Tren gaya hidup menyesap kopi meningkatkan permintaan sekaligus mengatrol harga.
Pagi hari masa-masa sibuk bagi Endras Pribadi. Pada pukul 09.00 ia membuka Mini Café, kafe yang didirikan di Bogor, Jawa Barat, pada April 2016. Itu berarti ia harus memastikan kebersihan ruangan, kesiapan peralatan, kualitas biji kopi, dan bahan-bahan tambahan untuk kelengkapan penyajian kopi seperti krimer nabati, susu murni, atau kristal es. Edras menggunakan peralatan antara lain grinder alias pemecah biji, pemanggang, dan drip alias penyeduh.
“Semua harus bersih dan siap beroperasi,” kata pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, itu. Di kafe itu Endras menyajikan beragam pilihan. Bagi penggemar kopi dengan citarasa tambahan, ia menyediakan pilihan latte, cappuccino, atau espresso. Sementara bagi para maniak kopi, Endras memberikan pilihan kopi hitam seduh. Endras mendatangkan kopi biji dari Bandung, Provinsi Jawa Barat dan Pagaralam, Sumatera Selatan.
Tren menguat
Pemasok mengirim dalam bentuk beras alias biji kopi nirkulit luar maupun kulit tanduk. Endras lantas memasukkan kopi beras itu ke dalam stoples kaca yang nyaris kedap udara. Penyimpanan dalam stoples yang tertutup rapat itu bertujuan mempertahankan aroma dan rasa serta mencegah tumbuhnya cendawan maupun bakteri perusak. Ia memulai usaha kafe itu dengan modal setara sebuah motor sport terbaru.
Pembeli muncul dan menjadi pelanggan baru. Kesuksesan Endras tidak lepas dari konsumen yang semakin gandrung terhadap rasa “asli” kopi. “Saat ini banyak pehobi kopi berada dalam fase transisi dari sekadar konsumsi kopi kemasan menjadi penikmat biji kopi yang digiling langsung,” kata ayah 1 anak itu.
Itu sebabnya sajian di Mini Café mengakomodir semua kelas penggemar kopi. Dengan harga yang sangat terjangkau, pelanggan bisa menikmati kopi berkualitas prima dengan aroma asli. Sebab, Endras menggiling biji beberapa saat sebelum menyajikan. Menurut Endras aroma terbaik muncul ketika kopi diseduh dan dinikmati langsung setelah digiling. Semakin lama, aroma itu menguar dan lenyap ke udara.
“Produsen kopi kemasan menyiasati hal itu dengan menambahkan pembangkit aroma sintetis, yang biasanya terbawa keluar ketika berkemih,” ungkap lelaki berusia 33 tahun itu. Kekhasan itulah yang ia perkenalkan kepada pembeli, yang ia sebut sebagai tahap pembelajaran. Musababnya, banyak pembeli yang berasal dari kalangan muda seperti mahasiswa atau karyawan yang bekerja kurang dari 3 tahun.
Maklum, kalangan itu mapan secara ekonomi dan belum terbebani pengeluaran rumahtangga sehingga mempunyai banyak uang sisa. Tren mencecap kopi asli di kalangan usia muda memicu bermunculannya bisnis kafe kopi. Slamet Prayoga menangkap fenomena itu dan mendirikan Malabar Mountain Coffee di Bogor, Jawa Barat. Slamet berangkat dari pengalaman hulu alias mengurus perkebunan kopi.
Slamet paham ciri kopi berkualitas berkat pengetahuan dari lapangan ketika mengelola perkebunan kopi. Bisnisnya gemilang, terbukti selain mengelola kafenya sendiri, Slamet juga mengelola 10 kafe lain bersama rekanan. Sumijo yang membuka warung kopi Merapi di Yogyakarta dan Dwianto dengan Cozy Coffee Corner di Purworejo, Jawa Tengah, juga sukses mengelola kafe yang mengandalkan sajian kopi.
Harga naik
Menurut Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Pranoto Soenarto, tren kafe itu menguat 10 tahun belakangan. Salah satu tandanya adalah tumbuhnya waralaba kopi internasional di kota-kota besar. Seiring berjalannya waktu, gerai kopi lokal pun bermunculan tidak hanya di kota besar, tetapi juga di kota-kota satelit seperti Bogor, Serang, Cirebon, Cimahi, Magelang, Purworejo, Malang, Gresik, atau Sidoarjo.
