Saat irisan-irisan buah masuk ke mulut, dipastikan lidah menari-nari menikmati kelezatannya. Maklum, soal rasa, “Sawo pare paling manis dibanding sawo lain,” tutur Ir Baswarsiati, MS.
Pantas saja peneliti buah-buahan pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Malang, Jawa Timur berkomentar seperti itu. Trubus mencicipi sendiri manisnya sawo asal Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, saat berkunjung ke daerah sentra pada penghujung Juni.
Saat dibelah, air segera membasahi daging buah. Achras zapota itu memang memiliki kandungan air cukup banyak. Bila terkena tangan, cairan itu terasa lengket. Kadar gula tinggi musababnya, menurut Baswarsiati, tingkat kemanisan mencapai 19—20o briks.
Berdaging halus
Keistimewaan lain, sawo pare bersosok bongsor. Ukuran buah nyaris sebesar bola tenis tapi berbentuk lonjong. Setiap kilogram berisi 7—8 buah berdiameter 5—8 cm. Hampir sama besar dengan sawo plampang asal Kecamatan Plampang, Kabupaten Sumbawa, NTB dan sawo sumpur dari Kanagarian Sumpu, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat, yang dikenal jumbo.
Kulit buah berwarna kuning tampak cantik dibanding sawo lain yang berwarna cokelat muda. Aroma khas menyeruak dari buah matang. Daging buah yang kuning menggugah selera, tekstur halus dan tak berpasir. Dengan keistimewaan itu, pengunjung ke pemandian Ken Dedes dan Goa Maria kerap mampir di kios-kios yang menjajakan sawo pare di 2 lokasi wisata terkenal di Kediri itu.
Trubus juga melihat puluhan kios berderet di Dusun Bunut, Desa Beringin, Kecamatan Pare, menjajakan sawo di atas baki berdiameter 40 cm. Di sana tumpukan sawo pare matang menjadi rebutan para pembeli. Maklum, melepas lelah sambil menikmati manis dan segarnya sawo saat terik matahari memang sungguh nikmat. “Rasanya sangat manis dan segar serta tidak ngeres,” kata salah seorang pembeli. Ia membandingkan dengan sawo dari Blitar yang kandungan air sedikit dan agak berpasir.
Pohon warisan
Sayang meski manis dan disenangi konsumen, penanaman sawo pare tidak diusahakan intensif dalam skala luas. Trubus mengamati di Kota Ken Dedes itu, 3—5 pohon Achras zapota menghiasi halaman rumah penduduk. Toh, tanpa pemupukan, pemangkasan, dan perawatan lain, produktivitasnya cukup tinggi. Dari 1 pohon berumur puluhan tahun dipanen 1.000—2.000 buah per pohon.
Sebut saja pengalaman Suhartati, pemilik pohon sawo di Desa Beringin. “Tanpa dipupuk pun pentil buah tetap muncul. Hama dan penyakit enggan menghampiri,” katanya. Kini ibu 4 anak itu memanen 3.000 buah per hari dari 3 pohon warisan orangtua di halaman rumah. Dari situlah ia mendapat tambahan penghasilan ratarata Rp300.000—Rp500.000 per hari.
Pengepul yang datang ke rumah menghargai Rp10.000—Rp15.000 untuk 100 buah sawo. Dari tangan para pengepul, kesegaran sawo pare sampai ke pedagang dan penggemar di Jakarta, Surabaya, Malang, Bali, Mataram, Mojokerto hingga Kalimantan. (Rahmansyah Dermawan)