebuah bedengan yang atasnya tertutup styrofoam rata-rata 1 meter. Dengan menggandeng 2 meja, “Harus mempekerjakan orang yang jangkung dan bertangan panjang,” kata pria 74 tahun. Itu pun sulit lantaran daya jangkau orang amat terbatas.

Lorong yang terlalu sempit—50—60 cm—menyebabkan tanaman di bagian tepi khususnya saat dewasa mudah rusak. Orang yang berjalan bakal mengenai tanaman itu, selain mempersulit saat melangkah. Sebab, sayuran yang tumbuh di bagian paling tepi bakal mempersempit lorong. Menurut Yos lebar lorong mestinya 80 cm atau minimal 70 cm bagi yang mendewakan efi siensi lahan.

Pasang kawat

Penggunaan plastik sebagai bedengan sebetulnya riskan. Dalam jangka panjang plastik dapat mengembang atau menguncup. Mengembang karena tertekan bobot tanaman yang kian berat. Sedangkan menguncup akibat pengaruh sisa nutrisi yang menggenang di dasar bedengan. Supaya plastik tak mekar, kedua tepi bedengan dipasang kawat dengan interval 0,5 m.

Untuk mencegah kuncup, mantan peneliti hama penyakit itu memasang kayu reng berukuran 2 cm x 4 cm. Interval pemasangan 1 m atau tepat di bawah pada kedua ujung styrofoam. Langkah antisipasi itu diikuti dengan penggantian mutu styrofoam. Sebelumnya ia menggunakan tipe EL2 (Extra Low 2) yang murah. Sekarang ia memilih tipe M yang rongganya lebih padat.

“Kalau EL2 dimasukkan ke dalam air selama seminggu, diangkat berat sekali. Yang M tetap ringan,” katanya membandingkan. Soal harga EL2 jelas lebih murah, Rp26.000; M, Rp40.000 per buah. Dengan memperbaiki kesalahan diharapkan produksi dan mutu semakin meningkat. Sebab, greenhouse ibarat rumah bagi tanaman. Bila tak nyaman bagi “penghuninya” produktivitas anjlok. (Sardi Duryatmo/Peliput: Evy Syariefa Firstantinovi)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Kelompok Tani Karya Baru: Inovasi Olahan Cabai Hiyung dari Tapin

Trubus.id–Kelompok Tani Karya Baru merupakan salah satu pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Hortikultura  yang mengembangkan produk cabai...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img