Pertumbuhan gerai kopi lokal di kota satelit itu justru menjadi lokomotif yang menarik permintaan biji kopi produksi dalam negeri. “Masyarakat semakin paham bahwa tanahairnya menghasilkan kopi yang dimaui dunia. Buntutnya mereka ingin mencecap kopi kelas dunia itu,” ungkap Pranoto Soenarto. Konsekuensinya pehobi kopi pun bersedia membayar puluhan ribu rupiah hanya untuk secangkir kopi.
Bandingkan dengan harga secangkir kopi kemasan di warung kelas bawah yang hanya berkisar Rp2.000—Rp5.000. Munculnya gerai kopi lokal itu mempengaruhi harga kopi di tingkat pekebun. Menurut Nurchalis Fadhli, pekebun, pengepul, dan pegiat kopi di Kerinci, Provinsi Jambi, harga biji kopi cenderung naik setiap tahun. Pada 2010, harga gabah—biji kopi nirkulit, dijemur kering, belum dipanggang—Rp25.000 per kg.
Harga itu meningkat menjadi Rp40.000 (2012) dan Rp50.000 (2015). Pergerakan harga itu sampai di tingkat petani lantaran Nurchalis mendobrak tataniaga biji kopi di Kerinci yang sebelumnya dikuasai tengkulak. “Tengkulak tidak peduli pada pendapatan pekebun kopi dan berusaha membeli biji dari kebun dengan harga semurah mungkin lalu menjual atau mengekspor dengan harga setinggi mungkin,” kata Nurchalis.
Ia memotong rantai itu dan menjual langsung gabah kepada eksportir maupun kafe. Saat terjadi pergerakan harga di pasar, harga beli yang ia berikan kepada petani pun menyesuaikan. Efeknya petani merasakan keuntungan sehingga mereka bersemangat merawat tanaman, melakukan praktik budidaya yang baik, dan melakukan panen serta pengolahan pascapanen sesuai standar.
Pekebun kopi di Ciwidey, Ir Wildan Mustofa, melakukan hal serupa. Wildan bukan nama baru di dunia pertanian, ia berpengalaman mengelola komoditas hortikultura dataran tinggi. Ketika menerjuni bisnis kopi, Wildan pun menghasilkan biji kopi berkualitas. Namun, ia sadar bahwa penguasaan pasar mutlak untuk memperoleh harga tinggi. Itu sebabnya ayah 3 anak itu memasarkan langsung kopi dari kebun 8 ha. Wildan bahkan mengikutkan kopi produksinya ke ajang internasional dan berkali-kali memboyong trofi.
Kopi fermentasi
Permintaan kafe juga membuka peluang bagi pewirausaha muda yang jeli menangkap peluang. Produsen Heas’t Coffee di Lampung Barat, Hasti Wuryani, mendongkrak citarasa kopi robusta lokal yang harga aslinya hanya belasan ribu rupiah menjadi kopi kelas ningrat. Harganya fantastis, Rp100.000 per kg kualitas biasa dan Rp150.000 per kg untuk kualitas super. Ia menjual kopi beras—biji kopi yang sudah disangrai—melalui pasar daring (online) ke berbagai kota tanahair.
Laku? Ia kewalahan lantaran setiap bulan hanya mampu mengolah 200—300 kg biji kopi. “Kalau dituruti, permintaan selalu ada. Hampir semua pembeli meminta kiriman ulang,” kata Hasti. Kendalanya ia menangani sendiri pembelian biji kopi dari pekebun, pengolahan secara manual, pengepakan, hingga pengiriman kepada pembeli. Keruan saja kemampuan produksinya terbatas.
Alumnus Politeknik Negeri Lampung itu menggunakan bahan khusus untuk memfermentasi biji kopi sehingga menghasilkan citarasa super. Kini ia memproduksi 2 macam biji kopi fermentasi, kelas biasa dan premium. Ia jual biji fermentasi kelas biasa Rp100.000, sementara biji premium Rp150.000 per kg. Ia melakukan hal itu sejak 1,5 tahun lalu. Selain ke Bandarlampung, ia juga mengirim ke Palembang, Jakarta, dan Makassar.
Sayang, tidak semua pekebun bisa menghindari peran tengkulak sebagai perantara memperoleh pembeli. Menurut pekebun sekaligus ketua kelompok tani kopi di Cilengkrang, Kabupateng Bandung, Abas Durahman, ada beberapa penyebab sulitnya melepaskan diri dari tengkulak. “Biasanya pekebun ingin cepat memperoleh uang tanpa harus repot mengolah,” kata Abas.
Pekebun mengemas kopi hasil panen dengan berbagai ukuran dan kualitas dalam karung lalu menjual seluruhnya kepada tengkulak. Padahal, kualitas biji kopi beragam tergantung kematangan buah, ukuran, keutuhan, dan kebersihan dari pengotor seperti sisa kulit, daun kering, pasir, atau potongan ranting. Saat pekebun membawa kopi dalam karung, mau tidak mau tengkulak mesti menyortir sebelum menjual kepada pembeli selanjutnya.
Tengkulak cenderung membeli dengan harga serendah-rendahnya sehingga risiko rugi akibat salah taksir pun minimal. Faktor lain, tengkulak itu tetangga bahkan saudara yang tinggal berdekatan. “Kalau biasanya menjual ke dia lalu tiba-tiba berhenti rasanya tidak etis,” ungkap Abas. Penyebab lain, tengkulak memberi pinjaman kepada pekebun yang memerlukan dana segar. Ketika panen pekebun harus menjual kopinya kepada tengkulak.
Kopi amstirdam
Beberapa pekebun di Kabupaten Malang, Jawa Timur, mampu melepaskan diri dari tengkulak. Kawasan penghasil kopi yang sohor di sana adalah Amstirdam, akronim dari 4 nama kecamatan, yaitu Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit. Dengan luas lahan mencapai 12.200 ha, produktivitas kopi di kawasan Amstirdam mencapai 18.000 ton kopi beras per tahun.
Sebagian hasil panen kopi itu mengalir ke eksportir yang membeli dengan harga minimal Rp20.000 per kg di kebun. Menurut penyuluh pertanian Kecamatan Dampit, Jajang Slamet Somantri SP, harga itu sangat menguntungkan bagi pekebun lantaran biaya impas produksi kopi (BEP, break even point) berkisar Rp11.000—Rp12.000 per kg. Eksportir bersedia membeli dengan harga tinggi lantaran kopi amstirdam lolos sertifikasi common code for coffee community (4C).
Sertifikasi itu menjadikan kopi amstirdam mudah dijual di mancanegara dengan harga menarik. Sebanyak 108 kelompok tani dengan jumlah anggota total 5.720 pekebun dinyatakan sesuai standar 4C sehingga mereka memperoleh jaminan pasar dari sang eksportir. Tingginya harga itu memacu pekebun meningkatkan jumlah dan mutu produksi biji kopi mereka.
Menurut Jajang produktivitas lahan di kawasan itu meningkat dari rata-rata 1,25 ton menjadi 1,5 ton per ha. Tidak hanya lini budidaya, pekebun pun mempunyai standar buah kopi hasil panen. Standar itu adalah MBS3, akronim dari 95% merah 5% kuning, bersih, sehat, seragam, dan segar. Sebagian pekebun kopi amstirdam mulai melangkah lebih jauh. Sebanyak 25 pekebun di Desa Amadanom, Kecamatan Dampit, membentuk klaster agribisnis kopi.
Rencananya klaster itu membentuk 8 jenis usaha, seperti agrowisata kebun dan pengolahan biji kopi, pelatihan atau magang, dan penjualan baik kopi beras maupun bubuk. Menurut Jajang harga kopi bubuk sangat menggiurkan, mencapai Rp60.000 per kg. Maklum, pehobi kopi mengakui citarasa khas kopi amstirdam. Jenis robusta mempunyai purnarasa (aftertaste) rempah dan beraroma kayu, sementara jenis arabika bercitarasa lembut dengan keasaman rendah.
Menurut Kepala Pusat Penyuluhan Pertanian Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPPSDMP), Kementerian Pertanian, Ir Fathan Abdur Rosyid Mag, memasukkan kopi sebagai salah satu dari 11 komoditas strategis nasional. “Komoditas strategis artinya banyak diusahakan masyarakat dan mempengaruhi banyak orang sehingga berdampak terhadap stabilitas nasional secara keseluruhan,” ungkap Fathan. Kopi harus mampu menyejahterakan pekebun, pengolah, sampai pemilik kedai. Maklum, kopi komoditas padat karya sejak budidaya sampai penyajian dan terbukti mendatangkan omzet lumayan. (Argohartono Arie Raharjo/Peliput: Bondan Setyawan, Ian Purnamasari, & Muhammad Awaluddin)